Pada Jumat (26/1/2024) lalu, Kalyanamitra--organisasi nirlaba yang berfokus pada isu perempuan, keadilan, dan kesetaraan gender--mengadakan diskusi daring bertajuk "Riuh Pemilu 2024: Apa Peran Orang Muda, Gaes?" bersama tokoh-tokoh perempuan yang bergerak di bidang politik. Diskusi dilakukan melalui media sosial, melalui fitur live di Instagram selama satu jam. Para tokoh yang diundang, yakni Khoirunissa Nur Agustyati sebagai Direktur Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) dan Lady Diandra sebagai Project Officer dari Generasi Melek Politik. Marisa, sebagai moderator sekaligus perwakilan dari Kalyanamitra, memulai diskusi dengan membahas pentingnya generasi muda bagi keberlangsungan Pemilu 2024 mendatang. Keberlangsungan Pemilu 2024 ditentukan oleh generasi muda karena Generasi Z dan Milenial akan banyak terbanyak sebagai pemilih di Pemilu mendatang. Persentase generasi muda sebagai pemilih di Pemilu 2024 bahkan mencapai sekitar 55 persen. Persentase ini menunjukkan bahwa generasi muda menjadi partisipan yang dapat memberikan pengaruh besar bagi kemenangan pasangan politik yang berpartisipasi.
Lady Diandra atau yang biasa disapa Lady menambahkan, Pemilu 2024 bisa menjadi kesempatan bagi pemuda untuk mengkritisi isu kepemudaan di politik. Hal ini mengingat pada masa yang lalu, isu pemuda dianggap bukan sebagai isu yang prioritas di agenda politik. Sehingga melalui momen Pemilu 2024 ini, pemuda memiliki kesempatan yang besar untuk mendesak pasangan calon soal kepedulian terhadap pemenuhan hak kaum muda. Pasangan calon politik perlu memikirkan kembali bahwa isu kepemudaan bukan soal pamor di media sosial semata, melainkan soal kepedulian terhadap pemuda baik dalam pemenuhan hak-haknya maupun kesejahteraannya. Pertanyaan soal apakah kepedulian terhadap isu generasi muda diprioritaskan oleh para paslon-paslon, harus diperhatikan dengan seksama. Ini bertujuan agar kesejahteraan pemuda terjamin dan pembatasan keterlibatan pemuda terkait ageism (diskriminasi terhadap umur) di ranah politik bisa dihentikan. Perubahan yang signifikan terhadap agenda pembangunan kepemudaan perlu diutamakan, mengingat Indeks Pembangunan Pemuda di Indonesia masih cenderung stagnan dari tahun ke tahun. Terlebih, Khoirunissa Nur Agustyati atau akrab dipanggil Ninis, mempertegas sudah seharusnya pemuda tidak diperlakukan hanya sebagai penonton saja, yang tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam politik secara mendalam. Stigmatisasi negatif terhadap pengalaman, dan pengetahuan pemuda soal politik sudah seharusnya ditiadakan. Hal ini berlaku juga pada bentuk-bentuk diskriminasi berbasis umur lainnya. Setelah mengingat kembali soal pengaruh generasi muda di Pemilu, selanjutnya membahas mengenai langkah yang perlu diambil oleh pemuda agar menjadi pemilih yang berdaya. Bagi Ninis, perlu ada keterlibatan atau peran serta dari pihak selain pemuda. Lembaga penyelenggara Pemilu seharusnya dapat memberikan akses informasi yang inklusif soal pemilu ke semua pihak, termasuk pemuda. Menjadi seorang pemilih yang berdaya perlu memiliki akses terhadap informasinya terlebih dahulu dari pihak yang bersangkutan. Terlebih, lembaga-lembaga yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pemilu, seharusnya mampu menyediakan informasi yang valid dan kredibel. Hal ini untuk meminimalisir misinformasi dan hoax yang marak muncul di era Pemilu. Selain itu juga, perlu peran dari pemuda juga untuk berinisiatif membuka ruang untuk berdialog. Pemuda yang berdaya sudah seharusnya, mampu memanfaatkan media-media yang ada untuk mengajak paslon berdiskusi dan mengkritisi program kerja yang diusung dengan mendalam. Lalu, bagi Lady, menjadi seorang yang berdaya seharusnya mampu bersuara dengan lantang soal kebijakan dan paslon tertentu melalui media yang mampu dijangkau banyak orang, seperti media sosial. Dengan kata lain, perlu ada upaya memaksimalkan potensi diri sebagai pemuda untuk menyebarkan kepekaan politik terhadap pemilu mendatang. Kemudian, persoalan tentang pola pikir adil gender sudah seharusnya ditingkatkan pada pemilih muda. Hal ini berkaitan dengan pentingnya pendidikan dan pelatihan politik yang berperspektif gender guna meminimalisasikan diskriminasi gender di ranah politik dan pemerintahan. Bagi Ninis, pendidikan politik bukan soal sosialisasi Pemilu saja, tetapi perlu dilakukan sesuai konteks kondisi pemuda di masing-masing wilayah. Terutama, pendidikan politik berperspektif gender bukan hanya dalam konteks sosialisasi pemilu saja, melainkan secara menyeluruh dan kritis. Lady juga menyetujui bahwa perlu ada pelatihan yang mendukung gender equality dan keterwakilan yang adil. Lady menambahkan, bagi penyelenggara pendidikan politik berperspektif gender, perlu dibarengi dengan indikator khusus untuk menjadi pedoman organisasi untuk mengukur soal tingkat pola pikir adil gender peserta. Begitu pula soal topik-topik yang dipilih oleh pihak penyelenggara pendidikan politik, harus sesuai dengan tema adil gender. Diskusi peran gender harus bisa lebih inklusif dan relevan, dimana perlu mengaitkan topik umum sehari-hari dengan keterkaitannya terhadap isu gender. Dengan kata lain, harus ada proses pengarusutamaan dari isu-isu pola pikir adil gender. Pengembangan pendidikan politik yang adil gender tidak luput dari sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Tantangan yang dihadapi sesungguhnya adalah standar ganda pada perempuan yang marak di politik dan pemerintahan, jelas Ninis. Standar ganda yang diterapkan pada perempuan perlu disadari bahwa hal ini adalah bentuk diskriminasi yang merugikan perempuan. Lady juga sependapat bahwa tantangan ekosistem yang sistematis dapat menimbulkan ketidakadilan gender di sistem politik. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah kesadaran masyarakat dari tokenistik atau menempatkan representasi kelompok marginal hanya untuk menggugurkan kewajiban, tidak untuk mengupayakan kesetaraan. Dibutuhkan juga partisipasi yang bermakna terkait keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, Lady menambahkan soal tantangan lainnya, yakni dalam rangka membangun pendidikan keadilan gender di politik, tenaga pendidik dan ahli-ahli muda yang memiliki pemahaman adil gender masih minim. Perlu membangun ekosistem yang setara pada perempuan muda yang dapat dimulai dari dalam lingkungan generasi muda itu sendiri. Bisa dimulai dari memunculkan kesadaran kecil tentang standar ganda pada perempuan pada kesehariannya, yang kemudian diperluas relevansinya pada ranah politik. Melalui ini, diharapkan tercapainya partisipasi yang bermakna dan inklusif bagi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dan hak pilih di dalam pemerintahan. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |