Jumat, 15 April 2016, Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia meluncurkan Temuan Kunci Studi Penyusunan Definisi Resmi Usaha Milik Perempuan di Hotel Bidakara, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah daerah, peneliti, serta perempuan pengusaha dari berbagai sektor industri. Bonaria Siahaan sebagai Direktur Eksekutif MCA Indonesia mengungkapkan bahwa ia sangat bersyukur karena publikasi studi penyusunan definisi usaha milik perempuan dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. “Studi ini merupakan bagian dari komitmen MCA Indonesia untuk mengintegrasikan gender ke dalam program Compact Indonesia sekaligus sebagai kegiatan lanjutan dari survei gender dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah dilaksanakan pada tahun 2014”, papar Bonaria dalam sambutannya. Tujuan utama dari studi ini menurut Bonaria adalah untuk menyusun definisi resmi usaha milik perempuan yang inklusif dan mampu menggambarkan situasi terkini perempuan pemilik usaha di Indonesia. Bonaria juga mengharapkan definisi ini nantinya dapat dijadikan acuan dalam pengumpulan data mengenai jumlah dan dinamika usaha milik perempuan Indonesia serta dapat membantu berbagai pihak dalam mengidentifikasi usaha milik perempuan dalam program, kebijakan serta penelitian terkait. Acara ini juga menghadirkan Sarah Sadiqa, Deputi Bidang Monitoring-Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi LKPP, untuk memberikan sambutan. Sarah menyampaikan bahwa selama ini tidak ada definisi resmi usaha milik perempuan. Dunia usaha biasanya hanya mendefinisikan usaha berdasarkan bidangnya atau fokus usahanya, seperti industri, jasa dsb. “Saya rasa mainstreaming gender dalam dunia usaha maupun pengadaan barang amat penting, selain untuk mengetahui sejauh mana kontribusi perempuan pengusaha terhadap perekonomian namun juga untuk memberikan akses seluas-luasnya terhadap usaha milik perempuan”, papar Sara mengakhiri sambutannya. Dalam acara ini juga staf ahli Menteri PPPA, Sri Danti Anwar diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato kunci terkait isu perempuan pengusaha di Indonesia. Sri Danti Anwar mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi tidak terlepas dari seberapa besar laki-laki dan perempuan ikut terlibat. Ekonomi di era digital ini menunjukan bahwa Indonesia adalah pengguna internet terbesar nomor 3 di dunia yaitu sebanyak 88,1 juta orang dan 40 juta perempuan mengakses internet. “Perempuan pengusaha mikro dan kecil menengah dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan keluarga, ini peluang besar”, papar Sri Danti Anwar. KPPPA mengharapkan nantinya definisi usaha milik perempuan sifatnya inklusif, fleksibel, mainstreaming gender, dan sustainable. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan paparan temuan kunci definisi usaha milik perempuan oleh Marisna Yulianti dari MCA Indonesia. Marisna menjelaskan bahwa studi penyusunan definisi usaha milik perempuan ini diawali oleh survei gender dalam pengadaan barang dan jasa pada tahun 2014 kerjasama LKPP dan Bappenas. Tujuannya studi ini, 1) untuk melihat analisis gender apa saja yang ada dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, 2) untuk mengadopsi definisi resmi usaha milik perempuan yang nantinya akan diintegrasikan terhadap data agar dapat dilihat sejauh mana akses perempuan terhadap dunia usaha. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di 8 kota besar di Indonesia dengan metode diskusi, desk review, lokakarya antara pemerintah dan non pemerintah, asosiasi, universitas, serta perempuan pelaku usaha. Marisna menjelaskan bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi perempuan dalam menjalani sebuah usaha. Kendala internal antara lain, 1) beban ganda, 2) kurangnya percaya diri, 3) tidak berani mengambil risiko, 4) kurangnya kapasitas dalam mengelola keuangan dan manajemen bisnis. Kemudian kendala lainnya datang dari eksternal yaitu, 1) sulit mendapatkan modal, 2) sulit mendapatkan dokumen usaha atas nama perempuan (biasanya atas nama suami), 3) sulitnya akses pemasaran, 4) sulit dapat dukungan keluarga. “Ketiadaan definisi resmi mengenai usaha milik perempuan menyebabkan tidak adanya data nasional mengenai jumlah dan dinamika usaha milik perempuan”, sambung Marisna. Ia juga mengungkapkan bahwa ada 3 negera di dunia yaitu Amerika, Kanada dan India yang telah memiliki definisi resmi serta kriteria seperti apa sehingga usaha tersebut dapat dikatakan sebagai usaha milik perempuan. Kriteria tersebut adalah kepemilikan modal, manajemen perusahaan, kontrol dan tanggung jawab risiko, dan tenaga yang didominasi perempuan. Dengan kriteria tersebut maka usaha yang dijalankan dapat dikategorikan sebagai usaha milik perempuan di negara-negara tersebut. Sebelum mendefinisikan apa dan seperti apa usaha milik perempuan, Marisna menjelaskan bahwa definsi ini diharapkan memang cocok dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam. “Terminologi perusahaan yang digunakan di tiga negara tersebut, kami rasa kurang pas dengan wajah industri di Indonesia, karena perusahaan adalah usaha yang sudah memiliki banyak pegawai sedangkan tujuan kami adalah menjaring seluruh data usaha yang dilakukan perempuan dari hulu ke hilir secara menyeluruh termasuk usaha perempuan penjual ikan dan sayur di pasar”, tutur Marisna. Prinsip utama definisi ini nantinya adalah bersifat fleksibel dalam aplikasi dan penggunaanya dapat strategis, tidak diskriminatif dan tidak menyulitkan perempuan, harus sesuai dengan kondisi Indonesia dan dapat diadopsi oleh pemerintah untuk membuat kebijakan. Definisi usaha milik perempuan hasil studi MCA Indonesia sebagai berikut:
Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |