Prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang Responsif Gender demi Ruang Aman di Lingkungan Kerja22/2/2024
Pada Senin (19/2/2024), beberapa organisasi yang berfokus pada hak buruh dan keadilan di lingkungan kerja, seperti Trade Union Right Centre (TURC), Serikat Pekerja Nasional (SPN), Cividep India, Südwind, dan FEMNET e.V mengadakan forum daring bertajuk “Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)” dengan tema “Learning and Obstacles: How Can We Engage for a Gender Lens in Occupational Safety and Health (OSH)”. Forum ini membahas soal penerapan langkah-langkah Occupational Safety and Health atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang responsif gender dalam kolaborasi berbagai aktor atau The Multi-Actor Partnership (MAP) di industri garmen dan alas kaki. Tujuan diadakan kolaborasi ini untuk meningkatkan kondisi kesehatan bagi pekerja perempuan pada industri tekstil dan garmen di India serta Indonesia. Diharapkan lingkungan kerja yang lebih sehat dan adil bagi setiap pekerja dapat tercipta. Forum OECD dibuka dengan pengenalan awal tentang tema diskusi oleh moderator, Lisa Carl dari FEMNET e.V. Kemudian, materi forum pertama dijelaskan oleh Fitri Masyuri sebagai perwakilan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN). Fitri memaparkan soal akses penyediaan pembalut gratis dan cuti haid yang pernah diusahakan oleh SPN. Kasus ini diangkat oleh SPN karena berdasarkan temuan TURC, dimana pekerja perempuan masih kesulitan mengakses pembalut saat menstruasi di lingkungan perusahaan. Bahkan, kelangkaan pembalut di lingkungan kerja memicu adanya aktivitas jual-beli pembalut antar pekerja perempuan.
Lalu SPN melakukan negosiasi ke perusahaan-perusahaan agar mempertimbangkan soal pengadaan pembalut. Negosiasi membuahkan hasil, yakni terdapat keputusan pemberian pembalut gratis bagi pekerja perempuan, yang bahkan sudah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Persoalan menstruasi tidak hanya tentang pembalut, tetap ijuga soal cuti haid. Cuti haid mula-mula perlu dipahami sebagai keadaan tidak bekerja di area perusahaan atau pabrik, bukan istirahat semata. Cuti haid mempersilakan perempuan untuk berada di lingkungan lain yang dirasa lebih sehat dan nyaman baik secara psikis maupun fisik saat menstruasi. Urgensi ini berhasil didiskusikan oleh SPN kepada perusahaan. Hasilnya, perusahaan menyetujui adanya cuti haid untuk hari pertama dan kedua menstruasi, dimana sudah dicantumkan pula dalam PKB. Kedua kasus ini menunjukkan komitmen bersama dalam menciptakan ruang kerja yang inklusif serta adil bagi setiap pekerja, termasuk pekerja perempuan. Realisasi kesepakatan ini juga bermanfaat bagi perusahaan, yaitu meningkatkan reputasi baik dan penilaian positif dari para pekerja. Selanjutnya, pemaparan materi kedua disampaikan oleh Kaveri M. T. sebagai representasi dari Cividep India. Materi berfokus pada hak kesehatan pekerja sektor garmen di Bangalore, India. Cividep telah melakukan penelitian dan pelatihan terhadap pekerja perempuan melalui pengembangan pengetahuan isu muskuloskeletal, reproduksi, nutrisi, dan kesehatan mental perempuan. Pelatihan ini menggunakan metode Training of Trainers (ToT). ToT merupakan suatu kerangka kerja untuk melatih dan meningkatkan kesadaran terkait suatu isu yang relevan di dalam suatu komunitas. Melalui ToT, Cividep India berusaha memfasilitasi pemahaman pekerja perempuan soal kesehatan reproduksi, pemenuhan nutrisi, pemahaman tentang isu kesehatan muskuloskeletal, dan pengembangan keterampilan untuk memahami serta memilah informasi kesehatan. Manfaatnya, pekerja perempuan memiliki kepekaan yang lebih terhadap isu kesehatan dan hak atas kesehatan mereka. Selain itu, pelatihan kesehatan ini juga mampu menciptakan lingkungan kerja yang sehat sekaligus meningkatkan produktivitas serta kompetensi pekerja pada aspek pengetahuan kesehatan pekerja. Kemudian penjelasan materi ketiga disampaikan oleh Didit Saleh dari TURC Indonesia. Pemaparan Didit bertajuk “Beyond Compliance and Empowering the Worker: Transformative Guidelines for Gender-Responsive OSH in the Garment and Footwear Industry in India and Indonesia”. Didit menyampaikan soal panduan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang responsif gender untuk industri garmen dan alas kaki. Panduan ini dibuat berdasarkan kolaborasi penelitian dari para aktor serta pemangku kebijakan tingkat nasional dan internasional dalam industri garmen dan alas kaki di India dan Indonesia. Beberapa aspek penting untuk kesuksesan dalam K3 yang responsif gender atau Occupational Safety and Health Responsive Gender Management System (OSH-GMS), yakni komitmen dari pemangku kebijakan, perencanaan, implementasi dalam pencegahan serta penanganan, pengawasan, evaluasi, dan pembelajaran. Dalam prosedur K3 ini, pertama-tama perlu mengidentifikasi risiko melalui analisis data, komplain, dan tingkat produktivitas pekerja. Identifikasi ini untuk memahami masalah dan tantangan yang dihadapi oleh pekerja, seperti masalah kesehatan reproduksi bagi pekerja perempuan, kesehatan mental, pemenuhan nutrisi, dan kekerasan berbasis gender. Selanjutnya, terdapat tahap pencegahan dan penanganan. Pencegahan merupakan langkah dalam menyediakan pelatihan bagi pengawas dan pekerja terkait cara dalam mencegah terjadinya masalah di lingkungan kerja. Selanjutnya, penanganan, yang berarti mengoptimalkan kinerja dari komite K3 (pekerja, serikat pekerja, dan perusahaan) untuk manajemen dan menangani masalah pekerja yang muncul, yang perlu disertai dukungan sumber daya dari perusahaan. Lalu langkah terakhir berupa monitoring, evaluation, dan learning. Langkah ini untuk mengakses ketersediaan dan menilai efektivitas pelayanan yang sebelumnya telah diberikan oleh perusahaan dan komite K3. Perlu digarisbawahi, K3 yang responsif gender baik dilakukan untuk melindungi HAM pekerja sekaligus mengurangi beban biaya tambahan perusahaan. K3 responsif gender dinilai mampu bermanfaat bagi kedua belah pihak untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan kondisi kerja yang aman dan adil. Di penghujung forum, hadir beberapa perusahaan garmen dan alas kaki dari Indonesia dan India yang sudah menerapkan kerangka K3 yang responsif gender. Pertama, Yuni Susanti dari Parkland World Indonesia. Ia menyampaikan bahwa Parkland World Indonesia sudah menerapkan konseling berbasis aplikasi bagi pekerjanya. Parkland World Indonesia memberikan program pemberdayaan perempuan, seperti adanya nutrition increasing program bagi ibu hamil, penyediaan ruang laktasi, fasilitas tes Pap Smear, adanya Antenatal Care Program, dan pengecekan kesehatan berkala. Hadir pula Haseem Ali dari Metro Fabrics India, yang menjelaskan bahwa Metro Fabrics India selalu berupaya menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Mereka mengawasi dan melakukan pengobatan terhadap pekerja yang memiliki penyakit anemia, tekanan darah tinggi, dan diabetes. Selain itu, Metro Fabrics India menyediakan program edukasi kesehatan dan konseling bagi pekerjanya. Akhir kata, Jiska Gojowczyk dari Südwind Institute menjelaskan tentang pentingnya MAP Project yang kolaboratif untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja. K3 yang responsif gender perlu dibangun dengan dialog internasional, seperti yang sudah dilakukan oleh Südwind. Guna mencapai keadilan dan kesetaraan bagi pekerja perempuan, perlu ada pelibatan dari para pemangku kebijakan serta representasi dari berbagai pihak, seperti kelompok kerja, perusahaan, dan para ahli. Hal ini demi terwujudnya visi bersama dalam membangun lingkungan kerja yang adil, aman, dan ramah gender. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |