Plan Internasional Indonesia: Anak Perempuan Harus Terbebas Dari Kekerasan di Dunia Online9/10/2020
Jumat (09/10), dalam rangka merayakan Hari Anak Perempuan Internasional, Plan Internasional Indonesia menyelenggarakan webinar dengan mengangkat tema “Freedom Online: Kebebasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Online”. Tema yang diangkat merupakan respons Plan Internasional Indonesia atas banyaknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dialami anak perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam sambutannya, Dini Widiastuti (Executive Director Plan Internasional Indonesia) menyampaikan bahwa #FreedomOnline merupakan tema yang dipilihan untuk program Girls Take Over tahun 2020. Menurutnya, tema tersebut dipilih guna membantu anak perempuan untuk terhindar dari kekerasan online, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan secara maksimal dan tanpa hambatan. “Kami di Plan bukan hanya bicara soal pemenuhan hak anak, tapi juga kesetaraan. Anak perempuan adalah kelompok marginal, terlebih lagi karena identitasnya sebagai anak dan sebagai perempuan,” ungkap Dini. Dini melanjutkan bahwa di masa pandemi COVID-19 ini, tema #FreedomOnline sangat relevan, mengingat segala aktivitas dilakukan secara daring termasuk sekolah. Menurutnya, penting menciptakan ruang digital yang aman bagi anak dan mendukung kesetaraan gender. “Besar sekali persentase anak-anak perempuan yang mengalami bullying dan pelecehan di dunia online. Kita perlu perhatikan hal ini dan menambahkan pengetahuan ini kepada anak-anak,” pungkas Dini. Dalam webinar ini, Nazla Mariza (Influencing Director Yayasan Plan Internasional Indonesia) menyampaikan hasil penelitian yang disusun Plan Internasional terkait kekerasan di dunia online yang dialami anak perempuan. The State of The World’s Girls Report tahun 2020, mendokumentasikan berbagai temuan penting terkait kekerasan online yang dihadapi 14.000 anak perempuan di 31 negara di seluruh dunia. Di Indonesia, ada 500 anak dan perempuan muda yang terlibat sebagai responden penelitian tersebut. Nazla menyampaikan bahwa secara global, (1) lebih dari setengah anak perempuan yang menjadi responden pernah mengalami kekerasan atau pelecehan di dunia online; (2) satu dari empat anak perempuan yang mengalami pelecehan online merasa tidak aman secara fisik; (3) pelecehan di dunia online membungkam anak perempuan; (4) ada serangan kepada identitasnya sebagai anak perempuan dan terhadap konten yang mereka angkat. “Di Indonesia, hasil riset menunjukkan bahwa 32% responden pernah mengalami KBGO, sedangkan 56% pernah mengetahui atau melihat KBGO,” jelas Nazla. Lebih jauh, data riset menunjukkan bahwa perempuan yang berusia 15-20 tahun merupakan kelompok paling rentan alami KBGO. Tiga platform komunikasi online yang paling banyak menjadi medium KBGO adalah, Facebook, WhatsApp, Instagram. Nazla juga mencatat, ada korelasi antara pengetahuan responden tentang KBGO dengan kemampuan mereka mengidentifikasi pengalaman KBGO. “Mayoritas anak yang menjawab tidak tahu definisi KBGO, akan menjawab tidak pernah mengalami KBGO, dengan demikian saya kira pada praktiknya KBGO lebih banyak daripada data yang kita temukan,” jelas Nazla. Bentuk-bentuk KBGO yang mayoritas dialami anak dan kaum muda perempuan antara lain, ancaman kekerasan seksual (96%), bullying (43%), stalking (42%), body shaming (27%). Menurut Nazla, KBGO ini sangat berdampak serius pada kesehatan mental dan rasa percaya diri anak perempuan. Terlebih lagi, 56% pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal seperti teman di sekolah. “Dampaknya anak perempuan kerap merasa rendah diri, kehilangan percaya diri, tidak aman secara fisik, menjauhi temannya, stres mental dan emosional, cenderung mengisolasi diri, pindah sekolah,” jelas Nazla. Dalam kesempatan tersebut, Nazla juga menyebutkan beberapa rekomendasi kunci Plan Internasional Indonesia untuk perusahaan media sosial, pemerintah, dan komunitas dalam rangka menciptakan ruang aman bagi anak perempuan di dunia online. Ia menyebutkan bahwa perusahaan media sosial harus menangani kasus KBGO secara serius dengan membuat mekanisme pelaporan yang lebih tegas. Lebih jauh, Nazla mengatakan bahwa pemerintah perlu memastikan akses internet yang inklusif dan aman. Pemerintah juga harus memastikan tanggung jawab perusahaan media sosial dan platform pihak ketiga. Keberpihakan pada anak dan kaum muda perempuan yang menjadi korban juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. “Pemerintah juga diharapkan dapat membuat regulasi yang efektif dan memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukum terkait penanganan KBGO yang sensitif pada anak dan kaum muda perempuan,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa komunitas dan lingkungan sekitar harus berperan dalam menciptakan ruang aman yang mendukung kemajuan anak perempuan. “Pengguna internet adalah mayoirtas kaum muda. Seharusnya media sosial, yang menjadi saluran utama kaum muda berinteraksi, berdiskusi, dan memengaruhi opini, maka publik harus menjadikan ruang digital sebagai wadah yang positif dan aman,” ungkap Nazla. Dalam acara ini juga diperkenalkan 5 anak perempuan yang dinyatakan terpilih sebagai peserta program “Girls Take Over: Sehari Jadi Pemimpin” tahun 2020. Kelima anak perempuan ini ialah Devie (Maluku Utara), Fayanna (Jawa Barat), Patrichia (Papua), Phylia (Nusa Tenggara Timur), Salwa (Kalimantan Timur). Forum ini juga menjadi ruang bagi mereka untuk berbagi pengalaman menjadi pemimpin dalam sehari kepada para peserta webinar dan anak perempuan di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |