Banyak isu HKSR yang masih tidak diketahui secara umum. Kalaupun diketahui, tidak sedikit yang malah dibumbui mitos dan kekeliruan. Tak terkecuali pada kontrasepsi darurat atau kondar. Apa itu kondar? Melalui Instagram LIVE pada Rabu (31/5/2023), Yayasan IPAS Indonesia berbagi informasi seputar kondar, terutama terkait hak pemulihan korban kekerasan seksual. Obrolan ini mendatangkan Mitra Kadarsih (Bidan/HSS Specialist IPAS) sebagai pembicara dan dimoderatori oleh Nur Jannah (Manajer Program IPAS). Pertama-tama, Mitra Kadarsih berusaha mematahkan mitos mengenai kontrasepsi darurat yang kerap dianggap pil aborsi. Ia menjelaskan bahwa kondar adalah salah satu jenis kontrasepsi, dan kontrasepsi (“kontra” dan “sepsi”) adalah pencegah kehamilan, yang berarti kehamilan belum terjadi ketika alat tersebut digunakan. Maka itu, kontrasepsi bukanlah alat aborsi, sama halnya dengan kontrasepsi darurat atau kondar. Ia melanjutkan bahwa perbedaan kondar dengan kontrasepsi lain adalah periode pemakaiannya, yaitu tidak lebih dari 5 hari setelah penetrasi. Ada riset terbaru yang juga membuktikan bahwa kondar masih bisa efektif sampai 120 jam setelah penetrasi, meskipun efektivitasnya menurun. Kekeliruan lain seputar kondar adalah bahwa ia hanya berbentuk pil. Mitra menjelaskan bahwa kondar dapat berbentuk pil dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yaitu copper IUD.
Mengenai akses, Mitra menjelaskan bahwa masih ada masalah yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman tenaga kesehatan mengenai jenis kondar yang lebih mudah diakses, terutama pada situasi genting seperti pemberian layanan kepada korban kekerasan seksual. Kemudian, di antara nakes sendiri masih ada kekeliruan bahwa kondar adalah pil aborsi, yang turut menghambat perempuan untuk mendapatkan bantuan darurat tersebut. Kekeliruan ini membuat mekanisme akses kondar menjadi sulit, misalnya hanya boleh didapatkan dengan resep dokter. Mitra menyatakan bahwa semestinya apoteker tahu bahwa isi kondar berbentuk pil adalah hormon progesteron, yang sifatnya bukan menterminasi kehamilan alias bukan alat aborsi. Ada mitos lain juga seperti kekeliruan bahwa kondar menyebabkan rahim kering. Stigma-stigma tersebut turut mempersulit perempuan, terutama korban kekerasan seksual, untuk dapat mengakses kondar. Padahal, dalam kalimat Mitra, “Jangan sampai korban sudah jatuh, tertimpa tangga pula.” Dialog masuk ke permasalahan aturan. Secara hukum, kontrasepsi termasuk kondar terikat oleh UU Kependudukan, yang menyatakan bahwa kontrasepsi hanya boleh diberikan kepada pasangan usia subur. Yang didefinisikan boleh mengaksesnya adalah pasangan yang menikah secara sah, sehingga yang menikah siri pun tidak masuk kategori tersebut. Mitra menjelaskan bahwa ini mempersulit pula masyarakat daerah yang seringkali menikah adat tanpa mengurus dokumentasinya secara hukum. Kembali ke isu kekerasan seksual, disebutkan bahwa kita butuh mengapresiasi Kementerian Kesehatan yang sudah membuat pedoman termasuk protokol pemberian kondar bagi korban KS yang mampu melapor di bawah 72 jam setelah terjadinya penetrasi. Kondar dianggap esensial untuk diberikan sesegera mungkin bagi korban KS. Mitra menjelaskan bahwa kondar dapat memiliki efek samping seperti rasa tidak nyaman. Namun itu wajar karena tubuh merespons kondar tersebut. Ia menjelaskan bahwa efek samping berbeda dengan komplikasi. Meskipun kondar tidak membutuhkan kontrol atau pendampingan terkait efek samping semacam itu, menurut Mitra berbeda lagi ketika konteksnya kasus kekerasan seksual. Dalam kasus KS, korban membutuhkan pendampingan dan penjelasan. Masalah seputar kondar juga berkelindan dengan isu HKSR pada anak. Untuk memberikan kondar berbentuk pil hormonal kepada anak korban KS, Mitra menginformasikan bahwa kita perlu melihat medical ability criteria sang anak. Dalam hal ini ia bercerita bahwa ada mitos-mitos lain soal kontrasepsi dalam konteks anak dan remaja, yaitu korban yang merupakan anak justru distigmatisasi sebagai pelaku “seks bebas”. Dalam satu jam dan hanya mengenai satu topik saja, banyak hal yang dapat dikupas mengenai situasi HKSR di Indonesia. Memang miris mengetahui bahwa masih banyak mitos seputar HKSR yang perlu dipatahkan, terutama di kalangan pihak terkait seperti tenaga kesehatan yang semestinya memberikan layanan kepada mereka yang membutuhkan. Maka itulah kita perlu tetap semangat dan terus menyebarkan wawasan mengenai isu HKSR. Kita tidak tahu kapan orang terdekat kita membutuhkannya. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |