Pada Jumat (19/7), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bekerjasama dengan Lokataru Foundation dan Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan kegiatan diskusi publik mengangkat tema “Ketimpangan Gender dalam Kasus-kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Indonesia”. Kegiatan yang menghadirkan tiga narasumber, Anugerah Rizki Akbari (Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan) dan Haris Azhar (Direktur Eksekutif Lokataru Foundation) ini dihadiri diantaranya oleh mahasiswa fakultas hukum, akademisi dan pegiat hukum serta media. Dalam paparannya, Atnike menyampaikan bahwa pada umumnya perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah korban. Namun dari sekian banyak kasus yang dialami perempuan yang berhadapan dengan hukum, sedikit diantaranya yang diselesaikan melalui jalur hukum. “Hukum kita belum mampu menangkap esensi keadilan khususnya yang melibatkan perempuan yang berhadapan dengan hukum,” ujar Atnike. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum seringkali memperoleh berbagai tantangan seperti, 1) aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender, 2) perempuan korban kerap mengalami reviktimisasi, 3) norma hukum acara yang masih berorientasi pada hak-hak pelaku/tersangka, 4) identitas korban yang dipublikasikan di media massa sehingga menimbulkan stigma bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, 5) perempuan korban yang diperiksa secara bersamaan dengan tersangka/terdakwa, 6) perempuan yang berhadapan dengan hukum juga seringkali tidak mendapat pendampingan yang cukup dari pengacara;, 7) praktik korupsi dan rekayasa bukti dalam proses penegakan hukum yang masih terjadi. Selain itu, persoalan yang juga dihadapi korban ialah minimnya kepekaan atau senstivitas gender para pendamping hukum. Reformasi hukum yang sudah dilakukan lebih banyak menyasar pada mereka yang sudah menjadi aparat penegak hukum. Padahal, kepekaan gender tidak bisa dilatih melalui pelatihan ketrampilan semata tetapi juga menyangkut pada nilai-nilai di dalam hukum itu sendiri. Dengan demikian menurut Atnike, perubahan dalam hukum pidana harus dimulai sejak pendidikan tinggi hukum. Sementara itu Haris dalam paparannya memberikan contoh kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum secara umum dengan latar belakang dan karakteristik yang berbeda-beda. Dari berbagai kasus tersebut, ada yang berhasil memenangkan kasus maupun gugatannya di pengadilan, ada juga yang kasusnya tidak direspons oleh hakim dan tidak dilanjutkan. Contoh-contoh yang disampaikannya memperkuat apa yang disebutkan sebelumnya terkait tantangan yang harus dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum. Perempuan berhadapan dengan hukum juga sering menghadapi penghakiman oleh publik. Haris menyampaikan, “dalam kasus RA, misalnya, selain mendapat penghakiman oleh publik, dia juga terancam mengalami apa yang menimpa BN. Dirinya terancam akan dilaporkan karena melanggar UU ITE”. Selain itu, Haris menambahkan dalam hal perempuan berhadapan dengan hukum yang memenangkan kasus, pihak tergugat kerap kali tidak melaksanakan putusan pengadilan, terutama jika Negara yang menjadi tergugat. Melengkapi paparan dua pembicara sebelumnya, Anugerah Rizki Akbari yang sering disapa Eky, dengan menggunakan kasus BN sebagai contoh menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang perlu diperbaiki terkait kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Ketiga hal tersebut ialah konteks penanganan kasusnya, legislasi dan emosi/opini masyarakat yang “dimainkan” seiring kasus berjalan. “Saya melihat dalam hukum pidana terdapat dua problem. Satu, perspektif gendernya kurang atau malah tidak ada; dan yang kedua, pemahaman mendasar tentang asas-asas hukum pidana juga tidak ada,” ujarnya. Eky juga mempersoalan rumusan dan interpretasi dalam legislasi yang juga problematik dan menimbulkan masalah dalam konteks penanganan kasus, khususnya dalam kasus perempuan berhadapan dengan hukum seperti dalam rumusan perkosaan di KUHP. Itulah menurutnya yang menyebabkan hampir 76% kasus perkosaan jauh di bawah tuntutan, karena tidak terpenuhinya definisi yang sesuai rumusan dalam KUHP. Dalam peradilan hukum pidana saat ini, korban masih bekum mendapat perhatian penting dan banyak pihak yang masih memfokuskan pada penghukuman seberat-beratnya bagi pelaku. Sehingga menurut Eky, “Advokasi harus diperluas. Mengharapkan penegak hukum untuk tiba-tiba berubah memiliki perspektif gender yang baik, tidak feasible. Yang harus dikunci adalah bagaimana rumusan UU ini agar tidak terlalu berbahaya, punya tujuan kriminalisasi yang jelas, dan hukuman yang sesuai. Dan yang peling penting dengan tidak melupakan pemulihan bagi korban”. Atnike menambahkan bahwa agenda keadilan gender di dalam hukum pidana, tidak bisa hanya menjadi agenda kaum perempuan, kelompok perempuan atau organisasi perempuan semata karena persoalannya melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat dan dimensi hukum baik dari substansi hukum maupun pelaku hukum. Diskusi dan pembelajaran seperti ini perlu diadakan di tempat-tempat seperti Jentera dan bukan hanya di ruang pengadilan atau di pelatihan hakim dan jaksa. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |