Pada Selasa (12/07) lalu, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menggelar acara Pra-Konferensi dengan webinar bertajuk “Menilik Kembali (R)UU untuk Rakyat”. Acara ini menghadirkan empat tim riset INFID yakni A.D. Eridani (Senior Program Officer Partnership & Membership INFID), Alfindra Primaldhi D. (Tim Riset Kuantitatif SETARA), Dio Ashar (Tim Riset Kuantitatif SETARA), dan Maidina Rahmawati (Tim Riset Kualitatif SETARA). Keempat pembicara tersebut memaparkan hasil penelitian sementara dari amatan pasca disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Tiga narasumber lain yakni Devi Anggraini (Ketua Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – AMAN Indonesia) menjelaskan Rancangan UU Masyarakat Adat (RUU MA), Erasmus Napitupulu (Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform – ICJR) dengan amatan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), serta Eva Kusuma Sundari (Direktur Institut Sarinah) yang memaparkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Diskusi dimoderatori oleh Alfina Mustafina (Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan).
Alfina membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan kunci: Bagaimana membangun advokasi terbaik terhadap masing-masing UU dan RUU yang belum disahkan? Serta khusus bagi UU TPKS yang telah disahkan, apa langkah selanjutnya yang patut diwaspadai? Pertanyaan di atas kemudian disambung oleh pemaparan narasumber. Materi pertama yakni dari tim INFID dibuka oleh Eridani. Ia menegaskan bahwa INFID adalah lembaga advokasi kebijakan berbasis data. Di tahun 2022 INFID bekerjasama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan dan Koalisi Perempuan Indonesia dalam menjalankan program “Setara 2030”. Melalui program ini INFID melakukan studi dan kampanye publik, serta menyusun makalah kebijakan untuk disampaikan kepada para pengambil kebijakan di akhir riset tersebut. Berkenaan dengan itu, akhir April tahun ini INFID mulai melakukan dua metode studi: kualitatif dan kuantitatif. Pengalaman studi kuantitatif yang dilakukan INFID setelah pengesahan UU TPKS dipaparkan oleh Alvin dan Dio. Dalam penjelasan Alvin, metode ini bertujuan untuk melihat prevalensi yang masih terjadi serta pengetahuan masyarakat terkait UU TPKS. Setelah diberikan penjelasan riset ini menemukan bahwa 98% responden menilai UU TPKS diperlukan, setelah sebelumnya ada yang belum tahu atau masih mengingatnya sebagai RUU PKS/RUU TPKS. Selain itu, 53% responden setuju dengan hukuman yang diatur dalam UU TPKS. Sejumlah 90% responden menilai pentingnya peran lembaga dan institusi lain dalam penerapan UU TPKS. Kemajuan ini masih ditinjau lagi dan melihat beberapa temuan baru yang berhasil disampaikan oleh Dio. Melalui model riset serupa, kebaruan data di antaranya mengenai persepsi masyarakat terhadap pengaturan jenis kekerasan seksual (KS) dalam UU TPKS. “Ada setidaknya satu keberatan dari bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan jumlah 15,9% sementara 84,1% responden menyetujui semua bentuk tindak kekerasan seksual yang tercantum. Tiga keberatan utama tersebut ada pada tindak pemaksaan kontrasepsi, sebanyak 49,2%, pelecehan seksual non fisik, sebanyak 33,0%, dan pemaksaan sterilisasi, sebanyak 25,7%” papar Dio. Temuan data lapangan yang penting juga disampaikan oleh Maidina. Berbasis studi kualitatif bertajuk Tantangan Implementasi dan Operasionalisasi UU TPKS, ia menyampaikan setidaknya ada dua tantangan pasca pengesahan yakni pada aspek materil dan formil. Tantangan pada aspek materil, utamanya pada listing tindak pidana. Misalnya, Pasal 5 tindak pidana pelecehan seksual non fisik tidak disebutkan bentuk-bentuk pelecehannya, pasal 6 pelecehan seksual fisik yang memuat tiga jenis perbuatan yang sebenarnya lebih dari pelecehan fisik, dan perbedaan eksploitasi seksual dan perbudakan seskual. Sedangkan tantangan aspek formil diantaranya; implementasi pasal 23 yakni larangan penyelesaian di luar persidangan yang tidak mudah dilakukan (bagaimana jika kasus hanya dibicarakan di tataran masyarakat), kemudian masih asingnya bukti visum psikologis dan ketersediaan infrastruktur rumah sakit. Keberhasilan UU TPKS yang nyatanya masih memerlukan tinjauan implementasi dan operasionalisasi ternyata masih menyisakan agenda bagi RUU lain. Bahkan bisa dikatakan, nasibnya terkatung lebih lama. Dalam pemaparan Devi, misalnya, atas upaya revisi RUU MA. Inisiatif RUU ini dimulai sejak tahun 2009. Pada tahun 2012 pertama kali diserahkan draf ke ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di kongres Masyarakat Adat kemudian masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tapi pembahasannya tidak jelas sampai sekarang. Bahkan Devi menyatakan “seperti biasanya nanti di akhir-akhir ujung tahun ini akan hangat lagi gitu ya tapi nanti pasti tidak akan diteruskan”. Kesulitan lain adalah RUU MA ini seringkali digunakan secara politis. Hal ini dikarenakan menyangkut suatu masyarakat dengan wilayah geografis tertentu, belum lagi dengan praktik perkebunan, pertambangan, konservasi, dan transmigrasi yang ada di wilayah adat serta mendiskriminasi masyarakatnya. Belum lagi diperparah dengan RUU yang dianggap Devi masih buta gender. Pemaparan kemudian disambung oleh Erasmus mengenai Rancangan KUHP yang lebih lama lagi diperjuangkan. Undang-undang ini sudah diwacanakan selama 60 tahun sementara draf berhasil dirampungkan sekitar tahun 80-an akhir (1989 sampai 90-an awal). Erasmus menyampaikan pentingnya perubahan KUHP saat ini. Karena UU tersebut telah dipakai di Indonesia selama 104 tahun dan hasil adopsi KUHP Belanda. Ia menegaskan bahwa KUHP baru harus bebas logika kolonial serta mengutamakan semangat kemerdekaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Salah satu RUU terakhir yang belum disahkan adalah RUU PRT. Materi yang disampaikan oleh Eva ini juga menyinggung bagaimana praktik kolonial yakni perbudakan modern masih terjadi dan lebih parah menimpa perempuan PRT. Pentingnya pengesahan menurut Eva karena semakin meningkatnya kasus kekerasan PRT bahkan temuan kasus baru di tengah situasi pandemi COVID-19. Perjuangan advokasi untuk RUU ini juga menemui beberapa kesulitan diantaranya datang dari Wakil Ketua Umum partai penolak yang menilai RUU ini menghilangkan karakter gotong royong, membuka serikat pekerja PRT akan memunculkan potensi konflik tinggi, dan ketentuan gaji akan memberatkan pasangan kelas menengah baru atau kelas pekerja. Diskusi kemudian diteruskan dengan sesi tanya jawab. Melalui diskusi ini moderator menutup dengan mengingatkan kembali bahwa UU TPKS dapat menjadi motivasi untuk tiga RUU lainnya agar dapat diperjuangkan secara kolektif oleh masyarakat sipil. Kepentingan ini adalah untuk mengisi kekosongan hukum dan menciptakan payung hukum yang lebih komperhensif. (Seli Muna Ardiani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |