Pada Kamis lalu (22/2/2024), Yayasan Pustaka Obor menyelenggarakan peluncuran dan diskusi buku yang berjudul Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara karya Musdah Mulia. Musdah adalah seorang intelektual, feminis, dan aktivis asal Indonesia. Ia juga merupakan perempuan pertama yang meraih gelar doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kegiatan yang berlangsung secara luring di Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ini dimoderatori oleh Feby Indirani (Editor) dan menghadirkan Prof. Dr. Musdah Mulia selaku penulis beserta tiga penanggap yang terdiri dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A. (Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia), Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, Ph.D. (Cendekiawan Muslim Muhammadiyah), dan Bambang Harymurti (Jurnalis). Kegiatan dibuka dengan penayangan video tentang proses yang Musdah tempuh dalam menuliskan bukunya. Karya ini bermula dari keinginannya untuk menuliskan perjalananya bertemu kelompok Taliban di Afghanistan. Akan tetapi, kegemarannya dalam menulis dan kecintaannya untuk berbagi membawanya menuliskan refleksi perjalanannya ke 51 negara yang pernah ia kunjungi. Setiap dari perjalanan yang ia tuliskan memuat negara dan pembelajaran yang berbeda-beda.
Misalnya, perjalanannya ke negara bekas konflik membuatnya belajar tentang bagaimana suatu negara dapat eksis setelah tercabik-cabik. Di sisi lain, perjalanannya ke negara maju membawanya pada pemahaman tentang bagaimana masyarakat di sana memenuhi haknya dan mengusahakan keadilan serta kesetaraan gender di lingkungannya. Perjalanannya ke berbagai macam negara memberinya pengalaman bagaimana seseorang perlu memaknai keberagaman dan berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat, kelompok kepercayaan, dan kelompok gender. Sulis sebagai penanggap pertama menggarisbawahi kehadiran buku Perjalanan Lintas Batas sebagai refleksi perempuan intelektual feminis. Berbagai penghargaan nasional dan internasional yang dianugerahkan kepada Musdah adalah bentuk rekognisi dan apresiasi atas usahanya dalam memperjuangkan kesetaraan dan demokrasi. Melalui kisahnya, Musdah telah secara tegas meluruskan bagaimana perempuan dan keberagaman agama dapat diposisikan dan dipandang secara egaliter. Tidak hanya itu, menurut Sulis, buku yang berisi rangkaian perjalanan mengunjungi berbagai wilayah di dunia ini juga berhasil menunjukkan pengalaman berbasis konsep kebudayaan yang lahir dari konteks geografis, kesejarahan, dan sosial-politik suatu wilayah. Perbedaan kebudayaan menimbulkan perbedaan hukum dan perbedaan perspektif yang menjadi hal fundamental dalam memandang suatu persoalan. Oleh sebab itu, berbagai persoalan, khususnya terkait gender, perlu diteliti menggunakan perspektif interseksional sehingga kita dapat melihat keutuhan dari berbagai irisan-irisan identitas. Selanjutnya, Najib menyampaikan pengalamannya sebagai salah satu rekan Musdah yang pernah bersama-sama berdialog dengan kelompok Ahmadiyah di London pada tahun 2023. Pengalamannya bertemu dengan kelompok agama lain dan berkunjung ke beberapa tempat bersejarah yang memaknai kehadiran Islam di Inggris dan Eropa mengantarkannya pada pemahaman tentang lapisan-lapisan yang terdapat pada suatu konflik. Najib menggunakan contoh Palestina. Selain menjadi tempat simbolis bagi umat Islam, Palestina juga menjadi tempat yang menyimpan banyak jejak kaum Nasrani. Dalam menghadapi konflik pun terdapat banyak tokoh Nasrani yang aktif membela Palestina. Menurut Najib, hal ini mendemonstrasikan bahwa perjalanan lintas batas seperti yang Musdah lakukan sesungguhnya tidak mudah, tetapi memiliki kontribusi dan signifikansi yang amat besar dalam konteks perdamaian. Hal ini disepakati oleh Bambang melalui tanggapannya yang menceritakan tentang pandangannya terhadap sosok Musdah. Menggunakan alegori gua Plato, Bambang mengumpamakan bahwa masih banyak masyarakat saat ini yang terbelenggu di dalam gua dan kesulitan untuk menerima kembali kehadiran sosok yang telah keluar dari gua. Dalam beberapa peristiwa di Indonesia yang menyoal konflik antara kelompok beragama, usaha menawarkan mediasi dan rekonsiliasi sebagai penerangan tidaklah mudah untuk dilakukan sebab risiko-risiko yang rentan dihadapi oleh pihak mediator. Akan tetapi, hal ini merupakan sesuatu yang sudah sangat sering dialami oleh Musdah. Kritikan, penolakan, dan ancaman senantiasa mengiringi langkahnya menyuarakan kebenaran, tetapi ia tak pernah gentar. Pada akhir sesi tanggapan, Musdah menyampaikan sesuatu yang mendorongnya untuk bisa tangguh seperti pada kisah-kisah yang disampaikan oleh penanggap sebelumnya. Menurut Musdah, jauh sebelum kita dapat menilai seseorang berdasarkan atribut atau properti yang melekat padanya, kita perlu menelisik sisi kemanusiaan yang ada padanya. Pada akhirnya, perjalanan yang Musdah Mulia tempuh merupakan suatu bentuk optimisme sekaligus bukti bahwa pemahaman dalam keberagaman dan perubahan yang mendamaikan adalah sesuatu yang mungkin untuk kita capai bersama. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |