Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Gerakan Pita Ungu berkolaborasi dengan Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (KPPKS FISIP UI) menyelenggarakan bincang-bincang “DeCode KBGO: Luput Diperbincangkan, Tersembunyi di Balik Sorotan” pada Kamis (7/12/2023) lalu. Acara bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Depok. Seperti judul bincang-bincang, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi salah satu kekerasan paling marak di Indonesia kini. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2023 mencatat sebanyak 1.697 aduan kasus KBGO yang diterima oleh Komnas Perempuan. Jenis kekerasan terbanyak adalah sextortion atau pemerasan seks, non-consensual dissemination of intimate images (NCII) atau penyebaran konten intim nonkonsensual, dan pinjaman online. Kendati begitu, masyarakat kita kerap menyepelekan ancaman KBGO sebab kekerasan tidak “dilakukan secara langsung”. Menanggapi fenomena ini, Mamik Sri Supatmi selaku pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI menegaskan pentingnya upaya penghapusan KBGO. “Teknologi kerap disalahgunakan menjadi ruang untuk melakukan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan,” tukasnya dalam sambutan kegiatan.
Budaya populer dapat menjadi jembatan yang ideal untuk memahami berbagai peristiwa sosial, seperti halnya KBGO. Berdasarkan hal ini, panitia mengajak audiens untuk mendiskusikan film Like & Share (2022) yang mengangkat masalah KBGO. Film garapan Gina S. Noer ini membingkai kisah Lisa (Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana), dua orang remaja yang masih mencari jati diri, yang harus menghadapi kekerasan siber secara langsung. Permata Adinda (jurnalis Project Multatuli), Eni Puji Utami (anggota PurpleCode Collective), dan Zeni Tri Lestari (KPPKS FISIP UI) diundang untuk memberikan pandangan mereka terhadap film Like & Share dan kejadian serupa di dunia nyata. Memulai paparan, Permata Adinda menyampaikan bahwa film tersebut menunjukkan budaya kekerasan yang dialami masyarakat. Tidak hanya maraknya KBGO dan rentannya korban, tapi juga soal pelanggengan kekerasan oleh bystander atau pengamat. Pelanggengan kekerasan sayangnya sering dilakukan oleh pihak-pihak yang seharunya melindungi korban. Dalam film, hal itu dilakukan oleh guru dan teman sebaya korban. Adanya hierarki atau relasi kuasa memperparah penderitaan korban. Pada akhirnya, perempuan kembali menjadi pihak yang dikorbankan. Perempuan dipaksa menjaga aurat, dibiarkan menderita, dan dicemooh karena sudah melakukan aktivitas seksual adalah beberapa konsekuensi dari budaya kekerasan. Akibatnya kekerasan terhadap perempuan dilazimkan oleh masyarakat. Tentu, kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang seharusnya dibiarkan, tegas Eni. Membuka paparannya, Eni menyatakan KBGO sudah terjadi bahkan sebelum ruang digital semaju sekarang. Dari masa telepon genggam baru mulai dikomersialisasikan, banyak perempuan yang menerima SMS bernada seksual yang tidak diinginkan. Di sisi lain, angka KBGO yang meningkat tajam sekarang juga berarti KBGO sudah dicatat dan mulai dianggap serius. Eni memberikan contoh dalam film Like & Share, ketika pelaku memiliki kontrol terhadap korban, pelaku tidak segan melakukan sextortion atau NCII. Tujuannya adalah untuk mengontrol korban. Film juga menunjukkan dalam KBGO, ada pelaku primer (yang pertama kali menyebarkan konten nonkonsensual) dan pelaku sekunder (yang menikmati dan mengolok-olok korban). Untuk mengatasinya, masyarakat perlu belajar untuk tidak menjadi pelaku sekunder dan menghentikan penyebaran konten nonkonsensual, alih-alih menyebarkannya secara lebih luas lagi. Zeni Tri Lestari sebagai pemapar selanjutnya menyatakan persepsi masyarakat akan korban sering tidak tepat. Kadang kita menganggap korban sebagai orang yang tidak berdaya, trauma, tidak bisa bangun dari kasurnya. “Padahal, banyak korban yang masih dalam tahap denial dan baru mampu memproses kekerasan seksual yang menimpanya setelah beberapa bulan kejadian,” tuturnya. Zeni yang juga merupakan Sahabat Jurnal Perempuan ini menekankan peran kita sebagai support system dalam meyakinkan korban KBGO. Di sisi lain, adanya regulasi anti kekerasan seksual saja tidak cukup. Partisipasi aktif dari masyarakat sangat diperlukan. Utamanya karena kekerasan seksual dan KBGO adalah hasil dari masyarakat patriarkis yang hanya memandang perempuan sebagai objek. Dalam film Like & Share, tokoh Devan (Jerome Kurnia) yang berusia 27 tahun berhubungan dengan Sarah yang masih berusia 18 tahun. Devan mengambil keuntungan dari kenaifan Sarah untuk memperdayainya. Hubungan semacam ini, ujar Zeni, sangat rentan karena pihak perempuan berada dalam relasi kuasa. Pasangan yang usianya terpaut jauh, terlebih jika salah satu pihak masih berusia belasan tahun, rawan sekali memunculkan kekerasan dalam hubungan. Termasuk KBGO. Dalam kapasitasnya sebagai anggota KPPKS FISIP UI, Zeni mendorong mahasiswa untuk menghimpun diri. Mahasiswa dapat melakukan advokasi untuk mendesak universitas melindungi mahasiswanya dari kekerasan seksual. Upaya ini membuahkan hasil bagi mahasiswa FISIP UI. Kerja keras mereka dalam mendesak dekan FISIP UI akhirnya membuat dekan menandatangani pembentukan KPPSK FISIP UI. “Ini bisa dicontoh oleh mahasiswa fakultas lain di UI,” tegas Zeni. Selain advokasi, kita juga dapat melakukan intervensi dalam kasus KBGO untuk membantu korban. Dalam melakukan upaya-upaya ini, mahasiswa dapat menggandeng sebanyak-banyaknya mahasiswa lain, termasuk mahasiswa dan dosen laki-laki, untuk menyukseskan gerakan. Sebab, KBGO dan kekerasan seksual lainnya, menjadi ancaman bagi seluruh gender tanpa terkecuali. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |