Pada 6 Desember 2022 ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan menjadi undang-undang, meskipun masyarakat telah mengajukan kritik terhadap pasal-pasalnya yang berpotensi semakin merugikan kelompok masyarakat marginal. Hukum semestinya memastikan keadilan. Namun, ketika hukum buta terhadap perbedaan pengalaman individu, hukum dapat menjadi buta terhadap ketidakadilan yang terjadi. Topik KAFFE hari ini membahas interseksionalitas, sebuah praxis yang salah satunya bertujuan mengatasi kebutaan tersebut. Kelas dibuka oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri (Daru) selaku moderator yang menyapa dan mempersilakan peserta bertegur sapa dengan pembicara hari ini, yaitu Gadis Arivia.Daru memulai sesi KAFFE yang dilakukan dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) ini dengan menyatakan bahwa topik kali ini sepertinya tepat dengan momen hari ini: ketika pemerintah menetapkan undang-undang yang semakin antikritik dan kolonialistik. Dalam diskusi tentang interseksionalitas dengan Gadis Arivia, kita belajar bagaimana kritik terhadap sistem opresif harus dilakukan, salah satunya menggunakan lensa interseksionalitas.
Merujuk Audre Lorde, Arivia mengatakan, “Kita hidup dalam kompleksitas isu.” Ia menanyakan kepada peserta, “Identitas apakah yang bersilang di dirimu?” Ada peserta yang menjawab “perempuan, Jawa, Muslim”, “perempuan, lesbian, nonmuslim”, “laki-laki, gay, Muslim, Jawa”, “genderqueer, Jawa, difabel, nonmuslim, berpendidikan”, dan sebagainya. Dari jawaban para peserta, Arivia membawa diskusi ke pembahasan “doing gender”. Arivia membahas bagaimana kita doing gender dalam bersikap, berbicara, dan merespons orang lain, baik secara sadar maupun tidak sadar. Doing gender juga memengaruhi bagaimana orang melihat kita. Selain itu, doing gender berkelindan dengan lokasi sosial lainnya dalam diri seperti usia, seksualitas, ras, agama, kelas, dan kondisi fisik. Interseksioanalitas adalah teori yang mengakui bahwa orang atau kelompok tertentu dirugikan akibat kelindan atau persilangan berbagai lokasi sosialnya. Interseksionalitas memahami adanya penanda identitas (misalnya, perempuan, kulit hitam, miskin) yang saling berhubungan dan membuat situasinya direspons secara berbeda oleh orang atau kelompok lain. Ketika mereka tertanda, seringkali ada respons ketidakberterimaan. Respons tersebut dapat dilihat dari level individu hingga negara, bagaimana setiap lapisan memperlakukannya, meresponsnya, karena ia tertanda. Respons terhadap kelompok marjinal biasanya berbentuk penindasan dan diskriminasi. Arivia menyebutkan bahwa Kimberle Crenshaw menggagas interseksionalitas pada 1989 sebagai metode praxis untuk menggugat ide “kesamaan” perempuan. Menurutnya, setiap perempuan menghadapi ketidakadilan secara berbeda. Arivia membahas bagaimana Crenshaw membaca kasus Emma de Graffenreid yang mengalami diskriminasi akibat persilangan identitas gender dan rasnya. Saat itu, belum ada pemahaman interseksionalitas sehingga hakim tidak melihat ada masalah diskriminasi. Perusahaan yang digugat memiliki karyawan perempuan dan karyawan kulit hitam, sehingga tuduhan rasisme dan seksisme dianggap tidak terbukti. Padahal, karyawan perempuannya berkulit putih dan karyawan kulit hitamnya laki-laki. Keduanya bukanlah Graffenreid, yang merupakan perempuan berkulit hitam. Crenshaw melihat persilangan identitas yang membuat Emma mengalami diskriminasi secara berbeda dari perempuan kulit putih dan laki-laki kulit hitam. Maka itu, Crenshaw melihat bahwa metode interseksionalitas perlu digunakan untuk mencermati ketersilangan identitas dan opresi yang menyertainya, sehingga kita dapat membuat kebijakan yang lebih adil. Diskusi sampai ke sesi tanya-jawab pertama. Sesi ini menjadi ruang pertemuan teori dan praktik di lapangan, yang terlihat pada dialog beberapa peserta dengan Arivia. Mariana Amiruddin dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bertanya apakah ia dapat menggunakan teori interseksionalitas, feminis multikultural, atau keduanya untuk menganalisis masalah yang perempuan alami di Konflik Papua. Arivia berpendapat bahwa teori feminis multikultural sepertinya belum cukup untuk menganalisis situasi di sana. Menurutnya, teori interseksionalitas dapat digunakan untuk menganalisis penindasan negara terhadap Papua. Kemudian, Hartoyo dari Suara Kita bercerita bahwa ia sedang mendampingi kasus terkait teman-teman transpuan. Ia mengaku sulit untuk menjelaskan kepada pengambil kebijakan tentang kekhasan identitas transpuan. Pada sesi selanjutnya, Arivia menegaskan bahwa intersksionalitas tidak melihat identitas secara hierarkis, misalnya ras yang utama, atau gender yang pertama. Dalam mengatasi permasalahan pun tidak bisa memprioritaskan satu dimensi dulu. Ia bercerita bagaimana pada 1998 ada aktivis-aktivis yang berpendapat bahwa isu perempuan tidak perlu dibahas, sebab hak perempuan dianggap akan sendirinya terpenuhi dengan berdirinya demokrasi. Nyatanya, meskipun perempuan saat itu sangat berperan dalam menjatuhkan rezim Orde Baru, saat ini saja KUHP justru membuat perempuan semakin terpojok. Kemudian, Arivia memperkenalkan beberapa dimensi identitas yang penting dicermati dalam menggunakan lensa interseksionalitas. Misalnya kelas, tempat tinggal, ras, tubuh, identitas, dan gender. Selain itu, ia juga membahas bagaimana disabilitas dan usia tua dialami serta tertanda secara berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Meskipun malam semakin larut, semangat sesi tanya-jawab kedua tidak surut. R.R. Sri Agustine bercerita tentang disertasinya terkait perempuan dalam persidangan. Ia melihat ketersilangan identitas yang membuat perempuan berada di posisi semakin dirugikan dalam persidangan. Ia melihat bagaimana feminist legal theory (FLT) dapat digunakan untuk mengangkat pengalaman perempuan dalam penelitiannya, tetapi ada anggapan di sekitarnya bahwa FLT bukan teori, melainkan sekadar gerakan. Hal ini menunjukkan masih adanya kekerasan epistemik yang berusaha mengerdilkan pemikiran feminis, dan berimplikasi pada produksi pengetahuan dan praktik yang juga tidak berpihak pada perempuan. Arivia mendukung Agustine untuk memperjuangkan penggunaan FLT, sebab FLT membongkar ketidakadilan berdasarkan pengalaman kelompok yang dirugikan. Terakhir, Tia Fitriyanti bercerita tentang keterlibatannya dalam penanganan kasus perkawinan anak. Ia bertanya apakah kita dapat menggunakan interseksionalitas untuk menganalisis kebijakan Indonesia dalam kasus perkawinan anak, dan secara lebih lanjut mengatasi masalah anak perempuan yang sudah menjadi korban. Arivia melihat bahwa penjelasan Tia sudah menunjukkan perspektif interseksional. Lalu, ia menggagaskan bahwa yang perlu kita lakukan adalah juga menerapkan interseksionalitas pada strategi implementasi kebijakan. Contohnya, menyasar instansi terkait dimensi-dimensi yang menjadi faktor perkawinan anak, seperti berdialog dengan instansi terkait agar korban perkawinan anak diberikan kesempatan untuk dibina sampai mandiri secara ekonomi, bekerja sama dengan departemen agama, tokoh budaya, dan sebagainya. Kita harus menggunakan strategi interseksional, menyasar seluruh lapisan yang menjadi faktor perkawinan anak. Arivia menyarankan agar teman-teman aktivis memikirkan untuk membuat modul aktivisme yang menerapkan prinsip interseksional. “Mungkin PR kita adalah membuat panduan praktis. Seperti kata Crenshaw, interseksional ini harus praxis, tidak hanya konseptual.” Diskusi ini memperlihatkan bagaimana jejaring informasi di antara feminis akademisi dan gerakan perlu terus dijalin. Dialog yang mempertemukan teori dengan gerakan seperti dalam kelas ini dapat memunculkan gagasan yang penting bagi kerja feminis di Indonesia. Dalam kelas ini, kita belajar bahwa interseksionalitas tidak boleh hanya digunakan secara teoretis, tetapi juga harus diimplementasikan dalam praktik gerakan. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |