Perempuan Merdeka Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi: Refleksi atas Permendikbudristek PPKS19/9/2022
Institusi pendidikan tinggi sebagai lembaga pendidikan dengan citra yang kredibel dan terhormat nyatanya tidak lepas dari isu kekerasan seksual. Skema Kampus Merdeka yang realitanya tidak benar-benar memerdekakan insan pendidikan dari tindak kekerasan seksual telah memantik diskusi dari berbagai kalangan, termasuk dari lembaga pendidikan itu sendiri. Salah satu diskusi terkait isu kekerasan seksual dilaksanakan oleh Prodi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Mulawarman dengan diskusi bertajuk “Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi: Mampukah Negara Melindungi?” pada Selasa (13/9) lalu. Narasumber diskusi yang berasal dari kalangan akademisi dan penggiat gender mengajak para peserta diskusi yang hadir secara luring dan daring untuk merefleksikan kembali isu kekerasan seksual yang tidak pandang pilih. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapapun dan di manapun, termasuk di institusi pendidikan, yang notabenenya menjadi wadah bagi kaum intelektual. Diskusi ini menghadirkan berbagai pembicara dari berbagai institusi akademik di Indonesia, yaitu Abby Gina Boang Manalu (Yayasan Jurnal Perempuan — YJP), Dr. Indraswari (Universitas Katolik Parahyangan), Dr. Mardiana Ethrawaty Fachry (Universitas Hasanuddin), dan Dr. Dhia Al Uyun (Universitas Brawijaya). Acara ini juga dibuka oleh sambutan dari Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si. (Rektor Universitas Mulawarman), Dr. H. Muhammad Noor, M.Si. (Dekan FISIP Universitas Mulawarman), dan Dr. Fajar Apriani, M.Si. (Koordinator Prodi Administrasi Publik FISIP Universitas Mulawarman). Untuk memandu acara ini, terdapat Thalita Rifda Khaerani sebagai host dan Santi Rande sebagai moderator.
Marwah perguruan tinggi untuk mengembangkan watak peradaban bangsa dapat tercoreng dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusinya. Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menguatkan pernyataan tersebut melalui data-data yang disajikannya. Data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa antara tahun 2015 hingga 2020, perguruan tinggi menempati urutan teratas sebagai lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual terbanyak. Sebesar 27% dari keseluruhan data pengaduan kekerasan seksual yang diterima oleh Komnas Perempuan adalah terjadi di perguruan tinggi. Data serupa turut disajikan oleh Indraswari selaku narasumber dari Universitas Parahyangan. Indraswari memaparkan perempuan sebagai kelompok dominan yang kelompok rentan kekerasan seksual. Data kasus kekerasan seksual hanya menggambarkan fenomena gunung es. Masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan. Mewakili YJP, Abby turut menghadirkan perspektif feminis untuk melihat penyebab kekerasan seksual di perguruan tinggi. Pertama, adanya relasi kuasa dan ketimpangan gender sistematik yang menimbulkan adanya ketimpangan kuasa antara korban dan pelaku. Adanya budaya malu dan cenderung menyalahkan korban masih menjadi pemikiran umum yang dipercaya dalam komunitas pendidikan. Kedua, absennya lensa interseksionalitas, yang memperhatikan interelasi antara berbagai faktor di tingkat masyarakat, komunitas, dan juga individu. Ketiga, budaya kekerasan dan patriarki yang masih marak di institusi pendidikan. Minimnya pencegahan dan intervensi institusi pendidikan terhadap budaya, kebijakan, situasi ataupun kondisi yang seksis dan misoginis menyebabkan tingginya peluang KBG dan kekerasan seksual. Banyak perempuan penyintas KBG memilih tidak melaporkan kasusnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mardiana Ethrawaty Fachry dari Universitas Hasanuddin. Mardiana menyampaikan, hanya sedikit perempuan yang memilih melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya karena rasa khawatir akan penghakiman dari masyarakat. Budaya patriarki yang begitu kuat seolah menyudutkan para penyintas KBG. Ini menjadi suatu indikasi bahwa perempuan tidak dilindungi dan menjadi sangat rentan mengalami kekerasan seksual oleh pelaku. Lingkungan kampus tidak menutup berbagai celah yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan seksual. Normalisasi KBG yang memandang hal tersebut hanya sebatas pelanggaran kesusilaan atau kesopanan agaknya mendorong para korban untuk diam. KBG yang sejatinya merupakan pelanggaran Hak Asasi Kemanusiaan (HAM) pada akhirnya mengendap karena disorientasi masyarakat. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) menjadi upaya pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Mardiana menambahkan bahwa gebrakan kurikulum Kampus Merdeka memungkinkan meluasnya kegiatan perguruan tinggi pada berbagai ranah, umumnya ranah industri. Hal ini idealnya selaras dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perluasan akses dan ruang belajar di dunia industri sekaligus memperluas potensi terjadinya kekerasan seksual. Payung hukum yang kuat diperlukan untuk melindungi segenap sivitas akademika dari ancaman berbagai jenis kekerasan. Pelaksanaan program Kampus Merdeka hendaknya dapat menyediakan keamanan bagi segenap insan pendidikan yang terlibat di dalamnya, utamanya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan disabilitas, untuk merdeka dari tindak kekerasan seksual. Kebijakan Permendikbudristek PPKS dapat menjadi langkah awal negara dalam memberikan perlindungan. Hal ini memerlukan implementasi yang holistik agar benar-benar mampu menciptakan lingkungan bebas KBG. Satuan Tugas (Satgas) PPKS menjadi penyelenggaraan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Narasumber terakhir yang memaparkan materinya dalam diskusi nasional di Universitas Mulawarman ini, yakni Dhia Al Uyun dari Universitas Brawijaya, menambahkan materi mengenai pentingnya fungsi Satgas PPKS di internal kampus dalam menanggulangi dan mencegah kekerasan seksual. Keberhasilan Satgas PPKS merupakan “bantalan pengaman” kebijakan pemerintah dalam mengupayakan pendidikan tinggi bebas kekerasan seksual. Hal yang paling krusial dari tugas Satgas PPKS, yakni mengubah budaya patriarki yang menormalisasi kekerasan seksual dan menyalahkan korban, sehingga dapat mencegah adanya kekerasan seksual. Dalam rangkaian sesi akhir diskusi nasional, peserta peserta diingatkan kembali atas pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap pelaksanaan Permendikbudristek PPKS. Upaya menyediakan lingkungan yang kondusif bagi seluruh gender tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah atau komunitas tertentu. Kontribusi masyarakat, sivitas akademik, dan penyelenggara pendidikan sangat diperlukan dalam mendukung, menyukseskan, dan mengawal upaya tersebut. Setiap dari kita dapat memulai tindakan pencegahan untuk memerdekakan perempuan dari kekerasan seksual. (Kadek Ayu Ariningsih). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |