Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah dekat. Agar Pemilu berjalan dengan lancar maka dibutuhkan lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Namun dalam praktiknya, masih saja terjadi black campaign, penyebaran hoaks, bahkan disinformasi yang menimbulkan polarisasi antar kelompok pada masyarakat pemilih. Sabtu (26/8/2023) lalu, Srikandi Lintas Iman menyelenggarakan webinar bertajuk “Perempuan dan Pemilu Damai: Mendukung Tanpa Merundung”, membahas bagaimana pengalaman-pengalaman Pemilu sebelumnya dari perspektif perempuan. Webinar tersebut menghadirkan narasumber Fitri Yani sebagai (Anggota Panwaslu Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman dan perwakilan Srikandi Lintas Iman) dan Bivitri Susanti (aktivis dan akademisi STHI Jentera).
Fitri Yani membagikan pengalamannya sebagai Anggota Panwaslu di Kabupaten Sleman. Di lapangan, seringkali ia menerima peraturan pengawasan yang kurang jelas. Sebagai contoh, ia menerima peraturan dari KPU bahwa Alat Peraga Kampanye (APK) merupakan sebuah benda atau bentuk lain yang mengandung citra diri para calon: foto, logo partai, nomor urut, program, visi dan misi. Fitri mengamati bahwa banyak calon yang memasang APK sebelum waktu kampanye berlangsung dan langsung menyadari bahwa ada hal tak beres. “Saya menanyakan pada atasan saya mengenai hal itu, kata atasan saya, yang penting tidak ada kalimat ajakan langsung untuk memilih calon tertentu pada APK. Itu cukup membingungkan bagi saya, mengingat APK yang terpasang memenuhi syarat, artinya dapat dikatakan bahwa calon tersebut melakukan kampanye sebelum waktu yang ditentukan,” tutur Fitri. Fitri juga membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan tempat pendidikan seperti universitas atau sekolah menjadi lokasi kampanye bagi peserta Pemilu 2024. Menurutnya, selain merepotkan dalam segi pengawasan dan melahirkan ancaman yang besar, sebagai seorang ibu, ia menganggap hal itu bukan hal baik untuk anak. Mengenai representasi perwakilan perempuan sendiri dalam pengawasan Pemilu masih dinilai kurang. Dalam konteks wilayah pengawasannya, Fitri memaparkan bahwa dari 5 Bawaslu di Sleman, kelimanya dipimpin oleh laki-laki. Sedangkan Panwas di 17 kecamatan di Sleman, perempuan hanya berjumlah 10 orang dari jumlah total 55 orang. Bivitri Susanti pun menanggapi pengalaman Fitri dan memaparkan pentingnya peran perempuan dalam konteks kepemiluan. Pertama, pendidikan bersifat nonformal, seperti di rumah dan tempat kerja. Secara sosiologi peran tersebut diletakkan pada ibu, walaupun ini merupakan isu gender yang perlu dibongkar bersama, yaitu peran perempuan yang selalu dilekatkan dengan urusan domestik dan mengasuh anak. Pendidikan seperti apa yang harus disampaikan? Yaitu pencegahan perundungan terutama terhadap perempuan karena stereotipe yang dilekatkan padanya. Seperti perempuan berpolitik harus meminta izin suaminya, yang mana dalam hubungan suami-istri seringkali tidak memiliki relasi yang setara. Kemudian, seringkali perempuan berpolitik hanya mendapat atensi berdasarkan segi visual, bukan gagasan. Bivitri juga mengatakan, dalam lingkungannya seringkali muncul istilah superwoman, yang dimaksud ialah perempuan yang bisa berpolitik dan mengurus keluarga. Padahal, menurutnya, tugas seperti itu juga seharusnya dilakukan oleh politisi laki-laki yang berkeluarga. Kedua, perempuan sebagai subjek aktif dalam penyebaran informasi. Terakhir, perempuan sebagai pendorong keterwakilannya yang lebih substantif dalam dunia politik atau affirmative action. Walaupun saat ini pola elit patriarkis hanya menjadikan isu keterwakilan perempuan dalam dunia politik hanya sebagai formalitas dan angka. Berujung hanya memperluas dinasti politik dengan menarik istri-istri atau anak perempuan pejabat untuk mencalonkan diri di legislatif. (Hany Fatihah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |