Membawa persoalan tersebut ke dalam diskusi publik, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag) RI mengadakan diskusi Ngaji Kebangsaan bertajuk “Informasi dan Teknologi yang Ramah Perempuan (Tantangan dan Peluang Digital Terkini)”. Diskusi publik ini diselenggarakan secara virtual melalui Zoom Meeting dan Live Facebook pada Kamis (2/9) silam. Hadir pada diskusi ini, Dr. H. Suwendi selaku Koordinator Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Kemenag RI, Abby Gina Boang Manalu selaku Redaktur Jurnal Perempuan, Purnama Ayu Rizky selaku Redaktur Magdalene.co. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Nurul Bahrul Ulum dari Mubadalah.id.
Dalam pidato kuncinya, Dr. Suwendi melihat teknologi informasi telah bertransformasi menjadi kebutuhan pokok masyarakat, utamanya bagi kaum muda. Namun, hal tersebut tidak serta merta meningkatkan kebijaksanaan masyarakat dalam menggunakan teknologi. Maraknya kasus penyebaran hoax dan kekerasan berbasis online terjadi karena hal ini. Pada sesi selanjutnya, Abby memaparkan tentang ketimpangan gender digital. Ia melihat bahwa perempuan dan laki-laki tidak mendapatkan manfaat yang sama dalam kemajuan digital. Hal ini merupakan dampak dari budaya patriarki yang sejak awal telah menyingkirkan perempuan dari ruang-ruang publik, ruang ilmu pengetahuan dan ruang teknologi. Mengutip Sandra Harding (1986), teknologi tidaklah netral dari bias gender. Logika biner telah meletakkan perempuan pada posisi inferior di dalam ilmu pengetahuan juga teknologi. Domain teknologi dianggap sebagai domain laki-laki. Hal ini memicu ketimpangan gender digital, banyak anggapan dan keyakinan yang menyatakan bahwa tidak kompeten dalam dunia teknologi informasi. Ketimpangan gender digital disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya hambatan pada aspek mental, seperti stereotip ilmu STEM yang eksklusif bagi laki-laki, rasa inferior terhadap teknologi, perasaan tidak aman dalam dunia digital. Tantangan lain adalah pada aspek fisik, yakni ketersediaan infrastruktur dan kepemilikan perangkat. Hambatan yang ketiga adalah hambatan pada segi keterampilan, hal ini disebabkan oleh masih terkait dengan kualitas literasi dasar dan literasi digital –aksesnya terhadap pendidikan dan pelatihan, dan yang terakhir terkait penggunaan internet secara bermakna. Pada poin ini artinya, perempuan hanya dapat dikatakan mendapat manfaat dari kemajuan digital ketika ia dapat melakukan transformasi sosial dan menjadi lebih berdaya karena internet. Abby menerangkan, Kondisi ketimpangan gender digital dapat dialami secara plural oleh perempuan. Maka dibutuhkan pendekatan interseksional menghindari pendekatan dari perspektif yang tunggal. Meskipun begitu, Abby juga menekankan dampak positif dari digitalisasi, salah satunya adalah optimisme besar bahwa perkembangan teknologi informasi dapat membawa dampak positif pada pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Salah satunya, internet memudahkan gerakan aktivisme mendukung kesetaraan gender. “Banyak sekali peluang-peluang emansipatoris—peluang untuk mentransformasi sosial dengan kesetaraan gender—dengan kemajuan teknologi informasi ini,” tutur Abby. Senada dengan Abby, Purnama Ayu—yang akrab disapa Ayu—turut mendukung teknologi digital yang ramah perempuan. Ayu juga menyoroti bagaimana keterwakilan perempuan dalam ranah sains dan teknologi masih minim, karena terbatasnya akses bagi perempuan untuk mengembangkan pengetahuannya dalam ranah tersebut, karena terkungkung oleh norma-norma gender yang mendomestikasi perempuan. Berangkat dari pengalamannya di dapur redaksi Magdalene.co, faktor kesenjangan akses membuat laki-laki dan perempuan tidak mendapatkan akses yang sama untuk mengembangkan minatnya. Selanjutnya, Ayu menyatakan pentingnya peran media dalam mengarusutamakan kesetaraan gender. Sayangnya, tidak semua media memahami pentingnya hal ini. Bentrokan kepentingan antara jurnalis dan pemilik perusahaan media sering kali membuat pemberitaan di media mengabaikan perspektif-perspektif keadilan gender yang ada. “Sepanjang pemilik modal atau pemilik medianya itu tidak punya perspektif gender, mau sekeras apa redaksi menonjolkan idealismenya, kemungkinan akan mental,” jelas Ayu. Terkait isu kesetaraan gender, Ayu melihat perempuan mengalami ketidakadilan gender dengan tidak adanya payung hukum yang mengatur tentang persoalan kekerasan seksual. Tidak hanya di dunia nyata (offline) di dunia digital kekerasan seksual juga terjadi. Menurut dia kerja-kerja jurnalis perempuan juga rentan mendapat ancaman kekerasan seksual. Maka dari itu, Ayu berharap pemerintah segera menyediakan payung hukum yang kuat, yaitu dengan mengesahkan RUU PKS. Sementara terkait isu ketimpangan gender digital, menurut Ayu negara harus menjamin adanya infrastruktur yang memadai, agar perempuan dan laki-laki dapat memperoleh akses yang sama dalam memanfaatkan teknologi digital. Dalam penutupnya, Ayu menyatakan bahwa untuk memastikan kesetaraan gender di masyarakat, dibutuhkan kerja kolektif dari seluruh pihak (Nada Salsabila). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |