Persoalan ekologi kini tengah menjadi perbincangan serius. Konferensi-konferensi besar berskala internasional sudah berkali-kali dilangsungkan untuk mengurangi laju perubahan iklim dan kerusakan ekologi. Salah satu gelaran besar mengenai ekologi dan keberlanjutan adalah Conference of the Parties ke-26 (COP26) yang dilaksanakan di Glasgow, Skotlandia, pada Oktober—November 2021 lalu. Dalam masalah perubahan iklim, kerusakan ekologi, dan keberlanjutan, terkadang perspektif gender terlupakan. Seakan-akan masalah perubahan iklim dan keberlanjutan tidak memberikan dampak pada gender. Sebagai peristiwa ekologi yang berdampak pada seluruh orang di bumi, pandemi COVID-19 menyadarkan kita semua bahwa perempuan sangat terdampak oleh peristiwa ekologi, terutama dalam bidang ekonomi, sosial, dan kesehatan. Guna merayakan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu, Salam Puan menggelar diskusi Puan Talk bertajuk “Gender Equality Today for a Sustainable Tomorrow” pada Jumat (11/3/2022). Diskusi dilakukan secara daring melalui platform Zoom. Hadir sebagai pembicara: Cara Ellickson (Director of Gender Consortium Flinders Uni), Ikhaputri Widiantini (Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Editor Jurnal Perempuan), Asriyati Nadjamuddin (Salam Puan), Purnama Ningsih Maspeke (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan [PUSKAPPEK] Gorontalo), dipandu Sri Dewi Jayanti sebagai moderator.
Cara Ellickson membuka diskusi dengan memaparkan pengalamannya selama bekerja sama dengan unit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Asia Pasifik. Pekerjaan tersebut membuat ia turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan berbagai UMKM. Selama bekerja sama dengan berbagai UMKM, Cara melihat perempuan-perempuan yang berbisnis mampu mengubah usahanya menjadi lebih ramah lingkungan. Meskipun begitu, biaya produksi yang dikeluarkan lebih mahal dibanding biaya produksi tradisional yang tidak ramah lingkungan. Bila perempuan lebih banyak mengambil peran dalam memimpin bisnis, mereka dapat membuat perubahan dalam skema produksi dan konsumsi menjadi lebih berkelanjutan. Ikhaputri melanjutkan sesi diskusi dengan paparan terkait dampak perubahan iklim pada kepemimpinan perempuan. Pandemi COVID-19 menunjukkan inisiatif perempuan yang sangat besar. Misalnya, ketika suami mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi, para istri menjajal berbagai cara untuk menopang ekonomi keluarga. Hal ini menempatkan perempuan dalam situasi yang kontradiktif; sulit mendapat akses dalam mengambil keputusan dalam keluarga, tetapi justru mendapat beban ganda untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga. Ikhaputri menyinggung riset Jurnal Perempuan, yang menunjukkan dominannya laki-laki dalam mengambil keputusan. Perempuan diberatkan oleh berbagai aturan budaya, norma sosial, hingga ketidakadilan akses yang membuat mereka sulit berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, Asriyati melanjutkan diskusi dengan menyatakan bahwa pemahaman gender kini sudah lebih diterima masyarakat. Misalnya, angka keikutsertaan pendidikan anak laki-laki dan perempuan tingkat Sekolah Menengah Atas di Gorontalo—daerah asalnya—sudah cukup seimbang. Media sosial berperan besar dalam menyebarkan ajaran kesetaraan gender. Pun begitu, masih terdapat beberapa ‘racun’ seksisme di media sosial. Salah satunya adalah glorifikasi terhadap peran domestik perempuan. Hal ini membuat perempuan tidak menyadari bahwa mereka memiliki beban ganda. Lebih jauh, perempuan akhirnya menganggap ruang domestik menjadi tempat satu-satunya yang ditujukan untuknya, alih-alih menyadari bahwa mereka memiliki pilihan atas hidupnya. Purnama Ningsih, yang akrab disapa Ning, melanjutkan paparan Asriyati. Ia dan Asriyati sama-sama berasal dari Gorontalo, karena itu paparannya lebih menjelaskan bagaimana kondisi perempuan di daerah asalnya tersebut. Lingkungan organisasinya, yaitu PUSKAPPEK, didominasi oleh perempuan. Terdapat satu hal yang ia sadari: ketika pandemi, perempuan berjuang keras mempertahankan kelangsungan usahanya. Atas hal itu, perempuan lebih banyak berperan dalam membantu ekonomi keluarga, terutama pada keluarga yang mata pencarian utamanya terdampak pandemi. Seperti Asriyati, Ning juga menyinggung maraknya glorifikasi peran domestik perempuan. Baginya, hal tersebut sangat menyulitkan perempuan dalam berbisnis atau mengejar karier. Sebab beban penghakiman masyarakat pada keputusan perempuan dalam berprestasi selalu menjegal mereka. Perempuan memiliki kesulitan dan tantangannya masing-masing yang tak dapat disamakan. Beban penghakiman yang dimiliki perempuan sangat terlihat ketika pandemi COVID-19 terjadi. Pada berbagai peristiwa ekologi lainnya, perempuan juga sangat terdampak, tetapi hal ini jarang sekali terangkat ke permukaan. Pada akhirnya masalah ekologi menjadi masalah sains semata yang seakan terlepas dari dimensi ketidakberimbangan gender. Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif gender dalam melihat permasalahan—pun untuk merumuskan kebijakan. Sehingga, kebutuhan-kebutuhan perempuan dan kelompok marjinal lainnya dapat difasilitasi. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |