Dalam rangka memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober lalu, Komnas Perempuan melangsungkan kegiatan diskusi publik dengan tajuk “Perempuan dan Penyiksaan Dalam Daftar Tunggu Hukuman Mati”. Diskusi ini dimoderatori oleh Arinta Dea Dini Sigi, dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu Muhammad Afif (Direktur LBH Masyarakat—LBHM), Tiasri Wiandani (Komisioner Komnas Perempuan), Supriyanto (Direktur Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM), dan Lidwina Inge Nurtjahyo (Akademisi). Gelar diskusi ini ditayangkan secara live di kanal Zoom dan YouTube Komnas Perempuan pada Senin (9/10/2023). Diskusi ini dibuka dengan sambutan dari Mariana Amiruddin selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan. Mariana mengemukakan tentang posisi diskursus pro-kontra terhadap hukuman mati di Indonesia. Saat ini, Indonesia masih memberlakukan hukuman mati sebagai jerat pidana dalam beberapa kasus. Hal tersebut kemudian disoroti oleh Komnas Perempuan, yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, karena hak hidup merupakan hak fundamental. Oleh sebab itu, seharusnya hukuman mati di Indonesia tidak boleh diberlakukan lagi, karena tidak relevan dengan peradaban dunia sekarang. Pendapat ini mencuat karena melihat dampak dari fenomena pemidanaan hukuman mati terhadap pekerja perempuan migran.
Selanjutnya, ia juga menyampaikan, “Komnas Perempuan mengajak pihak terkait dan seluruh lapisan elemen masyarakat untuk melihat dimensi terselubung dari hukuman mati. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu jalan keluar untuk menghapus pidana hukuman mati di Indonesia,” pungkas Mariana. Kemudian, narasumber pertama, Muhammad Afif selaku Direktur LBHM, memaparkan materi bertajuk Praktik Penyiksaan Terpidana Mati. Pemaparan materi ini diawali dengan penjabaran kasus pemidanaan hukuman mati di Indonesia. LBHM mendokumentasikan terdapat sekitar 54 kasus pidana hukuman mati di tahun 2022. Secara demografi, ada 21 kasus yang melibatkan perempuan. Saat ini, jumlah populasi terpidana mati di Indonesia adalah sebanyak 358 orang, yang diantaranya terdapat 12 orang perempuan. Dalam temuan LBHM, kompleksitas pidana mati yang dijatuhkan kepada perempuan seringkali terjadi karena kurangnya akses layanan bantuan hukum yang berkualitas, adanya rekayasa kasus, dan hukum yang tidak sensitif gender. Hal ini kemudian diperkuat oleh hasil survei LBHM terhadap 537 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di rutan Jakarta, yang mana ditemukan ada pelanggaran selama proses penyidikan. Di antaranya, 68 WBP mengalami penyiksaan, 18 WBP mengalami pemerasan, dan 3 WBP mengalamai kekerasan seksual. Persoalan ini disebabkan oleh tidak diberikannya layanan bantuan hukum. Dari 537 WBP, hanya 11% yang diberikan layanan bantuan hukum, sementara itu 82% sisanya tidak mendapat akses bantuan hukum. Merujuk pada fakta ini, LBHM memberikan tiga rekomendasi sebagai upaya proteksi terhadap pidana mati dan eksekusi mati, di antaranya 1) Penguatan perlindungan hak tersangka dengan memberi layanan bantuan hukum yang berkualitas, interogasi anti penyiksaan, dan persamaan kesempatan di Pengadilan; 2) Peguatan sensitivitas gender dan disabilitas, dan 3) Peningkatan layanan ruatan/lapas. Selanjutnya, Tiasri Wiandani selaku Komisioner Komnas Perempuan, memaparkan materi berjudul Perempuan dalam Deretan Tunggu Hukuman Mati serta Kerentanan terhadap Penyiksaan. “Saat ini, kami, Komnas Perempuan, berfokus pada situasi perempuan terpidana hukuman mati di lapas dan ini menjadi bagian dari konsistensi upaya untuk mendorong pengahapusan pidana hukuman mati. Hal ini menjadi mandat penting untuk mewujudkan pemenuhan HAM terutama bagi perempuan,” ujar Tias. Saat ini Komnas Perempuan juga melakukan pemantauan terhadap 12 orang perempuan terpidana hukuman mati. Tiasri memaparkan, ada beberapa pelanggaran hak fair trial perempuan terpidana mati di Indonesia, kurang lebih sama dengan temuan LBHM. Di sini, ada enam rekomendasi sebagai upaya pemenuhan hak perempuan dalam deret tunggu hukuman mati yakni 1) Penghapusan pidana hukuman mati; 2) Adanya layanan kesehatan mental secara berkala; 3) Tidak dilakukan eksekusi mati; 4) Menghentikan praktik penyiksaan kepada terpidana mati yang berada di dalam deret tunggu melalui kebijakan komutasi; 5) Memastikan Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana menjadi pihak yang dilibatkan dalam perumusan kebijakan terkait pemidanaan; 6) Menginterasikan Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN) dalam mekanisme komutasi terpidana hukuman mati dan hukuman seumur hidup. Supriyanto selaku Direktur Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kemenkuham RI, memaparkan materi tentang Upaya Pencegahan Penyiksaan di Dalam Lapas. Ia menjabarkan dasar hukum untuk mencegah terjadinya penyiksaan dalam lapas. Salah satu bentuknya, WBP perempuan di Lapas mendapatkan perlakuan khusus jika mengalami kondisi reproduksi tertentu, seperti sedang haid, mengandung, melahirkan, atau menyusui. Setidaknya ada tiga fungsi pelaksanaan pengamanan dan pengamatan dalam lapas, di antaranya fungsi pencegahan, penindakan dan pemulihan. Ketiga fungsi ini didukung dengan sarana-prasarana pengamanan dan kegiatan dari Intelijen Pemasyarakatan. Narasumber terakhir, Lidwina Inge Nurtjahyo, berbicara tentang Keterlibata Masyarakat Untuk Mendukung Penghapusan Hukuman Mati di Indonesia. Materinya disusun dengan menggunakan kajian hukum berperspektif perempuan, untuk melihat posisi perempuan dan dampaknya terhadap penjatuhan hukuman mati. “Bagaimana perempuan dan anak dalam kelompok marginal berhadapan dengan hukum, mereka selalu jadi pihak yang tidak diuntungkan. Hal ini karenakan hukum itu dikonstruksi oleh pihak tertentu. Misalnya, kelompok elite yang tidak memiliki pemahaman mengenai pengalaman kelompok marginal. Hal ini masih melekat pada praktik hukum atau budaya hukum di Indonesia,” ujarnya. Penjelasan tersebut menunjukkan bias gender, kelas, dan identitas, terhadap kelompok marginal di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di akhir pemaparannya, Inge merekomendasikan beberapa upaya penghapusan hukuman mati, di antaranya melalui proses peradilan yang menjamin perempuan berhadapan dengan hukum memperoleh hak untuk didampingi/diberi bantuan hukum, peningkatan kualitas bantuan hukum, dan dekonstruksi bias kelas, gender, dan identitas lainnya. Diharapkan adanya peningkatan kapasitas Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemberi layanan bantuan hukum kepada terpidana, khususnya perempuan. Gelar diskusi publik tersebut, kemudian ditutup dengan penutup dari Veryanto Sitohang selaku Direktur Eksekutif Pusat Pendidikan dan Advokasi Masyarakat Marginal dan juga Komisioner Komnas Perempuan. “Kami berharap bahwa diskusi kita pada hari ini, memberikan pencerahan kepada kita dan tentunya memperkuat komitmen kita dalam upaya untuk mendukung pemulihan terhadap narapidana hukuman mati, khususnya perempuan dalam deret daftar tunggu hukuman mati,” tukas Veryanto. (Maria Noviyanti Meti) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |