Perbedaan dan Keberagaman Memperkuat Toleransi Antaragama pada Generasi Z dan Milenial Indonesia21/7/2022
Pada Kamis (14/7) lalu, International Non-Governmental Organization Forum on Indonesian Development (INFID) tengah mengadakan Pra Konferensi dengan tema "Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebhinekaan, dan Kebebasan Beragama". Diadakan secara daring dan disiarkan melalui kanal YouTube resmi INFID. Sebagai bentuk rangkaian dari Konferensi Sustainable Development Goals (SDGs) dan Sidang Umum Anggota INFID pada 19-20 Juli 2022, Pra Konferensi ini bertujuan untuk mengetuk pintu kemanusiaan untuk mampu menerima perbedaan. Pra Konferensi kali ini dihadiri oleh Alfindra Primaldhi (Koordinator Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univesitas Indonesia–LD FEB UI), Abdul Waidl (Senior Program Officer Hak Asasi Manusia [HAM] dan Demokrasi INFID), Dwi Rubiyanti (Direktur Eksekutif The Asian Muslim Action Network Indonesia—AMAN Indonesia), Kalis Mardiasih (Feminis Muslimah dan Peneliti Jaringan Gusdurian), dan Andre Notohamijoyo (Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia—Kemenko PMK). Acara ini dipandu oleh Rizka Antika selaku Project Officer (PO) Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID. Acara kali ini dibuka oleh pengantar dari Sanita Rini selaku PO acara ini, kemudian pemaparan dari kelima narasumber disertai dengan sesi diskusi, dan dokumentasi di akhir sesi.
Sebagai pengantar Sanita Rini memberikan masukan seputar riset yang sudah berjalan sejak 2021 terkait isu toleransi. Isu toleransi menjadi landasan diangkatnya tema kali ini. Survei dilakukan di 18 provinsi dengan 36 kota dan sudah melalui berbagai tahapan hingga kini tinggal inseminasi hasil riset oleh Lembaga Demografi FEB UI. Senada dengan pengantar dari Sanita Rini, Rizki Antika memberikan tuturan singkat agar hadirin mendapati konteks mengenai acara. Rizki Antika menjelaskan bahwa pada 2016 dan 2020 INFID melakukan riset tentang ekstrimisme yang kemudian riset ini dikembangkan menjadi tema dari Pra Konferensi kali ini. Pemaparan pertama dibuka oleh Abdul Waidl dan Alfindra Primaldhi yang memaparkan hasil serta saran dari riset dari LD FEB UI atas sikap warga terhadap toleransi, kebhinekaan dan kebebasan beragama di Indonesia. Penelitian ini merupakan kajian atas adanya sikap yang beragam di dalam masyarakat dalam menanggapi toleransi, kebhinekaan, dan kebebasan beragama. Responden dari penelitian ini diambil dengan rentang usia 18-40 tahun yang dibagi dalam kategori Generasi Z dan Generasi Milenial. Riset yang dilakukan pada 18 provinsi mewakili 218 juta penduduk Indonesia dengan jangkauan sekitar 81% dari populasi penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2020. Provinsi yang dipilih pun merujuk pada peristiwa pelanggaran kondisi kebebasan beragama, wilayah yang pernah mengalami konflik, dan wilayah dengan penduduk Muslim sebagai minoritas. Hasil riset menunjukan sikap positif terhadap inklusivitas agama, ini dibuktikan dengan keterbukaan responden terhadap kegiatan agama dan pendirian rumah ibadah yang beragam. Namun masih didapati sejumlah kecenderungan eksklusivitas dan intoleransi dalam interaksi antaragama. Kecenderungan ini muncul pada fenomena pernikahan beda agama, penerimaan tokoh publik yang menganut agama atau adat minoritas, dan penerapan aturan agama mayoritas. Ditemukan pula adanya keterbukaan terhadap kehadiran perempuan dalam ruang publik. Dari riset ini ditemukan indikasi sifat positif terhadap keberagaman, meskipun terdapat sedikit indikasi intoleransi. Alfrinda menuturkan bahwa indikasi intoleransi yang ada mampu ditekankan apabila masyarakat memiliki empati dalam menyikapi keberagaman. Ini juga diamini oleh Abdul yang turut menyatakan pentingnya penerimaan dan keterbukaan terhadap perbedaan agama. Lebih lanjut, Abdul menyatakan adanya kewajiban pemuka agama sebagai promotor toleransi yang mampu mengayomi perbedaan. Pemaparan kedua dilakukan oleh Kalis Mardiasih yang mengangkat topik intoleransi dan ekstremisme laten. Kalis melihat adanya kerawanan dalam eksklusivisme pada kelompok masyarakat, bahkan hingga kelompok bermain anak-anak. Ada sebuah cara baru dalam melakukan promosi pengetahuan ekstremisme suatu agama tertentu. Caranya dengan memberikan infografis dengan mengikuti kebudayaan dan bahasa populer untuk mendekati masyarakat usia muda. Tampilan konten seperti ini membuat sasaran masyarakat menjadi cenderung menyetujui isi konten, walau masih ditemui adanya kesalahan logika dalam substansinya. Lebih lanjut, Kalis menemukan adanya misoginisme yang terinternalisasi dalam berbagai konten kajian muslimah. Kajian tersebut hanya menyoroti peranan perempuan sebagai istri atau pendamping saja, jarang ditemui adanya sorotan terhadap aktivitas sosial perempuan. Tidak berhenti sampai situ, pengetahuan yang diproduksi tidak berkembang, melainkan hanya pengetahuan-pengetahuan lama yang diolah ulang dengan desain baru. Kemudian juga terdapat adanya ketakutan simbolik yang dibubuhkan dalam konten terkait. Pemaparan ketiga oleh Dwi Rubiyanti, yang biasa disapa dengan Rubi, menunjukan tantangan besar tentang rentannya Generasi Z dan Milenial terhadap konflik. Kompleksitas problem anak muda perlu dilihat juga dengan kaca mata gender yang selaras dengan diversitas anak muda. Keberagaman anak muda menjadi sebuah cermin refleksi bagi pemerintah untuk memberikan ruang publik yang aktif dan membangun satu sama lain. Ada sebuah kepentingan untuk mengakui keberagaman dalam pergaulan anak muda untuk mewujudkan toleransi. Rubi menemukan adanya sebuah kekurangan partisipasi pemuda dalam ruang publik, sehingga memperlihatkan adanya ketimpangan suara yang tidak mampu mengakomodasi keberagaman dalam masyarakat. Rubi menuturkan urgensi pembuatan ruang demokratik yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman untuk melakukan interaksi di ruang publik. Ruang sipil seperti ini dibutuhkan agar tidak terjadi miskomunikasi dan dapat mewujudkan pemerintah yang lebih universal serta mau mendengarkan berbagai kelompok masyarakat. Akar rumput dan pemuda menjadi sebuah kekuatan serta komitmen penggerak yang mampu mewujudkan regulasi global yang lebih baik. Rubi menekankan perlunya partisipasi antarmasyarakat untuk saling mendukung dan maju bersama. Voluntarisme mampu menjadi asas yang mampu menggerakan pemerintah dan memberikan ruang baru dalam interaksi, toleransi, kebhinekaan, dan kebebasan beragama. Partisipasi semacam ini juga mampu menekan beragam aksi eksklusivitas yang meranah pada separatisme dan ekstremisme. Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Andre Notohamijoyo yang mengungkapkan adanya peranan penting media dalam membentuk sikap komunikasi dan interaksi publik. Komunikasi dan interaksi publik dalam media sosial menjadi berbahaya, apalagi dengan kurangnya literasi di Indonesia. Budaya literasi yang tidak maksimal membuat aksi intoleransi dan radikalisme yang tidak mengakui keberagaman dan kebhinekaan. Andre menyatakan bahwa kekurangan literasi akan menjadi acaman yang sangat serius dalam bonus demografis. Toleransi perlu ditanamkan untuk dapat mengakui adanya perbedaan sehingga tidak terjadi konflik. Pendekatan bertahap menjadi salah satu cara untuk membangun narasi positif sehingga tersaringnya penyerapan informasi dari interaksi sosial baik secara luar jaringan (luring) maupun daring. Keluarga menjadi titik vital untuk memberikan edukasi pentingnya toleransi, ada urgensi untuk mewujudkan keluarga yang toleran. Koherensi di dalam masyarakat menjadi sebuah gagasan penting yang harus dilihat dengan mata terbuka. Harus ada pelatihan terhadap diri sendiri untuk menerima perbedaan. Masyarakat sebaiknya bergerak bersama dan bahu-membahu untuk menyediakan ruang aman. Demikian, toleransi, kebhinekaan, dan kebebasan beragama mampu terwujud. (Rizki Alya) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |