Pentingnya Peranan Polisi Wanita dan Pelayanan Responsif Gender untuk Meningkatkan Kualitas Polri24/1/2022
Rabu (19/01) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengadakan webinar bertajuk "Peningkatan Pelayanan Polri yang Responsif Gender". Pada hari pertama rangkaian acara yang dilaksanakan selama dua hari tersebut, para pembicara terdiri dari I Gusti Ayu Bintang Darmawari (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak - PPPA), Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Wahyu Widada, Irawati Harsono (Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak - LBPP Derap Warapsari), dan Abby Gina Boang Manalu (Jurnal Perempuan). Rangkaian webinar hari pertama dibuka oleh sambutan dari Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Agoes Soejadi Soepraptono. Dalam pembukaan tersebut, Kombes Pol mengingatkan kembali kewajiban Polri untuk menerapkan peraturan presiden Republik Indonesia (RI) mengenai Pengarusutamaan Gender (PUG). Hal ini disepakati oleh sambutan dari Irjen Pol Wahyu Widada yang menekankan bahwa Polri juga harus siap mengimplementasikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera setelah peraturan tersebut disahkan. Irjen Pol turut menyampaikan bahwa peranan polisi wanita (polwan) sangat penting dalam menangani isu ini karena polwan adalah pusat dari segala kegiatan kepolisian di Indonesia. Acara dilanjutkan dengan penyampaian pesan dari Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawari. Selain mengapresiasi kegiatan ini, Menteri PPPA juga mengingatkan bahwa perlindungan serta jaminan rasa aman sangat penting untuk kesejahteraan warga negara Indonesia. Hal ini sangat penting untuk menghindari kerugian yang lebih berpotensi dialami oleh perempuan dan anak-anak sebagai kelompok yang lebih rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG). I Gusti Ayu Bintang Darmawari berpesan kepada Polri untuk menyediakan pelayanan yang paripurna bagi masyarakat. Tentu pelayanan yang diinginkan adalah sikap pihak-pihak kepolisian yang harus berpihak pada korban KBG dan kekerasan seksual (KS). Menurutnya, peran Polri daoat diimplementasikan dengan menjadi lebih responsif gender, meningkatkan Ruang Pelayanan Khusus, meningkatkan eksistensi polwan dalam penanganan, meningkatkan kapasitas Polri terkait gender, membangun sistem perlindungan komprehensif, dan penguatan organisasi Polri.
Pembicara kedua, Irjen Pol Wahyu Widada, melanjutkan webinar dengan menekankan pentingnya eksistensi dan peran polwan harus dipertahankan dan dikembangkan. Selain itu, jumlah polisi yang paham perspektif korban harus ditingkatkan. Sehingga, pola pikir yang responsif gender tidak hanya dimiliki oleh polisi wanita namun juga polisi laki-laki. Irjen Pol turut memaparkan rencana Polri dalam implementasi RUU PKS setelah peraturan tersebut disahkan. Polri bertugas untuk melakukan pencegahan, perlindungan, penanganan, pelaporan, dan penyidikan yang berpihak pada korban. Kelima amanaf tersebut perlu dilakukan agar tidak ada lagi penanganan kepolisian yang menimbulkan reviktimisasi korban KBG dan KS. Menurut Wahyu Widada, pengalaman kontak awal korban yang positif dengan polisi sangat penting. Hal ini dapat membantu penanganan kasus yang dilaporkan sehingga dapat ditangani hingga tuntas dengan baik. Materi yang ditutup dengan ekspektasi dan harapan Irjen Pol bahwa 10 tahun ke depan polwan lebih maju dan adanya tolok ukur Polri untuk mempertahankan pelayanan yang responsif gender . Irawati Harsono, sebagai pembicara berikutnya, memulai pemaparannya dengan pengalamannya menangani KBG yang marak terjadi pada tahun 1998. Polisi menjadi salah satu pihak yang disalahkan karena tidak berhasil melindungi warga, terutama warga etnis Tionghoa, yang menjadi korban kekerasan. Irawati dan rekan-rekan sesama polwan pun membentuk Derap Warasari yang sudah melewati lima Panca Warsa dalam menangani kasus kekerasan yang mayoritas dialami oleh perempuan. Diskusi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai perbedaan seks dan gender. Menurut Irawati, affirmative action sangat dibutuhkan agar polwan semakin maju. Hal ini dikarenakan faktor seks dan gender polwan yang seringkali dijadikan alasan untuk menghambat karir mereka. Polwan yang sedang menjalani sistem reproduksinya selama hamil, melahirkan, dan menyusui harus diakomodasi dengan perlakuan khusus agar dapat menciptakan kesetaraan dan keadilan. Irawati menegaskan pernyataannya dengan menekankan bahwa bagi polwan, hamil dan melahirkan adalah tugas negara. Diskusi diakhiri dengan pemaparan karakter feminin, maskulin, dan androgini. Ketiga karakter ini tidak ada hubungannya dengan menjadi laki-laki dan perempuan. Menurut Irawati, polisi harus bisa androgin; mampu bersikap tegas serta empati dan memiliki perspektif korban. Pembicara terakhir adalah Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Abby Gina. Pada pemaparannya, Abby mengangkat isu kekerasan berbasis gender yang menjadi dasar dari kekerasan seksual. Sulit bagi masyarakat untuk memahami bahwa KS dapat terjadi di dalam rumah yang menjadi simbol perlindungan dan cinta kasih. Sehingga, para pelapor yang didominasi oleh perempuan seringkali mendapatkan stigma dan reviktimisasi. Bias dan mitos gender menjadi sebab utama yang menghambat penanganan. Hal ini tentu berhubungan erat dengan akses pelaporan garda terdepan yaitu pihak kepolisian. Sehingga, pihak kepolisian harus menghentikan fokus pada moralitas korban dan beralih pada predator seksual yang melakukan kekerasan. Selain itu, standar ganda dalam merespon pelaporan harus segera diintervensi oleh pihak kepolisian. Polri harus sadar bahwa hal-hal tersebut adalah sebab dari bungkamnya pelapor dalam mengadukan kekerasan seksual yang mereka alami. Abby menekankan bahwa sikap polri yang responsif gender sangat dibutuhkan dalam menangani KS. Membangun budaya sensitif gender seperti menerapkan sikap empati dan memosisikan diri di sisi korban dapat menjadi langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian. Dengan demikian, kebutuhan korban KBG dan KS dapat lebih terjamin. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |