Tingkat pendidikan bagi anak perempuan di Indonesia menunjukkan persentase yang lebih unggul dibandingkan dengan tingkat pendidikan anak laki-laki. Hanya saja, hal ini masih menjadi ironi ketika perempuan memasuki dunia kerja. Terdapat ketimpangan akses dan kesempatan kerja bagi laki-laki dan perempuan. Faktor pemicu ketimpangan tersebut beragam, tetapi yang paling signifikan adalah lekatnya konstruksi sosial yang patriarki. Merefleksikan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, program Universitas Indonesia (UI) Mengajar mengajak Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) membuka diskusi melalui siaran live Instagram dengan tajuk Urgensi Akses Pendidikan bagi Anak Perempuan”. Tayangan ini disiarkan melalui laman Instagram @uimengajar dan @jurnal_perempuan pada Sabtu (12/11/2022) lalu. Dalam kegiatan ini, Futari Vania dari UI Mengajar mengarahkan jalannya diskusi, bersama Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku awak redaksi JP sebagai narasumber. Mengawali diskusi, Futari Vania yang akrab dipanggil Tari memberikan pemantik tentang korelasi pendidikan dengan tumbuh kembang anak. Masa kanak-kanak menjadi masa yang rawan bagi pembentukan karakter, karena pada masa tersebut seorang anak melihat, memahami, dan meniru apa yang diterimanya. Karakter seorang anak akan bersesuaian dengan nilai-nilai yang ditanamkan pada masa emas tersebut. Dapat dikatakan bahwa karakter yang terbentuk saat seseorang dewasa mencerminkan bagaimana pola pengasuhan dan pendidikan yang diterimanya semasa kanak-kanak. Ini menunjukkan pendidikan menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kapabilitas seorang anak ketika dewasa.
Kondisi pendidikan bagi anak perempuan selanjutnya menjadi situasi yang disoroti oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri yang akrab disapa Daru. Daru menjelaskan, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2021 mengenai perbandingan jumlah anak perempuan dan anak laki-laki yang mengakses pendidikan formal, pendidikan anak perempuan menunjukkan angka yang baik. Anak perempuan yang mengenyam pendidikan bahkan 0,5 kali lebih unggul dibanding anak laki-laki. Namun, persoalan-persoalan yang berkelindan antara pendidikan dan relasi sosial di dalam masyarakat perlu ditelisik kembali. Daru menjelaskan, angka pendidikan yang tinggi masih erat dengan upaya mendomestikasi perempuan. Hal ini dengan menempatkan perempuan pada posisi kedua dalam tatanan sistem sosial yang patriarki. Artinya, meskipun secara jumlah anak perempuan lebih banyak yang bersekolah, tapi dalam realita sosialnya anak perempuan tetap terperangkap dalam situasi yang timpang. Daru menekankan bahwa kondisi yang demikian perlu diperbaiki bersama-sama. Daru melanjutkan penjabarannya, menjelaskan bagaimana ketimpangan gender terjadi dalam kesempatan dan akses pendidikan bagi anak perempuan. Salah satu contoh yang dijabarkan adalah, dalam situasi yang terdesak seperti kondisi ekonomi, anak laki-laki cenderung lebih didahulukan kebutuhan bersekolahnya dibandingkan dengan anak perempuan. Atau bahkan, dengan alasan kondisi ekonomi, kerap kali dengan dalih untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan memberikan penghidupan yang lebih layak, anak-anak perempuan terpaksa mengalami pernikahan usia dini. Hal ini tentunya berujung pada permasalahan yang lebih kompleks bagi perempuan, dan dampaknya terbesarnya adalah terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual, isu kesehatan seksual, hingga tingginya angka kematian ibu hamil. Miskonsepsi kesetaraan gender juga kerap kali terjadi di masyarakat. Kesetaraan gender tidak hanya tentang anak laki-laki dan perempuan yang sama-sama bisa pergi ke sekolah. Kesetaraan gender membutuhkan aksi afirmatif untuk mewujudkan kondisi yang ideal. Aksi afirmatif dalam wacana kesetaraan gender bagi perempuan masih menjadi isu yang belum diperhatikan. Daru menjelaskan bahwa ada hak perempuan yang belum terpenuhi tanpa adanya aksi afirmatif. Misalnya, dalam perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan turut membedakan kesempatan yang akan diraih. Dalam contoh sederhana, menstruasi yang secara rutin dialami perempuan tentunya membuat perempuan membutuhkan lebih banyak waktu untuk membersihkan dan mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah dibanding laki-laki. Beberapa kondisi biologis yang dialami oleh perempuan ini juga menjadi salah satu penyebab kenapa laki-laki terlihat lebih unggul dibanding perempuan. Untuk itulah kesetaraan gender tidak dapat hanya dilihat dari secara dangkal. Kesetaraan gender harus benar-benar memperhatikan, mengafirmasi, dan mempertimbangkan kondisi perempuan secara menyeluruh guna menghindari bias-bias kesetaraan. Pada akhir diskusi, Daru mengajak pemirsa siaran live UI Mengajar untuk menjadi agen progresif yang dapat mendekonstruksi mitos kesetaraan gender, terutama di bidang pendidikan. Keadilan gender dapat meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah domestik dan publik. Perempuan berhak untuk memiliki bargaining position yang diperoleh melalui kesempatan dan kebebasan menentukan sendiri masa depannya. Adanya bargaining position memberikan kesempatan bagi perempuan untuk memperlihatkan nilai dan kelebihan dirinya. Setiap orang dalam masyarakat dapat melakukan dekonstruksi untuk mendukung perempuan dalam meningkatkan kemampuan dan kepercayaan dirinya dalam tatanan sosial. (Kadek Ayu Ariningsih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |