Pentingnya Implementasi Kebijakan yang Melindungi Pelaku Kerja Perawatan dan Pekerja Migran1/12/2023
Pada Sabtu (25/11/2023) yang lalu, Jurnal Perempuan menyelanggarakan Gathering Sahabat Jurnal Perempuan atau SJP Talks. Kali ini, narasumber yang dihadirkan adalah Wahyu Susilo, Direktur Migrant CARE dan Sahabat Jurnal Perempuan sejak tahun 2017. Sebelum memulai diskusi daring dengan tema kerja perawatan dan pekerja migran, Iqraa Runi selaku moderator membuka jalannya acara. Iqraa mengingatkan bahwa dalam kerja perawatan, para pelakunya tidak hanya bekerja dalam menciptakan lingkungan yang nyaman namun juga menyokong aspek psikologis, fisik, dan emosional orang maupun tempat yang mereka rawat. Sayanganya, banyak kerja-kerja perawatan yang tidak diakui secara finansial seperti ibu rumah tangga yang setiap harinya merawat rumah dan keluarga. Dalam hal pekerja migran, pekerja rumah tangga menempati posisi tertinggi banyaknya kerja perawatan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar negeri.
Sedangkan angka tertinggi kedua ditempati oleh caregiver. Keduanya menunjukkan tingginya partisipasi perempuan yang bekerja sehingga kebutuhan akan house maid untuk mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga dan daycare untuk merawat anak mereka di jam kerja. Selain itu, tingginya kebutuhan akan caregiver disebabkan oleh tingginya angka kebutuhan merawat orang tua. Jika dibandingkan dengan negara maju, tempat pelayanan perawatan orang tua tidak semarak itu di Indonesia. Selain itu, stigma dari rumah jompo juga masih membebani orang tua dan keluarga mereka walaupun dibutuhkan. Acara dilanjutkan dengan pembukaan dari Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif dari Yayasan Jurnal Perempuan. Setelah menyambut para Sahabat Jurnal Perempuan yang sudah hadir di SJP Talks, Abby mengingatkan bahwa kerja perawatan memiliki isu keadilan gender di dalamnya. Keadilan yang belum tercapai tersebut perlu mendapatkan pengakuan negara akan kerja-kerja perawatan yang ada. Selain itu, masyarakat dan organisasi-organisasi, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, juga perlu mendukung pemberdayaan dan pengakuan para pelaku kerja-kerja perawatan. Karena dengan adanya diskriminasi yang mereka alami, jaminan pekerjaan yang layak dan aman sulit untuk diwujudkan. Tidak hanya pekerja migran, tetapi para pelaku kerja perawatan di dalam negeri juga masih belum diakui. Walaupun sudah ada strategi terbaru dalam melindungi mereka, para pelaku kerja-kerja perawatan masih mengalami keterbatasan. Aplikasi pelaporan dan perlindungan para pekerja migran, misalnya, belum tentu dapat diakses jika mereka mengalami keterbatasan dalam mengakses internet. Belum lagi dengan aturan kerja di negara-negara yang berbeda yang membatasi mereka dalam berkomunikasi dan mengakses informasi dari ponsel pintar masing-masing. Wahyu Susilo kemudian memulai pemaparannya yang bertajuk Kerja Perawatan dan Migrasi Tenaga Kerja. Paparan dimulai dengan pentingnya kesadaran akan urgensi kerja perawatan. Utamanya setelah pandemi COVID-19 yang menyadarkan kita semua bahwa pelaku kerja-kerja perawatan sangatlah penting. Sayangnya, karena masih dilekatkan dengan pekerjaan perempuan, maka beban mereka semakin berat, terutama karena tidak adanya timbal balik yang seharusnya dapat diperbincangkan dalam ekonomi ketenagakerjaan. Wahyu juga menyampaikan bahwa ekonomi ketenagakerjaan sebenarnya sudah ada di dalam skema Sustainable Development Goals (SDGs) untuk mengakui dan memberi bayaran yang layak kepada para pelaku kerja perawatan. Sehingga masyarakat dan pemerintah Indonesia seharusny sudah mulai memberikan keadilan bagi para pelaku kerja-kerja perawatan. Dalam membicarakan pendapatan masyarakat di Indonesia, Wahyu memaparkan bahwa sebuah studi oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Indonesia memiliki potensi untuk naik dari posisi middle income trap. Akan tetapi, minimnya perhatian terhadap ekonomi dan kerja perawatan dapat menghambat pertumbuhan tersebut. Salah satu rintangan yang ada disebabkan oleh lambatnya proses legislasi Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Hal ini juga menunjukkan acuhnya negara terhadap parapelaku ekonomi dan kerja perawatan di Indonesia. Wahyu kemudian menyinggung naskah yang pernah dituliskannya untuk Jurnal Perempuan di tahun 1996. Maraknya dominasi perempuan disebutnya sebagai feminisasi pekerja migran Indonesia. Hilangnya pekerjaan di sektor pertanian dalam negeri membuat para pekerja perempuan harus bersaing dengan pekerja laki-laki dan mengalami diskriminasi upah. Selain itu, negara-negara yang meningkat kemakmurannya, seperti Saudi Arabia dan Malaysia, mengubah warga mereka menjadi enggan melakukan pekerjaan domestik rumah tangga. Sehingga permintaan pekerja migran dari Indonesia meningkat. Perlu diingat bahwa pekerja migran Indonesia juga meningkatkan perekonomian negara. Utamanya di masa-masa krisis pada tahun 1997-1998, mereka dianggap sebagai penyelamat kondisi ekonomi Indonesia. International Monetary Fund (IMF) merespons peningkatan tersebut dengan rekomendasi pembuatan kebijakan untuk mengelola tenaga kerja Indonesia. Sehingga penerimaan devisa dapat dikelola dengan baik dan meningkatkan kondisi finansial negara. Maka lahirlah Undang-undang No.39/2002 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Isu migrasi kemudian menjadi erat dengan Pembangunan. Hal tersebut disebabkan meningkatnya kondisi ekonomi negara akibat kegiatan migrasi. Secara internasional, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga meningkatkan Global Compact for Migration (GCM) yang semakin mendorong tata kelola migrasi. GCM diharapkan mampu mendorong terwujudnya perlindungan pekerja migran yang rentan diskriminasi dan kekerasan. Kendati demikian, kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia masih sarat akan diskriminasi terhadap para pelaku kerja perawatan dan pekerja migran. Hal tersebut dikarenakan aturan-aturan yang ada lebih banyak menguntungkan perusahaan yang mengerahkan tenaga kerja. Perlindungan yang selama ini diidam-idamkan juga belum tercakup di dalam peraturan-peraturan mengenai pekerja migran Indonesia. Wahyu juga menyayangkan kurangnya kesiapan pemerintah pusat dan daerah dalam menerapkan kebijakan yang dapat memberdayakan para pekerja migran dan pelaku kerja perawatan lainnya. Di akhir pemaparannya, Wahyu berharap agar urgensi perlindungan pekerja migran dapat segera diterapkan. Sehingga mereka tidak hanya berperan untuk mendukung perekonomian negara, tetapi juga diakui oleh negara dan diberdayakan kondisinya. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |