Pendidikan Publik 115: Partisipasi Bermakna Perempuan dan Kelompok Muda dalam Demokrasi Indonesia14/9/2023
Menjelang Pemilu 2024, Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama Yayasan Tifa menggelar Pendidikan Publik sekaligus peluncuran Jurnal Perempuan edisi 115 (JP 115) pada Selasa, 12 September 2023 lalu. Senada dengan tema JP 115, acara kali ini bertema “Partisipasi Politik Perempuan dan Kelompok Muda dalam Demokrasi Indonesia”. Acara dibuka oleh sambutan dari Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif YJP dan Oslan Purba selaku Direktur Eksekutif Yayasan Tifa. Kemudian dilanjut oleh pemaparan materi oleh Ani Widyani Soetjipto selaku dosen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia (UI); Ikhaputri Widiantini selaku Dosen Ilmu Filsafat, FIB UI; dan Usep Hasan Sadikin selaku Peneliti Perkumpulan Untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem). Dalam sambutannya, Abby menegaskan bahwa peluncuran JP 115 berbasis pada ideologi YJP dan Yayasan Tifa soal partisipasi politik yang menjadi prasyarat paling mendasar untuk mendorong kesetaraan gender dan juga demokrasi. Partisipasi bukan hanya dalam bentuk kehadiran kepemimpinan perempuan, melainkan terbentuknya kebijakan sensitif gender dan keterlibatan pendidikan politik bagi masyarakat luas. Praktiknya dapat dilakukan dengan cara tidak memonopoli pengetahuan politik bagi kelompok tertentu dan memberi ruang partisipasi masyarakat dalam politik keseharian. Dalam konteks pemilu, lanjut Abby, sudah semestinya perempuan dan kelompok muda dipetakan sebagai salah satu kelompok pemilih yang suaranya penting untuk dipertimbangkan. Abby menerangkan bahwa JP 115 akan membahas terkait pentingnya representasi substantif perempuan dalam politik Indonesia, partisipasi politik perempuan dan kelompok muda sebagai warga negara yang utuh, gerakan sosial dan aktivisme, partisipasi bermakna perempuan dan anak muda dalam politik informal, dan partisipasi politik yang merangkul perbedaan dan menjamin hak kelompok rentan. Menyambung Abby, Oslan membicarakan praktik demokrasi di Indonesia yang belum menciptakan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok perempuan. Menurutnya, kecenderungan isu perempuan telah direduksi hanya soal kekerasan-kekerasan pada perempuan. Padahal diskursus yang berkaitan dengan partisipasi publik dan politik juga sama pentingnya. Sebagai upaya mendorong agar pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dengan pembangunan yang lebih inklusif. Hal ini tak dapat dilakukan tanpa keterlibatan perempuan dalam politik. Sesi pemaparan pertama diisi oleh Ani Widyani Soetjipto yang menulis artikel berjudul “Perempuan Muda dan Partai Politik: Dari Partisipasi Deskriptif menuju Representasi Substantif” di JP 115. Berdasarkan temuannya yang berbasis literatur dan wawancara dengan para narasumber, ia mengungkapkan bahwa berpolitik bagi perempuan dan kaum mudah bukanlah hal yang mudah. Mereka harus menghadapi beberapa tantangan, seperti lingkungan politik yang masih cenderung maskulin dan seksis; biaya politik yang tinggi merugikan perempuan yang tidak memiliki privilese ekonomi; dan subordinasi oleh politisi yang lebih senior saat memperebutkan nomor urut. Lebih dalam lagi, Ani melihat bahwa kelompok perempuan dan kaum muda dilihat sebagai pendobrak elektabilitas yang memiliki massa, sehingga hanya dimanfaatkan dalam urusan publikasi media partai. Kemudian ketika sudah masuk partai politik, perempuan dan kaum muda masih menghadapi tekanan untuk melakukan pembuktian atau legitimasi berdasarkan dana, lumbung suara, atau koneksi yang dimiliki, bukan berdasarkan gagasan. Perempuan dan kaum muda masih dilihat sebagai representasi deskriptif saja. Artinya masih dilihat bahwa tubuh perempuannya sudah mewakili keberpihakannya pada perempuan, padahal belum melakukan advokasi dan bertindak untuk memperjuangkan kelompoknya sendiri. Pemaparan materi dilanjutkan oleh Usep Hasan Sadikin yang menulis artikelnya di JP 115 dengan judul “Sinergi Politik Harapan: Interseksionalitas Politik Pemuda dalam Feminisme”. Berawal dengan kondisi objektifikasi suara pemuda dalam dunia politik, Usep menawarkan penerapan politik harapan sebagai bentuk adopsi pengetahuan feminisme. Apa itu politik harapan? Kata “harapan” digunakan untuk mengacu pada kelompok yang dipinggirkan. Konsep ini mengharap pada perubahan sosial dan politik yang signifikan dalam kehidupan secara menyeluruh. Dengan keyakinan, tindakan politik yang dilakukan bertujuan mencapai kesetaraan dan keadilan akan menghasilkan masyarakat tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Dalam mewujudkannya, lanjut Usep, perlu kerangka analisis untuk memahami identitas sosial dan politik seseorang yang bergabung dalam jalan perubahan tersebut, yakni interseksionalitas. Pendekatan melalui pemahaman identitas berupa gender, jenis kelamin, ras, etnis, kasta, kelas, seksualitas, agama, disabilitas, juga penampilan fisik. Sehingga dapat menciptakan lingkungan yang tidak diskriminatif. Terakhir, pemaparan materi dari Ikhaputri Widiantini yang menulis artikel dengan judul “Belajar dari Aktivis Perempuan Muda: Sebuah Cara Mempengaruhi Kesadaran Politik Sejak Dini” di JP 115. Ia memulai dengan pertanyaan, “Bagaimana keterlibatan perempuan dalam politik, selagi ruang politik masih kental dengan dominasi laki-laki?” Hal ini dapat dimulai dengan mendengarkan pengalaman perempuan sebagai subjek pertama. Koleksi pengalaman perempuan ini akan memunculkan kesepahaman dalam bentuk dukungan atas tiap pengalaman yang berbeda. Setiap isu dalam ragam pengalaman tersebut akan berinteraksi dengan isu lain. Berujung memunculkan metode-metode baru dalam mengadvokasi berbagai macam bentuk ketidakadilan yang belum terjamah sebelumnya, tutup Ikhaputri. (Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |