Pada Jumat (20/1/2023) lalu, Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik beserta peluncuran Jurnal Perempuan edisi 113 (selanjutnya ditulis JP 113), yaitu “Feminisme dan Keadilan Iklim”. Pendidikan Publik ini menghadirkan tiga pembicara yang juga merupakan kontributor artikel JP 113, yaitu Ikhaputri Widiantini (Departemen Filsafat, FIB Universitas Indonesia), Yogi Paramitha Dewi (Peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada), dan Widya Hasian Situmeang (Dosen Sekolah Vokasi Institus Pertanian Bogor), serta dimoderatori oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri (Redaksi Jurnal Perempuan). Pendidikan Publik ini dibuka oleh Indah Susanti (Country Program Manager Australian Volunteers Program), yang menegaskan pemberian dukungan oleh Australian Volunteers Program untuk Jurnal Perempuan selama ini. Indah Susanti memaknai JP 113 sebagai dukungan bagi usaha menegakkan keadilan iklim menggunakan perspektif feminisme kritis perempuan Indonesia. Topik utama JP 113 menampilkan partisipasi dan peranan perempuan penyandang disabilitas, perempuan pedesaan, komunitas pesisir dan kehutanan, masyarakat adat, dan perempuan aktivis yang dalam usaha mengatasi perubahan iklim bagi komunitas. Indah mengakhiri paparan sambutan dengan mengingatkan bahwa volunteering atau menjadi relawan adalah kesempatan mulia untuk memenuhi aspirasi kepedulian atas isu-isu sosial dan lingkungan hidup.
Pidato sambutan selanjutnya oleh Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), yang menjelaskan bahwa JP 113 adalah edisi yang berfokus pada topik keadilan iklim, krisis iklim, serta feminisme. Fenomena krisis iklim telah dialami oleh masyarakat seluruh dunia dan dalam konteks feminisme hal ini berpengaruh pada peningkatan permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada dasarnya, ketika terjadi krisis iklim, perempuan mendapat dampak yang tidak proporsional. Dengan kata lain, keadilan iklim tidak dapat tercapai tanpa memperjuangkan keadilan gender. JP 113 berisi 6 tulisan akademik yang terdiri atas 5 tulisan Topik Empu dan satu riset oleh Jurnal Perempuan, satu Wawancara, satu Profil, satu Tokoh, dan satu Resensi. Ikhaputri Widiantini sebagai narasumber pertama mempresentasikan tulisannya yaitu Inisiatif “Perempuan Membentuk Environmental Culture sebagai Upaya Mengatasi Perubahan Iklim”. Tulisan ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun perempuan dapat mengalami kerentanan dalam persoalan gender dan iklim, mereka tidak dapat dipandang sebagai korban karena perempuan memiliki ketangguhan terhadap diri dan komunitasnya. Ikhaputri juga menambahkan pernyataan bahwa isu lingkungan merupakan isu feminisme. Feminisme melihat lapisan interseksional, yaitu melihat adanya pola penindasan perempuan yang beriringan dengan kerentanan dan penindasan terhadap lingkungan. Tulisan Ikhaputri berusaha untuk melihat partisipasi perempuan yang berkaitan dengan pengalaman terhadap isu konkret. Hal ini sejalan dengan prinsip ekologis, yaitu melibatkan siapapun yang terlibat dalam ekologi. Konsep environment culture dalam tulisan ini berusaha untuk merespons krisis lingkungan. Dalam hal ini, tanpa kita sadari, krisis lingkungan dapat menjadi sebuah kesempatan untuk melihat sejauh apa pemahaman dan kepedulian masyarakat luas terhadap isu lingkungan. Secara afirmatif, Ikhaputri memperkenalkan pengalaman-pengalaman perempuan yang telah berhasil membuat inisiatif dan rasa solidaritas yang dihasilkannya--karena pengalaman inisiatif akan memunculkan relasi intensional. Penjelasan tersebut diikuti dengan pengelompokkan empat poin, yaitu inisiatif, pengalaman konkrit, keterlibatan, dan solidaritas. Bagi Ikhaputri, berbagai pengalaman aktivis perempuan ini telah menunjukkan bahwa banyak perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan. Perubahan yang dibawa adalah perubahan yang dibuat adalah secara kolektif dan bukan secara individual. Keterlibatan alam dalam mengatasi persoalan dapat menjadi refleksi dan menegaskan pemahaman akan adanya kultur lingkungan baru. Sehingga tidak terdapat pola pikir hierarkis bahwa manusia memiliki kedudukan lebih tinggi dari alam; secara fakta kedudukan manusia dan alam adalah seimbang. \ Pemaparan kedua disampaikan oleh Yogi Paramitha Dewi dengan judul tulisan “Membangun Resiliensi dari Bawah: Perempuan dengan Disabilitas dan Keadilan Iklim di Indonesia”. Ketika berbicara tentang perempuan dengan disabilitas dan keadilan iklim terdapat beberapa faktor. Pertama, bahwa dampak dari perubahan iklim tidak terdistribusi secara merata. Selanjutnya, perempuan dengan disabilitas cenderung lebih rentan daripada nondisabilitas dalam merespons perubahan iklim. Lebih lanjut, hal ini menekankan pentingnya inklusivitas dalam pembuatan kebijakan terkait perubahan iklim untuk terutama bagi perempuan disabilitas. Yogi berusaha menggabungkan konsep feminisme lingkungan untuk melihat peran perempuan disabilitas yang selama ini dilihat tidak memiliki gender, aseksual, dan persoalan lainnya. Selain itu, Yogi berpendapat bahwa pemahaman feminisme lingkungan perlu diperluas dengan memasukkan interseksi kedisabilitasan untuk melihat bagaimana perempuan disabilitas dalam kaitan tata keputusan lingkungan serta perubahan iklim. Hal ini juga digunakan untuk memandang rekognisi, partisipasi, dan distribusi dalam permasalahan keadilan iklim. Selanjutnya, Yogi berusaha mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah dalam perubahan iklim di Indonesia. Secara afirmatif, Yogi memaparkan berbagai usaha yang dilakukan oleh perempuan disabilitas dalam usaha melawan perubahan dan ketidakadilan iklim di Indonesia, salah satunya melalui usaha nonkapitalistik pembalut kain. Meninjau melalui aspek keadilan iklim, yaitu pertama rekognisi, masih lemahnya pengakuan bahwa perempuan disabilitas merupakan salah satu kelompok yang rentan dalam aspek perubahan iklim. Hal ini sulitnya pembuatan kebijakan terkait perubahan dan mitigasi iklim. Kedua, langkah partisipasi menjadi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan masyarakat yang terlibat. Dengan kata lain, inisiatif yang dilaksanakan oleh perempuan disabilitas berperan penting dalam hal ini. Terakhir, langkah distribusi hendaknya terhubung dengan pengakuan dan partisipasi yang dilakukan serta pengakuan yang diberikan terhadap kelompok tersebut. Yogi menutup presentasinya dengan sebuah pesan terhadap khalayak, bahwa penting bagi kita semua untuk menyuarakan dan membawa pengalaman perempuan disabilitas ketika pembicaraan publik dan lingkungan, khususnya perubahan iklim. Widya Hasian Situmeang sebagai narasumber ketiga menjelaskan tulisannya yang berjudul “Ragam Modal Perempuan Pedesaan dalam Menghadapi Perubahan Iklim di Tengah Subordinasi”. Melalui tulisan ini, Widya berusaha menyorot perubahan iklim dan kaitannya dengan pemenuhan pangan, kemudian menempatkan perempuan sebagai aktor kunci yang memiliki banyak peranan penting atau kontribusi dalam mengatasi persoalan perubahan iklim. Perubahan iklim memiliki keterkaitan dengan ancaman krisis pangan, yang dapat diartikan sebagai suatu perubahan jangka panjang mengenai suhu dan cuaca yang dapat mempengaruhi produktivitas tanaman pangan. Perubahan ini berpengaruh dalam pola kegiatan perempuan, seperti panen tanaman pangan yang terganggu, cuaca ekstrem, bencana alam, dan beragam persoalan lain. Gejala perubahan iklim dan gejala-gejala kesulitan dalam persoalan pangan ini banyak terjadi di sekitar Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya, juga terjadi serangan hama, penyakit, peningkatan suhu udara, dan terbatasnya air bersih. Hal tersebut diikuti fenomena mixaxi yang membuat peran perempuan menjadi cukup kompleks dalam relasi keluarga, yang pada hal ini perempuan memiliki peran sentral. Contoh fenomena lain adalah sebuah kebiasaan yang terjadi ketika perempuan dan anak perempuan berusaha menghadapi kurangnya kebutuhan pangan dengan mengurangi takaran pangan yang mereka konsumsi. Peran perempuan terutama dalam pemanfaatan modal sosial itu cukup signifikan menopang masyarakat menghadapi perubahan iklim. Perjuangan ekofeminisme dalam persoalan yang dihadapi tidak terlepas dari perjuangan yang dilakukan oleh aktivis perempuan dalam membaca situasi alam. Selain itu, subordinasi masih terjadi. Sebagai saran, Widya menyatakan bahwa diperlukan rancangan mitigasi dalam penanggulangan iklim yang responsif terhadap gender serta penyelenggaraan ruang pendidikan berbasis gender dalam menghadapi upaya perubahan iklim. Hal ini menjadikan apa yang kita curahkan dalam konsep mengupayakan Sustainable Development Goals (SDGs), perbaikan sistem pangan, dan penyusunan pedoman umum responsif gender yang tidak mengesampingkan perempuan. Pendidikan Publik 113 diharapkan menjadi sebuah refleksi yang membangun kesadaran kolektif terkait keadilan iklim yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan keadilan gender. JP 113 "Feminisme dan Keadilan Iklim" hadir untuk memberikan sumbangan diskursus keadilan feminis dalam merespons perjuangan keadilan lingkungan dalam konteks Indonesia. (Esa Geniusa Religiswa Magistravia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |