Rabu (13/4) Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bersama Unit Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI mengadakan webinar yang berjudul Mengawal (Pasca) Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Acara yang dimoderatori oleh Yeremia Ardhitya ini dihadiri oleh enam narasumber yakni I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia – KPPPA RI), Edward Omar Sharif Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia – HAM RI), Luluk Nur Hamidah (Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – PKB DPR RI), Taufik Basari (Anggota Fraksi Partai NasDem DPR RI), Ratna Batara Munti (Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan - JKP3), dan Ira Imelda (Forum Pengada Layanan/ Women’s Crisis Center Pasundan Durebang, Bandung). Acara dimulai dengan pemaparan dari ibu menteri KPPPA melalui video. Beliau menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya untuk kerja kolaboratif pemerintah, anggota legislasi, dan masyarakat. Pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah perjalanan panjang dengan harapan UU TPKS ini bisa benar-benar implementatif. Berbagai survey yang dilakukan oleh KPPPA menunjukkan bahwa kekerasan seksual di Indonesia dalam kondisi darurat. Kekerasan seksual adalah masalah kompleks yang memerlukan payung hukum komprehensif seperti UU TPKS. Dalam upaya implementasi UU TPKS, KPPPA bekerjasama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk pengadaan dana bagi korban dan rehabilitasi pelaku, KPPPA juga bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk pelatihan pengada layanan. Ibu menteri mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak “Perempuan berdaya, Anak Terlindungi, Keluarga Sejahtera”, sambungnya.
Selanjutnya, Taufik Basari menjelaskan bahwa UU TPKS adalah kolaborasi antara DPR, Pemerintah, serta Organisasi Jaringan Sipil. Selama proses menuju pengesahan begitu banyak hambatan – yang tersulit adalah tentang kesalahpahaman materi RUU yang sering dimaknai sebagai RUU pendukung seks bebas. Pernyataan ini dibenarkan oleh Ira Imelda dengan tambahan bahwa hoax juga menjadi salah satu kendala proses pengesahan RUU TPKS. Taufik kembali menekankan perlu adanya upaya ekstra untuk meyakinkan publik dalam proses pengesahan RUU tersebut. Taufik juga memberikan informasi bahwa UU TPKS yang disahkan mempunyai delik baru yang tentunya didatangkan dari data, fakta, dan pengalaman korban serta pengada layanan. UU TPKS tak luput memuat hukum acara yang komprehensif sebab berhasil memuat kebutuhan korban – misalnya ditemani saat sidang. Selain itu, UU TPKS juga memuat dana bantuan korban yang bukan hanya dari Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN) namun juga Corporate Social Responsibility (CSR), dan donasi lainnya. Luluk Nur Hamidah mengungkapkan sejujurnya ia masih shock dan terharu atas pengesahan UU TPKS sebab selama masih menjadi RUU pembuatan, pembentukan, dan pengesahannya bukan dari ruang kosong melainkan dari sejarah panjang. Sejarah kelam kekerasan terhadap perempuan pada tahun 1965, konflik Poso, konflik Ambon, tragedi Mei 1998, dan Marsinah adalah runtutan tragedi – sejarah yang mengisi semangat pembentukkan RUU TPKS. UU TPKS yang komprehensif ini bukan hanya memuat hak korban namun juga mencegah adanya korban baru sebab rincian kekerasan telah termuat di dalam UU tersebut. UU TPKS dapat membentuk peradaban baru melalui dampaknya yang luas dan menjangkau banyak pihak yang membutuhkan. Ratna Batara Munti juga menyampaikan kecemasannya terkait proses pengesahan RUU TPKS. Pasalnya proses pengesahan RUU TPKS sempat terkendala oleh term “Sexual consent” dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021. Polemik yang terjadi sedikit banyak menyeret RUU TPKS sebagai RUU yang dianggap “melegalkan seks bebas”. Ratna menekankan bahwa andil presiden Joko Widodo dalam memberikan pernyataan dukungan pada pengesahan RUU TPKS membantu percepatan proses pengesahannya. Walaupun ada kendala seperti waktu yang sempit untuk memeriksa Daftar Inventaris Masalah (DIM) – hanya kurang lebih 3 minggu. Sehingga Jaringan Masyarakat Sipil harus bekerja begitu cepat untuk memeriksa DIM. Sebagai penutup Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan dalam upaya pengesahan RUU TPKS pada periode sebelumnya KPPPA bergerak sendiri. Namun, pada periode selanjutnya staf presiden menunjuk KPPPA dan kementerian lain serta Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) untuk melancarkan proses pengesahan serta implementasi dari RUU TPKS – sekarang UU TPKS. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang mandek pada proses hukum, khususnya hukum acara, sebenarnya memunculkan pertanyaan besar. “Ada sesuatu yang salah dengan hukum acara kita”, ungkap Edward. Dalam UU TPKS, hukum acara diubah secara detil. Bisa dikatakan bahwa RUU TPKS merekonstruksi hukum acara. Pembahasan RUU TPKS seharusnya dijadikan role model untuk pembahasan RUU apapun. Sudah seharusnya pembahasan RUU melibatkan jaringan masyarakat sipil dan relasi itu dapat dipelihara melalui komunikasi yang baik. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |