Setelah dua tahun pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), laporan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual (KS) tidak kemudian berkurang maupun berhenti. Implementasi UU TPKS yang seharusnya mampu memberikan hak keadilan kepada para korban juga belum dapat direalisasikan secara efektif. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mengenai UU TPKS secara spesifik dan menyeluruh. Dalam merespons isu tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Voice in Indonesia meluncurkan tiga dokumen yang dihasilkan dari kegiatan Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS). Ketiga dokumen tersebut bertajuk Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pemantauan Penanganan Litigasi Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Tantangan Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Modul Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual: Penguatan Kapasitas Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berperspektif HAM dan Gender dalam Sistem Peradilan Pidana dan Layanan Terpadu Bagi Aparat Penegak Hukum, Tenaga Layanan, dan Pendamping.
Pada Selasa (23/1/2024) lalu, publikasi ketiga dokumen APKS tersebut dilakukan di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, dengan membahas pentingnya implementasi dari UU TPKS yang disertai oleh panduan dan modul demi melawan kasus-kasus kekerasan seksual. Sebelum pembahasan, Siska Dewi Noya (Voice in Indonesia) memberikan sambutannya. Menurut Siska, selain dukungan penuh yang diberikan kepada APKS, ia berharap semoga peluncuran publikasi tidak hanya merayakan keberhasilan APKS tapi juga mengapresiasi kerja keras para pendamping korban kekerasan seksual dan pihak-pihak lainnya yang sudah sangat membantu. Sambutan kedua diberikan oleh Andi Yentriani (Komnas Perempuan) yang menekankan bahwa UU TPKS adalah sebuah kebanggaan. Hal tersebut dikarenakan lahirnya undang-undang tersebut merupakan hasil dari perjuangan perempuan yang menuntut keadilan hingga pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Andi turut menyayangkan pelaporan TPKS yang hingga saat ini masih meningkat. Akan tetapi, hal positif yang dapat dilihat dari angka yang naik, menurut Andi, adalah terlihatnya keberanian korban dalam melaporkan TPKS yang dialami oleh mereka. Selain itu, laporan-laporan yang masuk turut menunjukkan meningkatnya fasilitas pengaduan yang semakin memadai. Meskipun demikian, kekhawatiran akibat masih adanya keluhan akan TPKS di tengah-tengah masyarakat masih dirasakan oleh Andi. Laporan tidak ditindaklanjuti dengan baik adalah sebabnya. Utamanya dengan banyak jalan kekeluargaan yang digunakan sebagai penyelesaian karena pelaku pada umumnya adalah orang terdekat yang menyalahgunakan kekuasaan, seperti anggota keluarga. Oleh karena itu, APKS hadir dan menunjukkan adanya upaya dalam memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kinerja di pusat-pusat pelaporan. Beberapa di antaranya adalah strategi dalam menyamakan standar kompetensi, fasilitas, dan pendamping di masyarakat, mengadakan pelatihan yang mumpuni, dan melahirkan publikasi yang diharapkan bisa menjadi batu pijakan kerja-kerja lainnya. Basseng, Deputi Bidang Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi Lembaga Administrasi Negara (LAN), hadir mewakili Pelaksana Harian (PLH) Sementara Kepala LAN, Muhammad Taufiq, dan memberkan sambutan yang berikutnya. Setelah mengucapkan selamat atas keberhasilan APKS, Basseng berharap agar tiga publikasi yang dihasilkan dapat diimplementasikan di berbagai instansi. Keberhasilan APKS dinilainya sebagai upaya menegakkan kembali aspek keadilan yang diatur dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Basseng kemudian menekankan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagai perancang dan eksekutor kebijakan publik, memiliki posisi strategis untuk menghantikan kekerasan seksual, utamanya terhadap perempuan. Sehingga, selain diharapkan menjadi eksekutor, ASN juga diharapkan tidak melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan. Basseng juga berharap pelatihan yang diberikan kepada para kandidat ASN dapat mengikutsertakan pelatihan anti kekerasan seksual dan mengacu pada tiga publikasi yang diluncurkan hari ini. Ketiga sambutan diakhiri dengan penandatanganan dokumen kerja sama antara LAN dan Komnas Perempuan mengenai implimentasikan ketiga dokumen APKS yang dipublikasikan dalam setiap kegiatan pemerintahan. Dari peluncuran ketiga dokumen APKS, sesi pembahasan yang pertama berfokus pada Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Pemantauan Penanganan Litigasi Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Tantangan Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Panelis pada diskusi ini terdiri dari Asfinawati (STHI Jentera), Erni Mustikasari (Kejaksaan Republik Indonesia), Komisaris Besar Polisi Enggar Pareanom (Kepala Sub Bagian V Direktorat Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia/Kasubdit V Dittipidum Polri), dan Ratna Batara Munti (LBH APIK Jakarta). Sesi pembahasan dimoderatori oleh Reny Rawasita Pasaribu (STHI Jentera). Asfinawati, akademisi dari STHI Jentera, membuka diskusi dengan mengemukakan pentingnya dokumen-dokumen yang dipublikasikan APKS karena adanya unsur pembeda dari tiga hal; pelecehan seksual fisik, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual. Unsur pembeda sangat bermanfaat bagi mereka yang tidak biasa atau baru pertama kali menggunakan RUU TPKS sehingga tidak mudah terkecoh. Kerancuan tersebut terlihat pada kegiatan pelatihan dan proses penerbitan ketiga dokumen. Pada kegiatan APKS ditemukan beragam kata kunci yang berulang dan perlu diperjelas agar tidak multi tafsir. Pembahasan kedua dilanjutkan oleh Ratna Batara Munti yang mewakili LBH APIK Jakarta. Menurut Ratna, LBH APIK masih banyak menerima laporan mengenai kekerasan seksual. Akumulasi terakhir menunjukkan adanya lebih dari 1000 kasus pada tahun 2022 dan 2023. Sebanyak 570 kasus dilaporkan pada tahun 2022 dan 497 kasus pada 2023. Tantangan pelaporan, penerapan alat bukti, penuntutan, dan putusan menjadi empat kesulitan yang selama ini dihadapi dalam mengimplementasikan UU TPKS demi memberikan keadilan bagi korban. Pada tantangan pelaporan, Ratna menyampaikan bahwa masih ada aparat penegak hukum (APH) yang menolak menggunakan UU TPKS dalam memproses kasus KS. Alasan mereka adalah belum adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. APH bahkan mengarahkan pendamping dan korban untuk ke kantor polisi yang sudah pernah menggunakan UU TPKS saja. Selain itu, kasus kekerasan gender berbasis online (KBGO) dan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) seringkali ditangani oleh pengadilan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Pornografi. APH bahkan pernah menolak pelaporan karena korban berusia dewasa dan berkenan untuk diajak pelaku ke tempat kejadian perkara (TKP) yang berupa hotel. Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Perkosaan juga lebih sering digunakan oleh APH daripada mengimplementasikan UU TPKS. Belum lagi sikap diskriminatif APH terhadap korban dan belum adanya ruang pelayanan khusus (RPK) yang aman dan nyaman untuk menangani pelaporan. Tantangan-tantangan pada proses pelaporan ini tidak hanya mempersulit penerapan UU TPKS tetapi juga merepotkan para pendamping yang harus bekerja ekstra dalam merealisasikan hak korban. Selain tantangan pelaporan, Ratna juga memaparkan adanya tantangan penerapan alat bukti. Korban atau pendampingnya seringkali diminta untuk menghadirkan saksi kejadian kekerasan seksual. Hal ini tentu sulit untuk diwujudkan karena kasus kekerasan seksual juga seting terjadi di ruang privat. Kurangnya alat bukti yang memihak korban juga belum tersedia. Tantangan penuntutan juga terjadi di dalam perjuangan proses penegakkan hukum pada kasus kekerasan seksual. Sering ditemukan surat dakwaan yang terlalu berlebihan, detil, dan vulgar dalam menguraikan persetubuhan. Hal ini, menurut Ratna, tidak akan membantu dan justru mewujudkan reviktimisasi pada korban. Ratna juga khawatir akan penerapan hukuman yang tidak tepat dengan perbuatan terdakwa. Hal ini dapat berujung pada vonis hakim yang rendah dan tidak menghukum pelaku kekerasan seksual dengan tepat. Tuntutan dan hukuman yang tidak sesuai menunjukkan lemahnya perhatian pada dampak psikis yang dialami oleh korban. Tantangan putusan juga dinilai Ratna menjadi salah satu hambatan dalam penerapan UU TPKS. Hasil putusan yang selama ini ada tidak menunjukkan adanya restitusi. Pentingnya implementasi UU TPKS, menurut Ratna, tidak hanya perlindungan dan pemenuhan hak korban. Rehabilitasi pelaku menjadi sebuah gagasan yang dapat diikuti pada penerapan UU TPKS. Hal ini merupakan sebuah terobosan yang merealisasikan hukum rehabilitatif. Pelaku akan diberikan rehab medis dan sosial di bawah pengawasan jaksa. Sayangnya belum ada kebijakan yang jelas mengenai hukum ini. Ratna kemudian menutup paparannya dengan merekomendasikan ketersediaan modul, publikasi panduan, keterpaduan layanan, dokumentasi yang menyebarluaskan putusan pengadilan, dan ruang pelayanan khusus yang aman dan nyaman untuk korban. Paparan dari Asfinawati dan Ratna Batara Munti ditanggapi oleh Kombes Pol. Enggar Pareanom dari Kasubdit V Dittipidum Polri. Enggar menyampaikan bahwa hasil dari APKS akan disampaikan kepada para penyidik yang belum tersosialisasi akan hal ini, utamanya yang berada di lapangan. Untuk KBGO dan KBGS, kepolisian sudah melakukan pendekatan ke divisi siber untuk meningkatkan kinerja mereka. Kemudian untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan korban kekerasan seksual, kepolisian sudah meningkatkan RPK di beberapa kantor Keolisian Daerah. Tanggapan berikutnya disampaikan oleh Erni Mustikasari, mewakili Kejaksaan Republik Indonesia. Erni sepakat bahwa penjelasan penafsiran dari UU TPKS sangat diperlukan. Walaupun sebenarnya keterangan korban sudah cukup dalam memberikan keadilan bagi korban, penekanan implementasi hukum perundang-undangah masih diperlukan. Hal ini diharapkan juga dapat menghindari maraknya penyelesaian TPKS dengan menggunakan jalan perdamaian atau kekeluargaan. Menurut Erni, metode tersebut sangat tidak mungkin diterapkan untuk membela korban. Karena jalan perdamaian atau kekeluargaan memiliki jangka waktu 14 hari saja. Maka ini harus dilakukan dengan sangat berhati-hati terutama jika jaksa tidak memiliki latar belakang psikologis. Karena korban seringkali tidak mendapatkan hak yang mereka tuntut. Sehingga implementasi UU TPKS yang disertai pedoman penjelasan penafsiran sangat diperlukan agar dapat memberikan keadilan bagi korban. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |