Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) diresmikan pada tahun 1981. Indonesia sendiri sudah meratifikasi CEDAW pada tahun 1984. Setelah hampir menyentuh empat dekade ratifikasi CEDAW di Indonesia, masih banyak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di tanah air. Diskriminasi tersebut semakin berlapis ketika kita menyoal kelompok rentan dan marjinal, seperti LBTQ (Lesbian, Biseksual, Transgender, dan Queer), perempuan perdesaan, dan pekerja migran. Sebagai bentuk optimalisasi CEDAW di Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) dan Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia menggandeng Yayasan Kalyanamitra menyelenggarakan diskusi “Sosialisasi Concluding Observations Komite CEDAW 2021 Untuk Mendorong Implementasi Konvensi CEDAW” di Indonesia pada Selasa (8/11/2022) lalu. Acara dilaksanakan secara bauran. Acara tatap muka dilaksanakan di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat, sementara acara online dilaksanakan via aplikasi Zoom. Diskusi ini menghadirkan empat orang narasumber, yakni Mike Verawati (Koalisi Perempuan indonesia mewakili CWGI), Gustaf Daud Sirait (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Dahlia (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan – Komnas Perempuan), dan Valentina Ginting (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – PPPA), dimoderatori oleh Listyowati (CWGI).
Sebelumnya, CWGI sudah menghasilkan Concluding Observation (CO) atau Kesimpulan Pengamatan mengenai implementasi CEDAW di Indonesia. Sampai saat ini, Komite CEDAW sudah mengeluarkan 5 CO. CO sendiri berfungsi sebagai apresiasi, rangkuman upaya, serta perhatian terhadap berbagai isu perempuan di Indonesia. CO terkini yang disosialisasikan adalah CO tahun 2021, dengan beberapa isu yang diangkat, yaitu kekerasan berbasis gender (online dan offline), sunat perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM), dan akses perempuan terhadap keadilan. Narasumber pertama, yaitu Mike Verawati sebagai perwakilan CWGI, memaparkan perkembangan CEDAW di Indonesia. Selama 38 tahun ratifikasi CEDAW di Indonesia, instrumen hak perempuan ini sudah berupaya menjawab berbagai persoalan perempuan, seperti diskriminasi di ruang publik. Hasil CO tahun 2021 sendiri membedah artikel 1 hingga 16 dalam CEDAW, yang digunakan untuk acuan laporan internasional. Mike membahas beberapa contoh kasus diskriminasi perempuan, salah satunya adalah akses perempuan terhadap keadilan. Akses perempuan kerap kali terpatahkan karena diskriminasi gender dan stigma. Oleh karena itu, artikel CEDAW yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan—termasuk definisi perkosaan—adalah untuk memastikan perempuan memiliki akses yang efektif terhadap keadilan. Mengenai isu FGM, CWGI merekomendasikan agar dilakukan kriminalisasi terhadap setiap pelaku FGM. Hal ini akan membantu menghapus stigma dan mitos FGM dalam masyarakat, seperti FGM akan mengangkat derajat perempuan, dan lainnya. Materi dilanjutkan oleh Gustaf Daud Sirait. Sebagai Pelaksana Harian Direktorat Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia, ia menyatakan siklus pelaporan dalam CEDAW adalah sangat penting. Salah satu hal yang dapat ditingkatkan melalui adanya laporan CEDAW adalah catatan praktik terbaik. Gustaf menyebutkan, salah satu bentuk praktik baik yang tampak di Indonesia adalah adanya laporan bayangan atau alternatif. Laporan ini disusun oleh kelompok masyarakat sipil, sebagai pendamping laporan utama. Menurutnya, laporan bayangan ini sudah mencapai rekor, yaitu sebanyak 32 laporan. Hal ini menunjukkan kerja keras organisasi masyarakat sipil dalam mencari dan merefleksikan data perempuan dan masyarakat rentan. Dahlia selaku perwakilan dari Komnas Perempuan menyambung paparan materi. Ia memastikan bahwa masukan dari masyarakat sipil selalu didengar dan dijadikan capaian oleh Komnas Perempuan. Dahlia juga menyoroti adanya isu-isu yang selalu diulang setiap tahunnya. Walaupun selalu diperdalam dan diperbaiki mekanisme penanganannya, berbagai isu selalu terjadi dan seakan tidak pernah terselesaikan. Masalah yang yang dimaksud adalah perkawinan anak, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan disabilitas, hingga perlindungan perempuan adat. Atas hal ini, kalimat penutup dari Dahlia menyarankan adanya mekanisme berkelanjutan yang multisektor. Karena hal itu, mulai dari pelaporan, penanganan, maupun pemulihan, dapat dipantau oleh negara, sehingga pengabaian terhadap isu-isu tersebut bisa ditekan. Sebagai narasumber penutup, Valentina Ginting hadir secara online. Menurut Valentina, sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, CEDAW sudah memberikan kontribusi yang baik bagi pembangunan manusia di Indonesia. Ia juga menuturkan data, bahwa pada tahun 2021-2022, KemenPPPA Republik Indonesia berhasil memastikan koordinasi lembaga-lembaga daerah—dari pemerintah hingga Forum Pengada Layanan (FPL)—dalam penyediaan layanan untuk perempuan. Untuk selanjutnya, KemenPPPA akan mendorong layanan perempuan bersifat one stop service dan terkoneksi ke seluruh provinsi maupun kabupaten/kota. KemenPPPA juga akan merevitalisasi sistem informasi online dari pendataan dan pelaporan kasus kekerasan dan diskriminasi perempuan. Valentina menutup dengan menyatakan pentingnya evaluasi perkembangan dan pelaporan CEDAW yang substantif, sehingga kemajuan dan kemunduran dalam implementasinya dapat segera disadari. Setelah paparan dari Valentina, Listyowati selaku moderator menutup diskusi. Dalam penutupnya, Listyowati menyampaikan bahwa bertambahnya rekomendasi CEDAW seiring berjalannya waktu tidak selalu menunjukkan hal yang baik. Seharusnya rekomendasi yang bertambah dapat direfleksikan, sehingga organisasi masyarakat sipil dapat merespons bentuk-bentuk kekerasan dan diskriminasi perempuan secara tepat dan maksimal. Demikian, CEDAW dapat berfungsi sebagai tools atau alat bantu yang efektif dalam menilai sekaligus memperbaiki kesenjangan gender di Indonesia. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |