Pada Kamis (2/5/2024), Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), Universitas Indonesia, menyelenggarakan Kuliah Tamu yang bertajuk “Indonesian Domestic Workers in Gig Work”. Kegiatan yang diadakan di Aula SKSG Gedung IASTH lantai 5, Kampus UI Salemba pada pukul 15.00-17.00 WIB tersebut mengundang seorang akademisi dari Yokohama National University, yakni Keiko Hirano, Ph.D. Sejak tahun 2008 hingga 2009, Keiko telah aktif melakukan penelitian mengenai pekerja domestik di Cianjur, Jawa Barat. Berangkat dari perjalanan penelitian ini pula, dirinya berhasil meraih gelar doktor. Keiko juga turut meneliti perihal gig workers dalam bidang tenaga kerja reproduksi dari tahun 2018 hingga saat ini. Pengalaman berkecimpung dengan perempuan Indonesia melalui jejak penelitiannya, membuat Keiko memahami realitas sosial, ekonomi, dan budaya yang berkelindan dalam kehidupan mereka.
Melalui pemaparannya pada Kuliah Tamu ini, Keiko pertama-tama menguraikan perihal definisi dari gig work itu sendiri. Baginya, gig work merupakan sektor pekerjaan yang menggunakan platform digital. Karakteristik dari jenis pekerjaan satu ini sangat sarat dengan kondisi yang kontingen, paruh waktu, sementara, dan intermiten. Dalam konteks ini, gig work tidak bersifat teratur pada jangka waktu yang panjang. Melainkan, sangat dependen dengan permintaan dari pelanggan atau pasar. Dengan demikian, seringkali pekerja harus menghadapi panggilan yang mendadak dan tidak mengenal hari libur misalnya. Di samping itu, ia merupakan jenis pekerjaan yang fleksibel sehingga hanya berpatok pada periode waktu yang terbatas. Hal ini juga mengakibatkan pekerja gig work biasanya tidak pernah mendapatkan jaminan pekerjaan yang berkelanjutan. Pada negara seperti Indonesia, gig work telah dipekerjakan sejak masa kolonial. Secara spesifik, gig work di negara ini cenderung didominasi oleh pekerja perempuan muda migran yang berasal dari daerah ke wilayah perkotaan. Sejak tahun 2015, jumlahnya mengalami peningkatan yang signifikan sejalan dengan perkembangan platform digital dalam menawarkan jasa, pun permintaan pasar. Hingga saat ini, kedudukan tenaga kerja informal tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang inferior. Sebaliknya, ia dianggap sebagai bagian integral dari kapitalisme yang turut menyumbang perekonomian global. Namun, kasus yang sama tidak berlaku pada gig work. “Gig work tidak diakui sebagai bagian dari pekerjaan yang memberikan penghasilan utama atau menjadi sumber pendapatan utama bagi keluarga,” tegas Keiko. Pada konteks ini, gig work masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan sejalan dengan pandangan masyarakat perihal ini yang terasosiasi dengan stereotipe feminin. Peran-peran tradisional, seperti melayani, merawat, hingga menjaga kebersihan rumah tangga masih dianggap lekat dengan kelompok perempuan. Keiko menguraikan bagaimana hal ini memengaruhi pekerja yang sebagian besar merupakan perempuan. Melalui penelitiannya, ia menyebutkan salah satu contoh di Indonesia, yakni layanan GoClean. Pada satu sisi, dengan platform digital ini, pekerja bisa mendapatkan peluang untuk memasuki bursa ketenagakerjaan. Mereka yang sebagian besar merupakan perempuan dapat menciptakan kembali kemandirian finansialnya terlepas dari laki-laki. Hal ini terutama sangat dirasakan pasca pandemi lalu. Dalam kehidupan masyarakat yang masih mengasosiasikan mereka dengan perannya sebagai ibu di rumah, gig work semacam GoClean ini juga dapat menjadi pekerjaan alternatif yang memberikan fleksibilitas waktu. Dengan demikian, mereka tetap dapat menjalankan kerja-kerja perawatan di rumah sembari mencetak penghasilan pada saat luang. Meskipun gig work seperti layanan GoClean membuka banyak peluang yang menarik bagi perempuan, tak dapat dipungkiri bahwa tantangan yang berkelindan di dalamnya juga cukup banyak. Selain harus menanggung biaya sendiri, seperti transportasi dan alat kebersihan untuk menjalankan pekerjaannya, Keiko juga mengemukakan bahwa pekerja gig seringkali mengalami alienasi atau keterasingan dan kesepian karena terpisah dari komunitasnya. Di samping itu, kerangka hukum juga tidak memberikan perlindungan yang jelas dan terorganisasi pada mereka sehingga kerentanan akan eksploitasi dan ketidaklayakan upah dapat menjadi perhatian tersendiri. Kondisi alienasi diakui akan memperburuk hal ini karena dalam konteks lebih lanjut dapat menghambat mereka melakukan aksi kolektif untuk menegakkan hak-haknya sebagai pekerja. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |