“Ketika kita membicarakan tentang perempuan di wilayah Asia Tenggara, maka kita dapat melihat bahwa mereka tidak mendapatkan banyak akses pada berbagai bidang seperti kesehatan, ekonomi, dan politik. terutama dalam bidang politik, perempuan kurang memiliki kesempatan atau kekuasaan yang sama” Demikianlah kalimat pembuka dari Prof. Patrick Ziegenhain, Dosen di Goethe-Frankfurt University ketika menjadi pemateri dalam Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X di kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner, Sabtu 21 Maret 2015. Menurut Ziegenhain, Negara-negara di Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup banyak seperti bahasa, budaya, tradisi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, ia menekankan perbedaan pada negara-negara di Asia Tenggara yang sudah lebih maju seperti Singapura dan Filipina dengan negara-negara yang masih berkembang seperti Myanmar dan Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari data-data mengenai tingkat partisipasi politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. World Economic Forum mencatat berdasarkan partisipasi ekonomi perempuan, Filipina terletak pada posisi yang sangat baik yaitu pada peringkat ke-9, Singapura disisi lain tercatat pada posisi nomor 60 sekian dan Indonesia pada nomor ke-108. Di Filipina komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi pun sudah dapat dikatakan hampir seimbang. Kemudian dari bidang pendidikan, rata-rata penduduk negara-negara maju di Asia Tenggara telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi sedangkan di negara berkembang masih ada penduduk yang hanya merupakan lulusan dari sekolah menengah (dan tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi) dalam jumlah besar. Mengenai angka kelahiran anak, keluarga negara berkembang cenderung memiliki anak yang lebih banyak dibandingkan negara maju. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa perbedaan antara Filipina dan Indonesia tentunya sangat jauh dalam ekonomi, politik, maupun pemberdayaan perempuan. Kedepannya, Ziegenhain menyarankan agar pemerintah lebih memerhatikan peran perempuan dalam upaya peningkatan ekonomi. Begitu juga dalam hukum, baik itu perumusan kebijakan ataupun pribadi-pribadi para penegak hukum, serta perlu dilakukan pendekatan hukum pada perempuan dan isu-isu gender di Indonesia. Terakhir, pemerintah dan masyarakat juga harus sama-sama berupaya mengurangi (sebisa mungkin hingga menghilangkan) desakan dari ajaran agama yang bersifat diskriminatif gender. (Johanna G.S.D. Poerba) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |