Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional Kamis, tanggal 8 Maret 2018 Jurnal Perempuan mengadakan acara Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 Feminisme dan Cinta. Di tengah ramainya pembahasan mengenai cinta yang sering dikaitkan dengan pernikahan, Jurnal Perempuan memfokuskan bahasannya tentang cinta dalam perspektif feminisme. Naufaludin Ismail, Penulis Jurnal Perempuan 96 yang hadir sebagai pembicara memaparkan penelitiannya yang berjudul “Relasi Patriarki, Subordinasi dan Glorifikasi Pernikahan: Dilema Perempuan Lintas Generasi dalam Menjalani dan Memaknai Cinta”. Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam kepada enam narasumber lintas generasi dari usia 20 hingga 50 tahun, dengan profesi dan status yang berbeda-beda. Bagi Naufal saat ini masyarakat terlalu mengglorifikasi pernikahan atau sering memahami bahwa pernikahan adalah puncak dari rasa cinta seseorang. Oleh karena itu, menurut Naufal perlu ada kajian mendalam tentang cinta. Naufal menyatakan bahwa pembahasan cinta diawali pada masa Yunani kuno dengan pembagian definisi cinta menjadi tujuh, yaitu eros (cinta yang disertai hasrat dan berahi), philia (cinta terhadap sahabat), storge (cinta terhadap keluarga), agape (cinta tanpa batas dan mementingkan diri sendiri, seperti cinta kepada Tuhan), ludus (cinta yang lebih menekankan pada bersuka cita), pragma (cinta yang menekankan pada perhitungan pragmatis) dan philautia (cinta pada diri sendiri). Kemudian, pada abad pertengahan definisi cinta berubah yaitu cinta dimaknai sebagai bentuk relasi dengan Tuhan. Adanya perubahan ini pun dipengaruhi oleh ajaran gereja Katolik yang berjaya di masanya. Perubahan definisi cinta pada era modern dipengaruhi oleh pemikiran Jean Jacques Rousseau yaitu Romantisisme, dimana semua orang merayakan rasionalitas dan kasih sayang. Berbeda jauh dengan era modern, posmodern mendefinisikan cinta dengan perayaan kebebasan dan perbedaan termasuk dengan hubungan poliamori yang berbeda dari definisi mainstream. Naufal menjelaskan tentunya feminis memiliki definisinya sendiri mengenai makna cinta. Pemikir feminis juga memiliki perdebatan dalam mendefinisikan cinta, karena beberapa menyatakan cinta adalah bentuk pembebasan dan beberapa merasa sebagai pengekangan. Mengacu pada pengalaman keenam narasumber, “Mereka merasa kesulitan dalam relasi yang mengandung subordinasi karena hubungan menjadi tidak setara dan perempuan tersubordinasi. Hal ini dibenarkan oleh Simone de Beauvoir” tutur Naufal. Naufal menjelaskan bahwa sebenarnya pengalaman cinta tiap orang berbeda, begitu pun pengalaman cinta seorang feminis. Semua menyatakan bahwa cinta seharusnya setara dan tidak mengekang. Sayangnya, banyak relasi yang justru memunculkan subordinasi. Relasi tersebut yang disebut sebagai relasi patriarki dimana seseorang harus subordinat dari pasangannya. Naufal juga menegaskan bahwa para narasumber memaknai pernikahan sebagai hal yang tidak terlalu penting, melainkan pernikahan hanya dilakukan untuk kepentingan administratif semata. Oleh sebab itu, bagi mereka pernikahan bukanlah sesuatu yang identik dengan cinta. Pemikiran bell hooks yang diangkat oleh Naufal lewat penelitiannya memperlihatkan bahwa cinta adalah akar dari pengakuan, kepedulian, tanggung jawab, komitmen dan pengetahuan, sehingga melalui cinta sebenarnya kita dapat menghentikan dominasi. Sementara pemahaman bell hooks tentang institusi keluarga atau pernikahan adalah memercayai adanya keluarga yang setara dengan menanggalkan relasi patriarki terlebih dahulu. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya feminis bukan anti terhadap pernikahan dan institusi keluarga. Akan tetapi, feminisme menentang keras nilai atau relasi patriarki yang bersembunyi di baliknya. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |