Kamis (23/11) Trade Union Rights Centre (TURC) bersama dengan Institut für Ökonomie und Ökumene (SÜDWIND), African Women's Development and Communication Network (Femnet), dan Civil Initiatives for Development and Peace India (Cividep India) menggelar 2nd International Dialouge Forum yang bertajuk Her Health, Her Voice: Listen with us to Women Workers Talking about Osh in the Garment and Footwear Industry. Acara yang didanai oleh Federal Ministry for Economic Cooperation and Developmentof Germany (BMZ) membahas pentingnya penerapan Occupational Safety and Health (OSH) pada sektor industri garmen dan sepatu. Penerapan OSH penting dilakukan guna mendukung ketersediaan ruang laktasi, konseling, klinik kesehatan, toilet yang layak untuk perempuan, makanan sehat, dan keselamatan kerja. Acara ini menghadirkan empat kisah perempuan pekerja dari industri garmen dan sepatu dari Indonesia dan India.
Kisah pertama adalah tentang seorang pekerja rumahan atau pekerja informal bernama Salma (50) yang berasal dari Jakarta, Indonesia. Salma telah menggeluti industri pembuatan sepatu lebih dari satu dekade. Kendati demikian, lama waktu bekerja nyatanya tidak sejalan dengan kesejahteraan yang ia dapatkan. Salma bercerita bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia harus bekerja pada beberapa tempat seperti kerja utama yaitu menjadi pekerja rumahan untuk pabrik sandal, menjual bakso, dan buruh cuci. Menurut Salma menjadi pekerja rumahan memiliki risiko yang tinggi; beban kerja yang berat; dan tidak adanya jam kerja yang pasti. Selama menjalani pekerjaan tersebut Salma telah melalui banyak permasalahan kesehatan, salah satunya adalah keguguran. Bahkan pekerjaan yang harus dibawa ke rumah juga berdampak pada anaknya yang kelima. Anak kelima Salma meninggal karena mengidap flek paru-paru pada usia bayi yang disebabkan paparan lem pembuatan sandal. Kendati terdapat sejumlah tantangan, pemberi kerja tidak memberikan cuti hamil, jaminan sosial, kontrak kerja, santunan kematian anak, apalagi bonus. Bahkan upah bulanan dibayarkan tidak tentu dengan alasan pemotongan karena kualitas produk yang dihasilkan. Kisah kedua adalah tentang seorang pekerja industri garmen bernama Babli (26) yang berasal dari Bangalore, India. Babli telah bekerja di industri garmen selama enam tahun. Selama Babli bekerja ia mengaku bahwa pabrik tidak memberikan cuti haid. Bahkan saat ia hamil 8 bulan, ia kesulitan mendapatkan akses fasilitas kesehatan, sementara rumah sakit berada jauh dari lokasi pabrik berada. Menurut Babli penting bagi pemberi kerja untuk menyediakan sistem kerja yang sesuai usia agar pekerjaan tidak membuat stres. Penting juga bagi pemberi kerja untuk menyediakan fasilitas yang memadai misalnya memberikan akses lift jika bekerja pada lantai atas. Sebab dalam kasus Babli terdapat banyak rekan kerjanya yang mengalami gangguan kesehatan seperti infeksi kandung kemih, sakit perut, sakit lambung, dan lainnya yang diakibatkan oleh akses tangga yang terlalu sering. Sementara itu kisah ketiga memiliki warna cerita yang agak berbeda. Kisah ini adalah tentang Evie (29) seorang pekerja pabrik. Menurut Evie selama ia bekerja dalam kondisi hamil ia diberikan tanda bandana agar diperlakukan khusus. Selama ia hamil pemberi kerja dan rekan kerja telah memberikan perlakuan khusus seperti mengingatkan untuk tidak terlalu lelah. Selain itu, juga ada fasilitas seperti pergi ke bidan, berobat, dan waktu istirahat setelah melahirkan (maternity leave) selama 3 bulan. Menurut Evie cuti melahirkan selama 3 bulan sudahlah cukup jika Hari Perkiraan Lahir (HPL) tidak mundur. Namun jika HPL mundur maka waktu cuti seharusnya bisa ditambah dikarenakan bayi yang masih terlalu kecil. Menurut Evie, situasi tempatnya bekerja perlu mempertahankan situasi saat ini, jika bisa ditingkatkan kembali. Sedikit saran darinya, “Pimpinan perlu memberikan waktu memerah ASI (Pumping) lebih lama karena jika ada yang ASI-nya susah keluar pasti panik kalau diberikan waktu pumping yang sangat singkat. Terkadang pimpinan tidak mengerti situasi-situasi semacam itu,” pungkas Evie. Kisah terakhir adalah tentang Seetha (36) seorang pekerja pabrik garmen dari Bangalore, India. Menurut Seetha dalam industri garmen terdapat target produksi yang tidak realistis dan untuk kesalahan kecil hukumannya sangat tidak manusiawi. Dengan kondisi demikian, Seetha dan rekan-rekannya mengalami gangguan kesehatan seperti leg pain, back pain, insomnia, stres, pusing, dan siklus menstruasi yang berantakan. Seetha mengaku bahwa pemberi kerja menyediakan dokter dan suster. Namun gangguan kesehatan tetap terjadi. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi target produksi banyak pekerja yang menahan buang air kecil. Kondisi kesehatan diperparah karena kondisi kamar mandi yang kotor dan gelap. Hasilnya banyak dari pekerja yang mengalami alergi. Bagi Seetha untuk menunjang produksi yang maksimal manajemen pabrik harus berpihak pada kesehatan pekerja. Keempat kisah diatas merupakan cerminan masih minimnya keberpihakan pemberi kerja pada kesehatan pekerja. Dengan benyaknya diskusi dan pemaparan kisah pekerja seperti ini diharapkan dapat mampu mendorong perhatian pemberi kerja dan pemerintah untuk menyediakan fasilitas dan kebijakan yang pro terhadap kesehatan pekerja. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |