Merespons KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang berlangsung dari 9-11 Mei 2023, perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Kawasan ASEAN menggelar Regional Strategic Gathering ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum (ACSC/APF) pada 5-7 Mei yang berlokasi di Jakarta. Pertemuan ini memiliki tujuan yaitu menyatukan kekuatan guna mendesak pentingnya partisipasi OMS dalam rangka Indonesia sebagai pemimpin di agenda ASEAN tahun ini. Pertemuan ini juga menjadi kesempatan bagi OMS untuk merencanakan serta menyusun strategi konferensi ACSC/APF yang akan berlangsung pada 1-3 September 2023, menyambut KTT ASEAN ke-43 mendatang. Komite ACSC/APF 2023 dihadiri oleh beberapa perwakilan dari berbagai negara ASEAN. Indonesia diwakilkan oleh anggota-anggota National Organizing Committee (NOC), yaitu Nono Sugiono (Arus Pelangi), Daniel Awirga (Human Rights Working Group—HWRG), Listyowati (Kalyanamitra), Fatia Maulidyanti dan Nadine (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan—KontraS). Hadir juga perwakilan dari NOC lainnya, seperti Faribel Fernandez (Malaysia), Raquel Castillo (Filipina), Soe Min Than (Singapura), Kornkanok Khumta (Thailand), Dong Huy Cuong (Vietnam), Iznan Tarip (Brunei), Amphone Souvannalath (Laos), Fernando AT Ximenes (Timor Leste), dan Seng Reasey (Kamboja).
Sebagai badan yang mengklaim “berpusat pada rakyat”, ASEAN gagal menangani persoalan rakyatnya, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak, pekerja dan pekerja migran, nelayan, penyandang disabilitas, petani, pembela HAM, komunitas LGBTQIA+, serta gagal menggandeng masyarakat sipil dalam agenda ASEAN. Dalam KTT yang akan datang, sangat disayangkan, pemerintah Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 masih mengesampingkan suara masyarakat sipil, padahal salah satu agendanya adalah pembahasan perkembangan komunitas ASEAN dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri. Meskipun ASEAN pada awalnya mengakui nilai juga peran ACSC/APF—seperti yang ditunjukkan dalam cetak biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC)—menyerukan untuk “Mengeksplorasi cara terbaik untuk dialog, konsultasi, dan kerja sama yang efektif antara ASEAN dan Masyarakat Sipil ASEAN,” ruang bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan keprihatinan telah terbatas dan menyusut. Bahkan di bawah kepemimpinan Indonesia untuk ASEAN tahun ini, situasinya tidaklah membaik. Pengesampingan keterlibatan OMS dalam KTT ASEAN mencerminkan melemahnya demokrasi dan menyusutnya ruang sipil di kawasan Asia Tenggara. Berbagai penilaian yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa ruang sipil di negara-negara ASEAN terus menghadapi tantangan mulai dari meningkatnya otoritarianisme, militerisme, hingga dampak pandemi COVID-19. Upaya membungkam suara rakyat terus dilakukan oleh otoritas maupun oligarki. Menjelang KTT ASEAN di Labuhan Bajo, Polri memanggil dua warga sipil, Dominikus Safio dan Viktor Frumentius, terkait rencana protes atas ganti rugi rumah dan pembebasan lahan untuk proyek jalan. Kejadian ini menambah daftar kekerasan terhadap kebebasan sipil di Indonesia yang belum terselesaikan, termasuk kriminalisasi pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Keduanya tersebut harus berurusan dengan tuntutan pidana atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, hanya karena menyuarakan keprihatinan mereka terkait perlindungan hak kebebasan berekspresi di Indonesia. Sementara itu, pelanggaran HAM yang brutal terus kita saksikan di Kawasan ASEAN. Bulan lalu, pada 11 April 2023, di Myanmar, rezim militer juga meluncurkan serangan udara paling mematikan terhadap warga sipil. Serangan ini menewaskan sedikitnya 170 orang yang tengah merayakan pembukaan balai komunitas. Tindakan keras juga terjadi di Kamboja, di mana pemerintah menutup media independen. “Inilah mengapa kami, kelompok masyarakat sipil dari berbagai negara di Asia Tenggara, hari ini hadir untuk bergandengan tangan dan berdiri bersama membela HAM dan demokrasi, dengan semangat solidaritas di SEA,” ujar Daniel Awigra, selaku Perwakilan NOC Indonesia untuk Pengarah Regional Komite. Hanya dengan partisipasi penuh masyarakat sipil dalam agenda ASEAN, termasuk agenda pertemuan antarmuka masyarakat sipil dengan para pemimpin ASEAN, KTT dapat dianggap sebagai langkah sukses untuk menjadi platform yang berorientasi pada manusia. Indonesia memainkan peran penting dalam memastikan hal ini. Sebagai negara yang dianggap paling demokratis di kawasan, Indonesia harus menjamin kebebasan berekspresi dengan menjadi role model bagi negara anggota ASEAN lainnya dengan tidak membungkam suara-suara kritis. Posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 juga kritis. Hal itu terjadi di tengah pemulihan ekonomi global pascapandemi yang menanjak saat menghadapi krisis global multidimensi, termasuk resesi ekonomi, ketidakadilan iklim, dan ketidakstabilan kawasan. Sifat keterbukaan di Indonesia dapat menjadi peluang bagi OMS di daerah untuk menyuarakan keprihatinan rakyatnya, mulai dari penderitaan massa hingga masyarakat yang termarjinalkan. Singkatnya, Indonesia memainkan peran penting dalam menetapkan proses pengembangan dokumen kunci ASEAN, termasuk Visi ASEAN Pasca 2025. Indonesia sebagai Ketua dari ASEAN 2023, harus benar-benar menerima tawaran untuk bergabung dengan pengalaman dan perspektif kolektif kita untuk memperkuat visi tersebut dan memastikan keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan guna bekerja sama mengatasi tantangan saat ini dan masa depan. (Alfiyah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |