Tidak bisa dipungkiri, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) masih mengintai perempuan di ruang digital. Menurut UN Women, KBGO adalah berbagai macam kekerasan yang dilakukan menggunakan teknologi. Tindakan seperti menyebarkan foto sensitif seseorang, melontarkan komentar merendahkan, hingga terus menerus menelepon atau mengirimkan pesan berintensi seksual menjadi beberapa bentuk KBGO. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI) 2023 sekaligus menanamkan kesadaran akan bahaya KBGO, Isentia Jakarta mengadakan webinar dengan tema “Kekerasan Berbasis Gender Online” pada Jumat (10/3/2023) lalu. Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku staf Redaksi Jurnal Perempuan menjadi narasumber tunggal dalam kegiatan ini. Dalam pembukanya, Daru menyampaikan KBGO cenderung lebih banyak terjadi pada perempuan, sebab masyarakat patriarki yang gemar menargetkan perempuan sebagai objek. Perempuan juga dilihat sebagai kelompok subordinat atau kelompok yang lebih lemah. Hal ini tercermin dari Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2022 dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang mendokumentasikan 388. 496 kasus kekerasan berbasis gender (KGB) terhadap perempuan. Angka yang sangat besar itu belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan oleh korban atau saksi.
Selanjutnya, Daru menjelaskan apa itu cyberflashing sebagai salah satu bentuk KBGO yang marak terjadi. Cyberflashing mencakup cyberstalking (penguntitan secara digital), doxing (penyebarluasan identitas personal di internet), mengambil foto tanpa izin, pencurian identitas, ungkapan kebencian terhadap suatu gender, online grooming (mendekati anak di bawah umur dengan tendensi seksual melalui internet), dan lainnya. Tipe kejahatan seperti ini, sayangnya, kerap dianggap tidak serius karena tidak terjadi secara langsung atau fisik. Salah satu kesalahpahaman awam atas KBGO mencakup anggapan bahwa korban KBGO justru mendapat pujian atas kecantikannya. Fenomena akun kampus cantik menjadi contohnya. Akun kampus cantik kerap memuat foto perempuan yang dinilai ‘cantik’ tanpa persetujuan dari korban, mengunggahnya di akun tersebut secara publik, dan memberikan identitas personal korban. Tidak jarang, korban mendapat serangan seksual setelahnya, seperti mendapat pesan bernada seksual, identitas dan fotonya dicuri dan diseksualisasi, hingga menjadi korban cyberstalking selama berbulan-bulan. KBGO menimbulkan dampak buruk bagi korbannya. Secara sosial dan psikologis, korban akan selalu disalahkan. Jejak digitalnya pun akan sulit hilang. Akibatnya, korban akan selalu dieratkan dengan seksualisasi dan objektivikasi terhadap dirinya. Secara ekonomi, banyak sekali perempuan korban KBGO yang mata pencariannya terputus atau dipecat karena dinilai sebagai perempuan tidak baik. KBGO juga menjadi alat pembungkaman. Modusnya, melalui ancaman, seperti foto pribadi korban akan disebarluaskan di media sosial. Salah satu dampak yang ekstrem mengarah pada femisida, Daru menekankan. Unggahan media sosial seorang perempuan bisa menjadi pemicu percobaan pembunuhan terhadap korban. Beberapa kasus juga menunjukkan perempuan korban KBGO terdorong untuk bunuh diri karena stres dan tekanan sosial yang tak kunjung usai. Dengan kompleksnya kasus KBGO terhadap perempuan, bagaimana cara kita melaporkan kejahatan tersebut? Daru menyampaikan, langkah awal yang harus dilakukan adalah mendokumentasikan bukti digital KBGO. Bisa dengan menyimpan melalui tangkapan layar (screenshot). Selanjutnya, Daru menyarankan melaporkan kejadian ke sekolah, kantor, atau kepolisian. Terakhir, korban dapat memblokir pelaku KBGO dari seluruh kanal media sosialnya. Korban dapat meminta pendampingan dari keluarga, pasangan, teman, insitusti, maupun beberapa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mengawal kasusnya. Tentunya, kondisi keamanan digital di Indonesia kini belum mampu memberikan perlindungan maksimal bagi perempuan. Untuk meningkatkan keamanan diri, Daru menyarankan audiens untuk menciptakan kata sandi media sosial yang kuat, memisahkan penggunaan aplikasi personal dan publik, mewaspadai spam yang masuk, menyaring informasi yang dibagikan di ruang digital, dan mendetoks penyimpanan data digital atau cloud secara berkala. Dalam diskusi kali ini, banyak pertanyaan yang diajukan untuk Daru. Terdapat salah satu pertanyaan yang menarik, yaitu mempertanyakan bagaimana bila pelaku KBGO adalah anak di bawah umur? Daru menjawab, “Harus tetap dihukum dan bisa dilakukan rehabilitasi terhadap pelaku.” Hal ini diperlukan untuk mengoreksi tindakan anak tersebut. Selain itu, netizen dapat membantu dan melindungi korban dengan cara mengirimkan pesan dukungan untuk korban. Cara lainnya adalah dengan melaporkan konten atau komentar yang menyerang perempuan. Status anak di bawah umur tidak seharusnya membebaskan pelaku dari penindakan yang berperspektif korban. Di akhir sesi, Daru menyampaikan bahwa kita, sebagai orang-orang yang teredukasi, harus menjadi ruang aman bagi perempuan, baik di ruang nyata maupun ruang maya. Bila kita tidak membentuk perlindungan akar rumput, kekerasan akan terus menerus menjadi kultur normal di masyarakat. HPI dapat menjadi momen perempuan, kelompok LGBTQ+, kelompok marjinal, dan para sekutu untuk mengarusutamakan keadilan gender pada masyarakat Indonesia. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |