Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) melaksanakan acara Potret Keadilan Iklim di Akar Rumput pada Jumat (4/11/2022) lalu. Acara ini berlangsung secara bauran, yaitu daring melalui Zoom dan luring di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan. Acara ini mengundang lima narasumber, yaitu Muhammad Firdaus (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro – ASPUKK), Nuraeni (Pendamping Perempuan Nelayan), Reti (Buruh Tani Darim Indramayu), Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan) dan Jaro Ruhandi (Perwakilan Masyarakat Adat Banten). Diskusi dipandu oleh Jakson Simanjuntak (Tim Media ASPPUK) sebagai moderator. Acara ini dibuka oleh Said Abdullah, Koordinator Nasional KRKP, yang menjelaskan mengenai krisis pangan dalam skala global, resesi COVID-19, dan perang. Said mengingatkan mengenai krisis iklim yang berdampak pada produsen pangan di Indonesia. Krisis iklim dirasakan langsung oleh petani dan buruh tani ketika mengalami gagal panen akibat serangan hama, banjir, dan kekeringan. Jika ini terjadi, maka perempuan akan mengalami beban ganda. Mereka harus keluar desa untuk mencukupi kebutuhan pangan dan tetap mengerjakan pekerjaan produktif dan reproduktif.
Pemaparan pertama mengenai krisis iklim dan dampaknya disampaikan oleh Reti, yang merupakan petani di Dusun Darim, Indramayu. Reti menjelaskan, awalnya para petani di Indramayu dapat menanam dan memanen padi dua kali dalam setahun (Musim Tanam 1 dan 2). Namun sekarang, Reti dan petani lainnya hanya bisa menanam dan panen padi pada musim tanam satu (MT1). Hasil menanam padi pada MT2 tidak sebanyak MT1 karena kekurangan air, banjir, hama, dan biaya penanam yang mahal. Menurut Reti, dampak iklim yang mempengaruhi hasil panen membuat perempuan beradaptasi untuk mencari penghasilan dan penghidupan yang lain. Reti dan keluarganya tidak bisa mengandalkan hasil panen saja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi dan sehari-hari. Sehingga dia menanam sayuran dan kebutuhan sehari-hari di halaman rumah dan sawahnya. Selain itu, dia juga ikut membuat bros yang dikelola oleh tetangganya. Narasumber kedua, yaitu Muhammad Firdaus dari ASPPUK, menjelaskan mengenai kondisi perempuan dalam industri kelapa sawit. Firdaus menjelaskan bahwa banyak riset menunjukkan bahwa industri kelapa sawit adalah industri yang “macho” atau maskulin. Industri kelapa sawit didominasi oleh laki-laki dalam akses, kontrol, dan jumlah pekerjanya. Industri kelapa sawit mereplikasi kondisi yang tidak adil gender dalam masyarakat. Hal ini tercermin dalam jumlah pekerja perempuan yang kecil, perbedaan upah dan perbedaan jam kerja. Firdaus melihat bahwa dalam industri kelapa sawit terjadi kekerasan berbasis gender yang merugikan perempuan. Maka diperlukan kepemimpinan perempuan (women agency) dalam industri kelapa sawit, agar mereka dapat bernegosiasi dengan perusahaan dan masyarakat. Perempuan membutuhkan alternatif penghidupan lain dan butuh memasukkan nilai-nilai keadilan gender dalam industri kelapa sawit. Atas hal itu, Firdaus bersama ASPPUK mendampingi ibu-ibu untuk peningkatan ekonomi, kepemimpinan, dan menumbuhkan pemikiran kritis mereka. Jaro Ruhandi sebagai perwakilan masyarakat adat menjadi narasumber selanjutnya. Dia menjelaskan bahwa sesepuh masyarakat adat Banten pernah mengatakan, “Nasi satu bakul sama harganya dengan emas satu bakul”. Hal ini menjelaskan betapa pentingnya ketahanan pangan dalam masyarakat adat. Bertani adalah tradisi mereka. Namun, perubahan iklim dan zaman membuat masyarakat adat mencari penghidupan lain seperti bekerja di kota dan menambang. Semakin sedikit masyarakat adat yang bertani dan beternak. Firdaus bersama masyarakat adat Banten berusaha mengembalikan tradisi mereka dan mendorong masyarakat adat untuk aktif bertani dan beternak. Dia membuat komunitas petani muda dan melakukan pemetaan desa. Mereka mengolah kembali lahan yang ditinggalkan dan memaksimalkan potensi sumber daya alam tanpa merusaknya. Mereka memiliki mimpi untuk membuat pasar sendiri, tempat belajar, dan koperasi sendiri untuk menguatkan ketahanan pangan dan dalam merespons krisis iklim. Selanjutnya, Nuraeni sebagai pendamping perempuan nelayan menjelaskan perubahan iklim dan strategi yang dilakukan perempuan nelayan untuk beradaptasi. Dia membentuk kelompok perempuan nelayan karena prihatin pada istri nelayan dalam merespon perubahan iklim. Serupa dengan kondisi Reti dan para petani, para nelayan memiliki perhitungan yang mudah untuk mencari tangkapan di laut. Dulu, ada masa 15 hari pencarian ikan dan 15 hari masa terang bulan, tetapi sekarang musim dan angin tidak bisa diprediksi. Mereka juga membutuhkan bahan bakar perahu yang lebih mahal karena letak ikan jauh dari bibir pantai. Hasil tangkapan dan musim yang tidak pasti membuat para istri nelayan harus beradaptasi. Nuraeni mendorong istri nelayan untuk mengelola hasil tangkapan ikan suami agar bernilai ekonomi yang lebih baik. Dia memberi pelatihan pada istri nelayan untuk mengelola hasil-hasil laut menjadi olahan ikan tuna, bakso, nugget, pengolahan abon, dan lainnya. Hal ini dilakukan agar mereka tidak bergantung pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan tengkulak. Nuraeni juga mendorong nelayan untuk menangkap ikan dengan cara yang aman, berkelanjutan, dan tidak merusak. Abby Gina dari Jurnal Perempuan menjadi narasumber terakhir. Abby merefleksikan pengalaman dari keempat narasumber, terutama pada Reti yang mengalami langsung dampak perubahan iklim. Pada dasarnya, perempuan memiliki posisi yang rentan dalam mengakses pendidikan, pekerjaan dan nilai-nilai yang membatasi perempuan. Dalam merespons krisis iklim perempuan semakin mengalami ketidakadilan gender yang berlipat. Menurutnya, keadilan iklim tidak dapat diperoleh tanpa keadilan gender. Krisis iklim adalah permasalahan global yang dapat dilihat dengan perspektif feminis, yaitu interseksional. Kebijakan dan bantuan yang diberikan pada kelompok rentan, terutama di akar rumput. Sekalipun semua perempuan mengalami dampak krisis iklim serupa, tetapi kebutuhan setiap perempuan akan berbeda-beda dan tidak bisa disamakan posisinya. Jurnal Perempuan sendiri pernah meneliti mengenai orang-orang yang terdampak secara ekonomi karena krisis iklim maupun pandemi. Didapati bahwa praktik resiliensi setiap perempuan berbeda-beda, tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi yang berlapis-lapis. Hal ini mengancam hak kesehatan reproduksi perempuan dan mereka akan menanggung beban yang lebih berat dalam merespons krisis iklim. Pemaparan dari kelima narasumber menunjukkan bagaimana dampak krisis iklim dapat memengaruhi penghidupan perempuan, yaitu terkait perubahan pekerjaan dan peran, membuat perempuan mengalami beban yang semakin berlipat, dan membuat mereka harus beradaptasi dan membangun resiliensi. Krisis iklim mengancam kesehatan reproduksi perempuan karena air bersih yang susah didapatkan, serta mengancam ketahanan pangan dalam keluarga. Atas hal itu, dibutuhkan pembangunan pemahaman atas dampak krisis iklim terutama pada perempuan. Demikian, masyarakat dapat membangun ketahanan dan resiliensi, dengan tetap mengutamakan perspektif dan peran perempuan. (Wanda Roxanne) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |