Menilik Pentingnya Rekognisi atas Kontribusi Pekerja Perempuan pada Sektor Sawit dan Perikanan19/3/2024
Pada Jumat (15/3/2024), Oxfam Indonesia menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk Valuing Women’s Work for More Inclusive Agri-food Value Chain. Penyelenggaraan diskusi publik yang berfokus pada upaya mendorong transformasi gender dalam rantai nilai sektor sawit dan perikanan ini, selaras dengan peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret lalu. Acara yang diadakan di Kala di Kalijaga, Jakarta Selatan ini menghadirkan beragam perspektif untuk menyingkap ketidakadilan terselubung terhadap perempuan di kedua sektor tersebut, yang menyumbang tingkat perekonomian utama negara. Dimoderatori oleh Abby Gina Boang Manalu (Direktur Yayasan Jurnal Perempuan), acara ini menghadirkan sejumlah narasumber yang diundang antara lain, Dati Fatimah (Peneliti dan Konsultan gender), Tatat (Oxfam Indonesia), Dewi Kartika (Konsorsium Pembaruan Agraria), dan Ari Wibowo (International NGO Forum on Indonesian Development--INFID).
Abby Gina Boang Manalu membuka diskusi dengan menyoroti kerentanan yang dialami oleh perempuan pekerja pada sektor sawit dan perikanan. Dati Fatimah menyambut keresahan itu secara mendalam dengan menggambarkan perihal isu-isu gender dan rantai nilai. Dirinya mengamati bahwa perempuan dan laki-laki tidak mendapatkan akses dan manfaat yang setara dari kontribusi mereka. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laki-laki terkonsentrasi pada posisi yang berstatus lebih tinggi dan lebih berupah karena mereka pada umumnya menguasai lahan, sementara perempuan mendominasi sebagai buruh harian di argoindustri. Menariknya, Dati juga menyoroti perihal persoalan rekognisi atas kerja pekerja perempuan ini. “Laki-laki dan perempuan mungkin berbagi peran, tetapi ketika mendapatkan pengakuan sebagai nelayan misalnya, itu akan jatuh kepada laki-laki sebagai kepala keluarga dibandingkan perempuan,” ungkap Dati dalam memaparkan perihal ketimpangan gender di sektor ini. Tatat pada sisi lainnya menyoroti kerja-kerja informal yang banyak dilakukan oleh perempuan. Baginya, pekerja perempuan banyak berkecimpung pada sektor informal, seperti kerja-kerja perawatan dan pekerjaan kasar yang seringkali tidak terhitung sebagai bagian dari pekerjaan formal. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan rekognisi dan perlindungan atas hak-hak mendasarnya. Di samping itu, kontribusi mereka terhadap perekonomian juga tidak terhitung pada konteks ini. Tatat menegaskan perlunya mengubah pandangan terhadap pekerjaan informal perempuan dengan mengakui nilai dan dampaknya dalam perekonomian secara menyeluruh. “Menghargai kerja perempuan bukan hanya kita menghargai kehadiran nelayan, petani, dan sebagainya. Namun, mendorong perekonomian itu bermanfaat bagi semua orang, tidak hanya pemilik modal,” tegas Tatat. Dewi Kartika pada gilirannya menyoroti kerentanan perempuan petani, perempuan masyarakat adat, dan perempuan nelayan dalam menghadapi tantangan mempertahankan tanah mereka ketika konflik agraria. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri sawit di Indonesia selalu menjadi penyumbang konflik agraria yang paling signifikan. Konflik yang seringkali terjadi karena adanya kebijakan dan proses pembangunan yang tidak inklusif bagi masyarakat adat ini seringkali membuat perempuan berada pada posisi rentan. Mereka tidak hanya menjalani peran ganda dalam kerja-kerja domestik dan perkebunan, tetapi juga harus berjuang melawan aparat kepolisian demi mempertahankan tanah yang mereka telah tinggali selama bertahun-tahun. “4 Perempuan sepanjang tahun 2023 dianggap sebagai kriminal atas tuduhan merusak, mencuri, dan melakukan aktivitas ilegal. Padahal, mereka sudah menghidupi tanah itu bertahun-tahun,” tegas Dewi. Pada akhir paparannya, Dewi menekankan bahwa situasi agraria tersebut akan memengaruhi rasa aman dan nyaman perempuan. Untuk itu, diperlukan upaya dalam melindungi dan mengakui hak-hak mereka, termasuk menciptakan ruang yang aman bagi perempuan dalam melakukan produksi pertanian. Narasumber terakhir, Ari Wibowo, menambahkan perihal tantangan dan peluang untuk mendorong aspek gender dalam Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Dirinya mengamati kompleksitas tantangan yang diperkirakan muncul, seperti melemahnya komitmen kebijakan dan regulasi pasca dinamika pemilu, hingga kurangnya kontrol dan partisipasi masyarakat. Meskipun begitu, beberapa strategi yang telah diusulkan seperti melakukan pengembangan regulasi dan panduan yang mendukung perlindungan dan penghormatan HAM, peningkatan pemahaman, kapasitas, promosi bisnis dan HAM bagi semua pemangku kepentingan, hingga penguatan mekanisme pemulihan yang efektif bagi korban dugaan pelanggaran HAM dalam praktik kegiatan usaha. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hak asasi manusia secara menyeluruh dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih adil dan inklusif. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |