Pada Jumat (29/9/2023) lalu, Komnas Perempuan menggelar acara diskusi publik dalam rangka melakukan telaah atas Resolusi A/HRC/RES/53/1 tentang Menentang Kebencian Berbasis Agama yang Memuat Penghasutan untuk Melakukan Diskriminasi, Permusuhan serta Tindakan Kekerasan. Acara yang dimoderatori oleh Triana Komalasari ini dihadiri oleh lima narasumber, yaitu Febrian A. Ruddyard (Perutusan Tetap RI Geneva), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia), Ismail Hasani (Direktur Setara Institute), Dewi Kanti (Komisioner Komnas Perempuan), dan Siti Ruhaini Dzuhayatin (Aktivis HAM). Acara ini Diawali dengan sambutan dari Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan). Andy menyatakan bahwa dirinya selalu memberikan salam dengan salam Nusantara yang bhineka. Salam tersebut dilakukan sebagai pengingat bahwa Indonesia adalah bhineka.
“Masih ada banyak agama atau kepercayaan yang tidak diakui di negara kita dan salam Indonesia Bhineka dapat mewakili kemajemukan Masyarakat di Indonesia,” ujar Andy. Selanjutnya Andy menyampaikan bahwa sejak tahun 2005 Komnas Perempuan telah menerima banyak laporan kekerasan akibat dari tindakan intoleransi minoritas beragama dan Komnas Perempuan mengamati bahwa jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti, intoleransi akan terus menajam. “Diskusi publik tentang resolusi A/HRC/RES/53/1 kita lakukan guna melihat dampak pelaksanannya ke depan secara global maupun relevansinya di Indonesia, khususnya dampak pada hak-hak perempuan,” tegas Andy. Selanjutnya sebagai narasumber pertama Febrian A. Ruddyard selaku Wakil tetap RI untuk PBB menyatakan bahwa Resolusi A/HRC/RES/53/1 yang kemudian disebut Resolusi 53/1 diadopsi oleh PBB untuk merespons insiden pembakaran kitab suci Alquran di beberapa negara di belahan dunia, tetapi yang paling disoroti adalah insiden di Swedia. Adapun mandat Resolusi 53/1 ada tiga poin yakni: 1) Mengutuk dan menolak keras advokasi dan manifestasi kebencian agama, termasuk pembakaran AlQuran di depan Publik dan menekankan pentingnya para pelaku diproses hukum; 2) Seruan kepada negara-negara untuk mengadopsi aturan hukum dan kebijakan untuk mengatasi, mencegah, dan mengadili aksi kebencian agama yang memicu diskriminasi dan kekerasan; dan 3) Mendesak Komisioner Tinggi HAM PBB dan Special Procedures Dewan HAM untuk bersuara melawan aksi kebencian agama, termasuk pembakaran kitab suci, serta memberikan rekomendasi untuk atasi fenomena ini. “Dalam membuat Resolusi dan meyakinkan kami membutuhkan setidaknya 1/3 persetujuan dari seluruh anggota Dewan HAM,” pungkas Febrian. Dalam proses pemungutan suara terdapat 28 negara mendukung, 12 negara menolak, dan 7 negara abstain, dan yang mengejutkan adalah negara yang abstain hingga menolak adalah negara-negara champion dari HAM. Kemudian Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International) menyampaikan bahwa dalam konteks resolusi dewan HAM 53/1 ada begitu banyak kontroversial. Negara-negara Uni Eropa banyak yang menolak resolusi tersebut karena bertentangan dengan konvensi kebebasan berekspresi di negaranya. Walaupun di sisi lain pemeriksaan pada 12 negara yang menolak dan 7 yang abstain juga perlu dilakukan. “Fenomena pembakaran Alquran ini mengkhawatirkan masa depan keselarasan kehidupan umat beragama, bahkan fenomena tersebut juga dijadikan alasan Turki untuk menolak negara Skandinavia (Swedia dan Finlandia) bergabung dengan NATO,” tegas Usman. Sementara itu, Ismail Hasani (Direktur Setara Institute) menyampaikan tanggapannya tentang Resolusi 53/1 bahwa Resolusi ini akan menjadi bola panas tergantung dari ekosistem yang menerimanya. Dalam konteks Indonesia yang perlu diperhatikan adalah kelompok penghayat kepercayaan sebab pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyaninan (KBB) kian meningkat. Tentu fenomena ini tidak terlepas dari menguatnya populisme baik dari kanan maupun kiri. “Gagasan tindak lanjut untuk memerangi intoleransi kelompok beragama adalah memastikan resolusi 53/1 dijalankan secara akuntabel di tingkat global, didukung kerja monitoring, dan memastikan tata kelola pemerintahan yang inklusif di tingkat nasional,” ungkap Ismail. Melalui perspektif perempuan korban Dewi Kanti (Komisioner Komnas Perempuan) memaparkan keterkaitan antara kekerasan berbasis agama dengan kerentanan terhadap perempuan. Menurut Dewi, kriminalisasi pada perempuan kerap terjadi karena kerentanan berlapis yang dialami oleh perempuan. Dalam konteks kasus intoleransi terdapat beberapa kasus kriminalisasi perempuan seperti kasus Lia Eden yang dipidana dengan penodaan agama selama 2 tahun (2006) dan 2,5 tahun (2008), kasus Meliana (2018) karena mengeluhkan suara azan, kasus Suzethe Margaret (2020) perempuan yang membawa anjing ke dalam Masjid, Silfi Latifah (2022), Ayu Ariestyana (2023) sebagai pengikut Gafatar, dan masih banyak lainnya. “Dalam rangka memperkuat resolusi 53/1 perlu ada pendalaman akar persoalan pada kebencian terhadap agama dan juga perlu mempelajari kondisi empirik pengalaman khas perempuan minoritas agama atau kepercayaan menghadapi intoleransi untuk memerangi kriminalisasi perempuan,” pungkas Dewi. Menurut Dewi adanya resolusi 53/1 dapat dijadikan momentum untuk kita semua membuka ruang dialog bagi isu minoritas agama yang selama ini kasusnya belum bahkan sulit terselesaikan. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama, yang hendaknya dilakukan oleh Organisasi Masyarakat Sipil dengan dukungan penuh dari pengampu kebijakan. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |