Saat ini, proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masih berlangsung dan perlu terus dikawal. Salah satu alasannya agar sistem yang selama ini tidak berjalan dapat akhirnya berjalan. Para pejuang HKSR di Indonesia melihat bahwa sejak disahkannya Undang-Undang Kesehatan tahun 2009, yang semestinya melindungi hak aborsi bagi mereka yang berhadapan dengan perkosaan dan indikasi medis, nyatanya sampai sekarang sistem perlindungan itu tidak dijalankan. Faktor yang memengaruhi tidak berjalannya sistem tersebut di antaranya adalah batas aborsi dalam waktu 6 minggu yang tidak aplikatif. Untuk memastikan proses revisi kebijakan ini sehingga lebih mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan, Save All Women and Girls (SAWG) mengadakan konferensi pers dengan judul “Menelisik Pembahasan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Korban Kekerasan Seksual dan Kelompok Rentan dalam Polemik RUU Kesehatan” pada Jumat, (2/6/2023) di lantai 2 Kedai Tjikini, Jakarta. Konferensi pers dimoderatori oleh Frenia Triasiholan Aesthetika Devi S. Nababan dan menghadirkan tiga pembicara, yaitu Ika Ayu Kristianingrum (Direktur Perkumpulan Samsara), Ratna Batara Munti (Direktur LBH APIK), dan Mitra Kadarsih (Bidan dan HSS Specialist IPAS Indonesia). Ika Ayu memulai dengan pembahasan mengenai kondisi lapangan yang menunjukkan perlunya merevisi batas aborsi dalam UU Kesehatan dari 6 minggu menjadi 14 minggu. Hal ini dinilai perlu untuk memastikan korban memiliki waktu cukup untuk memahami tanda-tanda kehamilan dan melalui proses visum. Selain itu, disebutkan pula bahwa hak perlu diberikan tidak hanya pada kasus perkosaan, tetapi pada kasus kekerasan seksual dan kedaruratan medis. Ratna Batara Munti menyambung, ia mengatakan bukan hanya perkosaan bentuk kekerasan seksual yang melibatkan persetubuhan. Ia juga menyebutkan bahwa terlepas dari pro dan kontra seputar revisi, yang perlu diingat bahwa korban kekerasan seksual tidak dapat menunggu. Revisi perlu dilakukan dan diharmonisasikan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, sehingga betul-betul melindungi hak pemulihan korban kekerasan seksual. Mitra Kadarsih kemudian memberi pemaparan mengenai penguatan layanan primer. Menurutnya, dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan dengan karakteristik masyarakat yang beragam, revisi undang-undang perlu diperhatikan agar lebih akomodatif. Ia menegaskan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi di Indonesia merupakan indikator mutlak yang menunjukkan masalah dalam pembangunan dan kesetaraan gender di negara ini. Ia menjelaskan bahwa RUU Kesehatan harus transformatif dengan melakukan penguatan pelayanan primer sehingga layanan kesehatan yang adil dan merata di seluruh Indonesia dapat terwujud. Perlu dipastikan sistem delegasi layanan sehingga di pulau kecil pun terdapat dokter yang telah diberikan pelatihan terkait. Pada sesi tanya jawab, terdapat pertanyaan mengenai penanganan pada kasus korban yang merupakan penyandang disabilitas, dan bagaimana menjamin undang-undang baru akan betul-betul diimplementasikan. Mengenai korban dengan disabilitas, Ika Ayu dan Mitra setuju bahwa keputusan mengenai kehamilan hanya boleh ditentukan oleh yang mengalami kehamilan. Meskipun kenyataannya selama ini tidak seperti itulah yang terjadi. Pembahasan ini terkait dengan revisi yang diharapkan memperlakukan pasien, secara spesifik perempuan, sebagai subjek yang perlu diajak bicara dan dipahami kebutuhannya.
Kemudian Mitra menyampaikan gagasan penting terkait implementasi kebijakan baru dalam kasus anak korban kekerasan seksual. Ia menyebutkan bahwa anak semestinya juga diberikan akses aborsi atas dasar indikasi medis, sebab secara medis berbahaya bagi anak untuk hamil dan melahirkan. Ratna menyampaikan gagasan yang tak kalah pentingnya: semestinya pihak-pihak yang menghalangi akses layanan bagi korban diberi sanksi hukum, demi memastikan betul-betul diimplementasikannya aturan ini. Para pembicara juga tak lupa mengingatkan kepada wartawan yang datang untuk mengedukasi masyarakat mengenai urgensi RUU Kesehatan ini bagi korban kekerasan seksual, dan mematahkan misinformasi bahwa revisi ini hendak “meliberalisasi aborsi”. Saat stigma terus berupaya menggempur perjuangan, yang harus kita lakukan hanyalah terus melawannya. Itulah yang dapat saya simpulkan dari diskusi hari itu. Ketika kebijakan dan segenap sistem implementasinya tak kunjung mengakomodasi kebutuhan perempuan dan kelompok rentan, korban akan terus menjadi korban lagi karena hak pemulihannya tidak diberikan. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |