Mendukung Implementasi terhadap Produk Hukum Indonesia dalam Mengadili Kekerasan Berbasis Gender27/10/2022
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan diskusi melalui Twitter Spaces @KomnasPerempuan pada Senin (24/10/022) lalu dengan judul Gender Based Violence dan Sinkronisasi RKUHP dengan UU TPKS. Twitter Spaces ini mengundang Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) dan Citra Referandum (Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta - LBH Jakarta), yang dimoderatori oleh Andi Pratiwi (Badan Pekerja Komnas Perempuan). Siti Aminah Tardi yang akrab disapa Ami mendapatkan kesempatan pertama yang menjelaskan sejarah dan perkembangan hukum di Indonesia, sejak Indonesia menggunakan produk-produk kolonial Belanda hingga pembentukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Berdasarkan perkembangan pengetahuan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan perkembangan zaman, RKUHP mengalami berbagai perubahan. Komnas Perempuan yang bekerja berdasarkan Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Undang-undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen, mendorong mandat bahwa setiap warga negara Indonesia harus bebas dari diskriminasi. Hal ini juga yang didorong oleh Komnas Perempuan dalam peraturan perundang-undangan agar disusun dengan sensitivitas gender. Selain itu, hendaknya perumusannya tidak menguatkan diskriminasi pada perempuan, terutama melalui Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan RKUHP.
Ada bagian-bagian dari kekerasan seksual yang sudah dibahas di dalam RKUHP dan UU TPKS, sehingga perlu disinkronisasi. Ami menegaskan agar keberadaan UU TPKS khususnya untuk hukum acara dan hak-hak korban semakin dikuatkan dalam RKUHP. Hal tersebut memerlukan diperlukan sinkronisasi. Ada beberapa usulan upaya penguatan yang disarankan oleh Komnas Perempuan. Pertama, yaitu penegasan dalam RKUHP bahwa jenis kekerasan seksual (KS) seperti perkosaan, pencabulan dan persetubuhan, melarikan anak dan perempuan untuk tujuan perkawinan, pemaksaan aborsi dan pemaksaan pelacuran, merupakan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU TPKS. Kedua, Komnas Perempuan mengharmonisasi pengaturan TPKS dalam RKUHP dengan pasal 4 ayat (2) di ketentuan peralihan. Dalam ketentuan peralihan, dinyatakan pasal 404 yang terkait TPKS, sehingga hukum acara dan hak-hak korban tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang melindungi korban TPKS (UU TPKS). Komnas Perempuan juga berharap bahwa perbuatan cabul yang ada di bawah tindak pidana kesusilaan dipindahkan ke dalam tindak pidana tubuh. Istilah kesusilaan itu merupakan perlindungan terhadap masyarakat, bukan pada korban. Sehingga korban rentan mengalami reviktimisasi. Selain itu, Ami menjelaskan bahwa Komnas Perempuan juga merekomendasikan terkait aborsi, yang tidak hanya berlaku bagi korban TPKS yang kehamilannya tidak melebihi 12 minggu dan memiliki kedaruratan medis, melainkan untuk semua korban KS yang membutuhkan. Sinkronisasi KUHP dan UU TPKS menjadi penting untuk hukum acara dan pemenuhan hak-hak korban, karena dalam KUHP belum menjamin hak-hak korban, serta tidak ada perlindungan pada saksi. UU TPKS menjelaskan hak-hak korban dan juga saksi, tetapi juga perlu dipahami bahwa korban jangan hanya ditempatkan sebagai alat bukti atau objek saja, tapi juga sebagai subyek yang kondisi dan kebutuhannya harus dipenuhi. Pemaparan kedua oleh Citra, sebagai pengacara yang mendampingi korban KS dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bersama LBH Jakarta. Citra menjelaskan mengenai revisi KUHP dan refleksi pendampingan hukum yang dilakukan pada korban dan penyintas kekerasan berbasis gender (KBG). Revisi KUHP menjadi berlarut-larut karena tidak ada proses yang transparan dan terbuka selama ini. Prosesnya juga tidak partisipatif karena yang dilibatkan adalah kelompok-kelompok elit dan yang tidak terdampak dalam pasal-pasal RKUHP ini, yang seharusnya melibatkan kelompok miskin, buta hukum dan kelompok yang termarjinalkan. Citra merefleksikan bahwa setelah protes-protes yang dilakukan, baru kemudian Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan DPR melibatkan masyarakat sipil, termasuk Citra yang mewakili LBH Jakarta. Selain itu, ada pasal-pasal dalam living law, atau hukum yang ada dalam masyarakat, yang tidak memiliki indikator jelas. Karena masyarakat Indonesia yang beragam, hukum di setiap daerah dapat berbeda dengan daerah yang lainnya, sehingga implementasinya membuat disparitas atau keberagaman pemahaman. Padahal, hukum tidak boleh menimbulkan disparitas, apalagi jika sanksinya mengikat seperti hukum pidana. Hukum dan sanksinya harus jelas serta tidak menimbulkan multitafsir. Faktanya, Citra menyebutkan riset yang dilakukan oleh Komnas Perempuan bahwa terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif pada perempuan, yang substansinya memperkecil ruang gerak perempuan. Perda-Perda ini ini mengatur larangan bagi perempuan untuk keluar pada malam hari, mengatur cara perempuan berpakaian dan diskriminasi lainnya. Hal yang juga penting yaitu pasal mengenai persetubuhan di luar perkawinan dan hidup sebagai suami-istri yang tidak dalam ikatan perkawinan. Pasal ini akan mengkriminalisasi semua laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam relasi ini, yang bisa diadukan oleh orang tua, pasangan, dan anak. Pasal ini juga dapat menjerat anak-anak karena tidak ada batasan usia pada yang dianggap pelaku. Anak yang berada dalam relasi ini rentan mengalami perkawinan anak, karena ada kemungkinan orang tua akan memilih jalan keluar menikahkan anak mereka yang terlibat persetubuhan. Citra juga mencatat pentingnya merevisi mengenai aborsi yang hanya pengecualian pada korban perkosaan dan yang memiliki kedaruratan medis, tetapi korban KS lainnya seperti pemaksaan pelacuran, korban perbudakan seksual dan eksploitasi seksual juga berhak melakukan aborsi. Seharusnya tidak perlu ada batasan usia kehamilan yang memungkinkan aborsi bagi korban KS, karena tidak semua korban KS yang hamil memahami kondisinya, juga memiliki pengetahuan dan akses untuk mendapatkan keadilan. Apalagi jika korbannya adalah anak-anak. Batasan waktu aborsi dan pembatasan pada korban perkosaan dan yang memiliki kedaruratan medis dapat mengkriminalisasi perempuan korban KS yang melakukan aborsi di luar ketentuan ]undang-undang. Maka, penting dalam sistem hukum di Indonesia untuk memiliki keberpihakan pada korban KS, mulai dari undang-undang yang mengatur, aparat penegak hukum (APH) dan kepolisian yang memproses TPKS. Kelompok minoritas gender dan seksual juga rentan mengalami kriminalisasi karena dalam RKUHP, kekerasan seksual seperti pencabulan memiliki perluasan frasa. Diskriminasi pada kelompok minoritas gender dan seksual membatasi kebebasan mereka untuk berkumpul karena dianggap melakukan pesta seks, sehingga kepolisian melakukan penggerebekan. Hal tersebut membuat keberadaan mereka menjadi tidak aman dan tidak memiliki kebebasan untuk berkumpul. Terdapat banyak rintangan yang dihadapi dalam advokasi kasus-kasus KS dan KDRT, sehingga kebijakan dan implementasi produk hukumnya menjadi terhambat. Hambatan-hambatan itu seperti pasal-pasal yang tidak berpihak pada korban dan sanksi, tidak ada dan tidak meratanya fasilitas dan akses untuk advokasi di tiap daerah, pasal dan ayat yang multitafsir, sistem hukum yang tidak berpihak pada korban, APH yang tidak memiliki perspektif gender dan adanya pemahaman bahwa KS dan KDRT adalah urusan privat. Seluruh sektor hendaknya bahu-membahu untuk memaksimalkan implementasi hukum dan APH yang berperspektif korban. (Wanda Roxanne) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |