Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Riyadh Summit 2020, Indonesia akan memegang presidensi Group of 20 (G20) pada 2022. Salah satu pilar presidensi G20 Indonesia adalah “Memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif”. Inklusivitas menjadi fokus penting presidensi G20 Indonesia, dan hal ini menandakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan slogan “No one left behind”. Inklusivitas mustahil dicapai tanpa mendengarkan suara dari pinggiran. Oleh karena itu, forum “Suara dari Pinggiran: Voice of Voiceless” pada Civil 20 (C20) Summit 2022 melakukan diskusi tentang bagaimana presidensi G20 Indonesia memastikan bahwa tidak seorang pun tertinggal. Dalam forum ini, dibahas mengapa penyandang disabilitas, pekerja migran, perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya harus dibicarakan dalam G20. Forum ini dilakukan secara luring di Nusa Dua, Bali dan juga secara daring, pada Kamis, 6 Oktober 2022 Pukul 08.00-10.00 WITA. Diskusi dimoredatori oleh Wahyu Susilo dari C20 Indonesia. Selama diskusi, terdapat juru bahasa isyarat dan penerjemah Inggris-Indonesia.
Budhis Utami dari Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan mengawali diskusi dengan pembahasan mengenai ketidaksetaraan yang perempuan alami. Ia mengatakan bahwa di situasi normal pun perempuan tidak baik-baik saja, dan bahwa mereka mengalami banyak lapisan diskriminasi. Ia menyebutkan bagaimana perempuan dari kelas atas seperti Lesti Kejora saja bisa mengalami kekerasan, apalagi perempuan miskin. Ia juga membahas bagaimana situasi pandemi semakin menempatkan perempuan di posisi rentan. Misalnya, ada perempuan yang harus mengantri lama untuk mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah sementara suaminya di rumah saja. Selain itu, Budhis menyebutkan bagaimana dalam situasi konflik pun perempuan seringkali menjadi korban pemerkosaan. Ia menjabarkan isu penting yang harus pemerintah perhatikan, yaitu: 1) Masih banyaknya perempuan yang mengalami kemiskinan ekstrem, dan 2) Angka perkawinan anak yang tinggi. Atas paparan tersebut, ia merekomendasikan agar masalah kekerasan perempuan dihubungkan dengan pemiskinan perempuan. Pembicara kedua, Nur Tri Hastuti dari ‘Aisyiyah, membahas tentang kesehatan ibu dan anak serta Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bagi penyandang disabilitas. Ia menyebutkan tiga isu penting yang perlu diatasi, yaitu: 1) Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), 2) HKSR bagi remaja dan penyandang disabilitas, dan 3) Stunting di masyarakat miskin. Ia menyampaikan bahwa kelompok penyandang disabilitas sulit mengakses informasi HKSR, salah satunya karena isu tersebut masih dianggap tabu. Mereka juga sulit mengakses layanan HKSR, yang disebabkan di antaranya oleh tiadanya program prioritas untuk kelompok penyandang disabilitas. Berkaitan dengan HKSR dan inklusivitas, Nur memberikan rekomendasi yaitu agar pemerintah: 1) Meningkatkan layanan reproduksi perempuan sejak hamil sampai nifas, 2) Menyediakan layanan dasar HKSR bagi kelompok disabilitas, 3) Menjadikan pemenuhan HKSR remaja sebagai prioritas negara baik secara kebijakan dan anggaran, dengan implementasi yang inklusif, dan 4) Melakukan upaya pencegahan stunting yang holistik, yaitu melihat apa yang menjadi masalah mendasar. Diskusi dilanjutkan oleh paparan dari Bambang Teguh Karyanto dari Migrant CARE. Bambang membahas pentingnya melihat keterkaitan antara isu pekerja migran dan isu disabilitas. Meskipun sudah ada hukum yang mengatur tentang perlindungan pekerja migran dan kelompok disabilitas, implementasinya belum terlihat secara jelas. Salah satu contoh kasusnya adalah seorang pekerja migran yang menjadi disabilitas di negara rantau dan dipulangkan ke Indonesia, lalu tidak mendapat bantuan sosial saat kembali ke tanah air. “Pekerja migran di-framing sebagai pahlawan devisa, tidak berbanding lurus dengan perlindungannya,” sebutnya. Selain itu, ia juga menyebutkan bagaimana prasyarat “sehat” untuk menjadi pekerja migran pada umumnya mendiskriminasi kelompok penyandang disabilitas dan turut membatasi kesempatan kerja mereka. Ninik Heca dari Sasana Iklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) meneruskan pembahasan mengenai inklusivitas untuk kelompok penyandang disabilitas. Ia menyebutkan bahwa masalah ketenagakerjaan kelompok difabel tidak terlepas dari eksklusi terhadap mereka di berbagai ranah. Pandemimemperparah kondisi ini. Salah satu eksklusi tersebut adalah pada ranah pendidikan, yang ditunjukan dengan angka, yaitu hanya 16% difabel anak dapat mengakses pendidikan dasar, jumlahnya pun semakin menurun di pendidikan menengah dan tinggi. “Kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial kelompok difabel jauh lebih rendah. Mayoritas kelompok difabel bekerja di sektor informal dengan kesejahteraan rendah,” sebutnya. Ninik kemudian menambahkan, “Kebijakan di berbagai level tidak berkorelasi kepada lahirnya program dan anggaran.”. Atas hal ini, ia memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya adalah dibukanya akses untuk kelompok difabel di berbagai ranah, termasuk pendidikan dan ketenagakerjaan. Pemaparan disusul Nurul Saadah dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA). Sejalan dengan paparan narasumber sebelumnya, Nurul juga menegaskan pentingnya inklusivitas bagi penyandang disabilitas. Menurutnya, perlindungan sosial untuk kelompok difabel tidak bisa disamakan dengan masyarakat umum. Saat ini, penyandang disabilitas butuh biaya lebih tinggi untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan, maka mendapatkan pekerjaan menjadi sulit sehingga mereka harus tergantung pada orang lain. Hal tersebut meningkatkan risiko kekerasan. Ini menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas “untuk dapat hidup bermartabat dan mandiri”. Ia merekomendasikan agar implementasi konsesi bagi kelompok penyandang disabilitas dilakukan agar mereka dapat berinteraksi sosial dan berpartisipasi. Nuning Suryatiningsih dari OHANA sebagai pembicara selanjutnya memberikan contoh nyata atas masih buruknya aksesibilitas di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa tidak ada ram untuk menuju ruangan acara, yang membuatnya butuh waktu lebih lama untuk tiba di sana dengan kursi rodanya. “Singkirkan hambatannya, bukan orangnya, ujarnya. Menurutnya, banyak orang membicarakan inklusi, tetapi tidak memahaminya secara penuh. Kemudian, ia menyebutkan bahwa Indonesia sudah memiliki kebijakan untuk melindungi hak-hak kelompok disabilitas, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mereka masih ditinggalkan. Diskusi dilanjutkan oleh paparan dari M. Ghufran Kordi dari Yayasan BaKTI yang mengangkat permasalahan perempuan dan anak, terutama dari kelompok marjinal dan kelompok rentan. Indonesia sudah memiliki hukum yang mengatur perlindungan anak, KDRT, dan kekerasan seksual, tetapi tidak semuanya terlihat pada level implementasi. Ia membahas bagaimana pemerintah sudah membuat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), tetapi sampai saat ini tidak jelas dan di beberapa daerah pun tidak dibentuk. Menurutnya, UPTD tersebut harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tenaga terlatih untuk mendampingi program. Saat ini, seringkali hanya disediakan tenaga yang kurang kompeten, padahal mereka menghadapi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan butuh tenaga ahli. Akitbatnya, korban sering menjadi korban baru, yaitu mengalami kekerasan dari pendamping. Ia menyebutkan kasus perkosaan yang dilakukan oleh pendamping unit layanan. Selain itu, ia berpendapat bahwa unit layanan tersebut semestinya menjadi semakin penting peranannya dengan adanya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Terakhir, Ghufran menceritakan tentang sebuah layanan berbasis komunitas yang disediakan oleh masyarakat dan sangat efektif melayani korban kekerasan, bahkan membantu proses vaksinasi pada masa pandemi. Paparan dari Ghufran dilanjutkan oleh Romlawati dari Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Romlawati membahas pentingnya ekonomi alternatif dalam kerangka feminis. Menurutnya, sistem ekonomi saat ini tidak menguntungkan PEKKA karena bersifat eksploitatif dan tidak adil. Pandemi menyulitkan kelompok marjinal karena pembatasan mobilitas. Kebijakan pemerintah juga kurang berpihak pada pengusaha mikro dan nano, khususnya perempuan. Misalnya, pemerintah mendorong agar masyarakat melakukan pemasaran dagangan secara digital, tanpa menghitung penggunaan perangkat oleh perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Berdasarkan pengalaman PEKKA, penting untuk melakukan pendekatan ekonomi berkeadilan, yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan cara pikir, sehingga perempuan dapat mengandalkan kemampuan sendiri. Melalui G20, PEKKA berharap agar pemerintah mendorong sistem ekonomi yang lebih setara, dan membingkai kesejahteraan untuk diakui sebagai tujuan ekonomi. Ia juga menegaskan pentingnya pengakuan terhadap ekonomi perawatan yang selama ini dibayar sedikit atau bahkan tidak dibayar. Yasir Sani dari Kemitraan mengangkat permasalahan masyarakat adat. Ia menceritakan tentang kebijakan-kebijakan yang menyulitkan masyarakat adat, seperti masyarakat adat Dayak yang dilarang berladang dan pembangunan waduk di tempat beribadah masyarakat adat Nagakeo. Masyarakat adat yang diposisikan harus “normal” juga menjadi masalah. Sebagai wakil dari kelompok masyarakat adat, ia berharap agar setiap pembangunan mengajak mereka berdiskusi dan berpartisipasi, agar kebijakan tidak datang tiba-tiba tanpa konsultasi. Yang selama ini terjadi, pemerintah dan perusahaan tiba-tiba datang dan mengkavling kawasan hutan dan lingkungan hidup lainnya yang menjadi sumber penghidupan mereka selama ini. Terakhir, ia menyebutkan bahwa masyarakat adat harus diberikan hak budaya spiritual dan tidak dipaksa mengikuti agama yang diakui negara. Selain itu, hak perempuan dan anak bagi masyarakat adat juga harus dilindungi. Paparan yang padat dalam diskusi ditutup oleh Nora dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) sebagai pembicara terakhir. PKBI sendiri adalah organisasi yang mendampingi anak yang berhadapan dengan masalah hukum. Ia menyebutkan bahwa PKBI melakukan pendampingan anak dan perempuan yang dipenjara. Menurutnya, banyak hak terputus ketika anak masuk penjara, padahal seharusnya mereka tetap memiliki hak dasar, seperti bersekolah. Nora juga menyebutkan bahwa stigmatisasi terhadap mereka masih sangat tinggi. Anak-anak yang dipenjara dianggap sekadar nakal, tidak melihat latar belakang dan masalah mendasar yang mengakibatkan mereka dipenjara. Terakhir, ia menekankan pentingnya berkomunikasi dengan anak dan memastikan secara langsung apa kebutuhan mereka. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |