Dalam pidatonya, Menteri PPPA menyampaikan keprihatinannya karena hingga saat ini perempuan masih dikategorikan sebagai kelompok rentan. Hal tersebut terjadi karena budaya patriarki, yang meletakan posisi perempuan menjadi seakan lebih rendah daripada laki-laki. Menurut I Gusti Ayu Bintang Darmawati, buku Cedera Dunia Maya dapat membuka perspektif dan empati masyarakat terhadap penyintas kekerasan.
Salah satu penulis buku, Sonya Hellen, menceritakan pengalamannya dalam proses penyusunan buku tersebut. Sonya merasa tertarik pada isu KBGO yang tampak “baru” baginya. Sonya yang menulis dua tulisan dalam buku tersebut, berupaya menggali latar belakang tiap kejadian, sehingga mendapatkan perspektif yang mendalam. Sementara itu, salah seorang penulis lain, Damar Juniarto menyatakan bahwa teknologi terkadang menjadi perantara kekerasan. Sementara itu, menurut Damar, instrumen hukum Indonesia masih kurang tepat sasaran. Damar menyebutkan bahwa banyak korban KBGO sering terkendala pada proses peradilan yang panjang dan berbelit. Belum lagi, korban berisiko dikriminalisasikan lewat UU ITE. Menyambung paparan Damar mengenai UU ITE, Siti Husna juga menyampaikan bagaimana kasus KBGO, UU ITE seringkali tidak melindungi korban. Alih-alih, korban dapat dikriminalisasikan oleh pelaku. Salah satu celah kriminalisasinya adalah anggapan bahwa korban turut mendistribusikan konten pribadinya di dunia maya. Padahal, konten tersebut disebarkan secara nonkonsensual oleh pelaku KBGO. Menanggapi uraian narasumber, Atnike Nova Sigiro menyerukan pihak-pihak terkait untuk membangun kesadaran publik. Upaya lainnya adalah dengan memperbaiki payung hukum yang ada, karena UU ITE tidak bisa dijadikan landasan yang ideal dalam kasus KBGO. Dibutuhkan pula institusi, aparat penegak hukum, serta tenaga ahli, yang mampu memulihkan keadaan korban. Kembali mengulas buku Cedera Dunia Maya, Atnike melihat tulisan dalam buku tersebut berfokus pada KBGO dalam tataran kekerasan seksual dalam relasi intim atau personal. Maka salah satu pola yang terlihat dalam kisah-kisah para korban yang pada mulanya enggan untuk meminta bantuan karena dirundung rasa malu. “Rasa malu yang dialami oleh korban dan juga keluarga, merupakan suatu konsekuensi dari cara pandang masyarakat, termasuk cara pandang hukum, yang melihat kekerasan seksual sebagai serangan kepada moralitas dan kesusilaan, bukan serangan terhadap integritas tubuh seseorang,” ujarnya. Penanggap selanjutnya, Mariam Barata dari Kominfo, berpendapat bahwa regulasi yang kini berlaku belum menunjukan keberpihakan pada perempuan. Mari menyatakan, buku Cedera Dunia Maya, dapat menjadi panduan untuk menggunakan media sosial, sehingga risiko-risiko KBGO dapat diperkecil. Lebih lanjut, Kominfo berupaya mengurangi penyebaran KBGO melalui Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2020 tentang Moderasi Konten. Diharapkan dengan adanya Moderasi Konten, penyebaran konten yang dilarang—termasuk KBGO—dapat berkurang. Acara diskusi publik ini dilanjutkan oleh penampilan dari Media dan Lami yang membawakan lagu “Rumput Keadilan”. Terakhir, Ratna Batara Munti dari LBH APIK menutup jalannya diskusi. “Mudah-mudahan, ini (buku Cedera Dunia Maya—red) tidak berhenti sebagai tulisan. Tentu saja (buku Cedera Dunia Maya—red) memang bermula dari tulisan, tapi semoga itu menjadi inspirasi kita semua sehingga kita bergerak bersama,” tukasnya. (Nada Salsabilla) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |