Minggu (26/6) lalu seminar bertajuk “Kegelisahan Perempuan Minang dalam era Milenial” diadakan oleh Bundo Kanduang Mancanegara (BKM) secara dalam jaringan (daring). Acara menghadirkan empat narasumber, yaitu Dr. Sri Setiawati, M.A., Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S., DEA., Dr. Sastri Sunarti Sweeney, dan Dr. Elly Warti Maliki, Lc., M.A. Sebelum diskusi, sambutan diberikan oleh Nurbaini McKosky (Ketua BKM), Denny Abdi (Duta Besar RI untuk Vietnam-Pembina BKM), dan Prof. Dr. Siti Salmah (Penasihat BKM). Dibuka menggunakan bahasa Minang, pembawa acara, Jawahir, S.S., berdoa agar semua bundo tetap diberkati oleh Tuhan di manapun mereka berada. Diskusi dipandu oleh Dininta Melani Sari Moesady, M.Sc. selaku moderator. Sambutan pertama diberikan oleh Nurbaini McKosky. Ia memulai dengan cerita pengalamannya mengajar dan tinggal di Amerika Serikat. Pengalamannya di rantau orang dan kehadiran pandemi COVID-19 dinyatakannya sebagai pemicu kehadiran BKM. Nurbaini kemudian memastikan tidak ada pungutan uang dan kepentingan politik yang menyelimuti komunitas ini. Visi dari BKM sendiri adalah menjaga dan melestarikan adat Minangkabau. Tujuan tersebut didampingi oleh misi mewujudkan visi tanpa batas, terutama dengan kemampuan para anggotanya untuk berkomunikasi secara daring dari mana saja.
Nurbaini juga memiliki keinginan untuk membangun jejaring baik di dalam maupun luar BKM. Caranya melalui pembelajaran dan diskusi isu-isu faktual yang dapat membawa dampak baik bagi masyarakat Minangkabau di manapun. Kegiatan yang diharapkan tersebut meliputi pemerintah pusat dan daerah serta institusi pendidikan. Nurbaini menjadikan kolaborasi BKM dan Universitas Andalas (UNAN) sebagai contoh. UNAN telah membantu BKM dalam menyediakan aplikasi Zoom tanpa batas sehingga pertemuan daring dapat dihadiri oleh lebih dari 100 orang. Sebagai penutup, ia mengharapkan BKM dapat menjadi bentuk dari pengabdian masyarakat, penggerak penyelenggaraan diskusi, dan memperkuan jaringan di luar negeri. Sambutan berikutnya oleh Deny Abdi. Menurut beliau, tema yang diangkat pada diskusi kali ini sudah tepat. Alasannya, di seluruh dunia, masa depan menjadi suatu hal yang penuh ketidakpastian. Adanya perang di Eropa serta inflasi yang mempengaruhi kondisi ekonomi menjadi kekhawatiran semua orang. Terutama para bundo kanduang atau perempuan-perempuan Minang, terancamnya kondisi keluarga akibat kondisi kritis dunia menjadi sumber kekhawatiran mereka. Dengan adanya BKM, Deny merasa bangga dan optimis bahwa komunitas ini mampu mempertahankan adat dan budaya Minang melalui berbagai diskusi daring dari berbagai daerah di seluruh dunia. Acara dilanjutkan dengan presentasi dari narasumber yang pertama, Sri Setyawati. Dengan judul “Posisi Bundo Kanduang Kini: Antara Wacana dan Praktik”, paparan Sri mengajak audiens untuk berpikir kritis mengenai siapa bundo kanduang sekarang dan untuk apa peran mereka. Hal ini menjadi penting karena pemahaman akan bundo kanduang sendiri telah mengalami perubahan pada Rezim Orde Baru. Pada masa tersebut, definisi dari bundo kanduang didasari oleh kepentingan politik dan pemerintahan. Manipulasi tersebut sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda dengan tujuan pendudukan dan penaklukan oleh penjajah. Atas hal itu, Redefinisi diperlukan agar mampu menggeser kembali budaya yang mempengaruhi kondisi sosial dan politik perempuan Minangkabau. Selain Redefinisi, Reposisi dan Revitalisasi merupakan dua dari tiga langkah dalam mengembalikan keberdayaan perempuan Minangkabau menurut Sri. Utamanya dalam mempertahankan konsep bundo kanduang di tengah generasi muda, tiga Langkah tersebut perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan generasi muda dalam memahami garis keturunan dan juga budayanya sendiri. Pemaparan berikutnya oleh Gadis Arivia. Bertajuk “Siti Rohana Feminis Minangkabau”, Gadis memaparkan bahwa ada perempuan Minang yang memiliki karakter feminis pada era kolonial dahulu. Tak lain adalah Siti Rohana, perempuan Minang yang menjadi figur feminis. Dengan tulisan-tulisannya pada Soenting Melajoe, Siti Rohana memperjuangkan kesetaraan manusia dan opininya yang anti kolonial untuk perubahan sosial yang lebih baik di ranah Minang. Gadis menekankan bahwa tulisan Siti Rohana yang sangat feminis tidak hanya didasari oleh perjuangannya dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan, tapi juga diselingi dengan perspektif kritis dan keinginan untuk meningkatkan perubahan sosial yang baik. Lantas apakah feminisme berbenturan dengan agama Islam yang dianut oleh masyarakat Minangkabau? Gadis memaparkan penemuan Blackwood dan Sanday yang justru menyatakan sebaliknya. Secara historis, budaya serta pemikiran masyarakat Minang justru berdampingan dengan agama Islam. Usaha pemisahan di antara keduanya terjadi pada masa kolonial akibat adanya kepentingan para penjajah yang menguasai wilayah yang didudukinya. Sehingga, bundo kanduang yang tadinya memiliki peran sebagai penguasa tanah bergeser menjadi pengurus kegiatan domestik saja. Gadis kemudian memaparkan dampak negatif kolonialisme terhadap citra Siti Rohana sebagai salah satu feminis dari Indonesia, khususnya Minangkabau. Di era yang sama, awal tahun 1900-an, perjuangan Siti Rohana muncul bersamaan dan tidak kalah pentingnya dari perjuangan Raden Ajeng Kartini. Akan tetapi, ketika berbicara mengenai kemajuan perempuan di Indonesia, nama Kartini pasti mendominasi pemikiran masyarakat. Hal ini disebabkan oleh afiliasi Kartini yang lebih dekat dengan pihak Belanda daripada Siti Rohana. Selain itu, Kartini memiliki hak istimewa untuk bersekolah karena berasal dari keluarga ningrat. Sedangkan Siti Rohana harus mempertahankan Soenting Melajoe dengan menempatkan putri pemilik surat kabar tersebut, Zubaidah, sebagai atasannya. Tidak hanya menghadapi nepotisme seperti demikian, Siti Rohana juga memiliki kewajiban mencari iklan sendiri agar Soenting Melajoe dapat selalu terbit setiap hari Kamis pada masa itu. Presentasi berikutnya dipaparkan oleh Sastri Sunarti Sweeney. Menggunakan bahasa Minang, ia memulai materinya yang berjudul “Etos Kerja Perempuan Minangkabau” dengan mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mengenai etos kerja. Sastri mendefinisikan etos kerja sebagai pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Untuk perempuan Minangkabau sendiri digolongkan ke dalam tiga macam; Perempuan Simarewan, Perempuan Mambang Tali Awan, dan Perempuan Elok Budi. Dua dari tiga tipe tersebut, Simarewan dan Mambang Tali Awan, merupakan karakter perempuan yang tidak sopan dan sombong. Dengan demikian, karakter Elok Budi merupakan golongan perempuan Minangkabau yang dianggap ideal. Selain karakter, etos kerja perempuan Minang juga dipengaruhi oleh kondisi sosiokultural dan geografis. Akan tetapi Sastri juga menekankan sifat fleksibel yang dimiliki oleh perempuan Minang. Hal ini ditunjukkan oleh fenomena rantau yang dilakukan oleh banyak perempuan Minangkabau hingga saat ini. Dengan meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk mengembangkan diri, perempuan Minang mendekonstruksi tradisi merantau yang awalnya hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Dengan demikian, pola pikir perempuan Minangkabaru juga menjadi lebih progresif, terutama dengan adanya komunitas BKM seperti sekarang. Paparan terakhir dilakukan oleh Elly Warti Maliki. Anggota BKM yang memiliki sekolah internasional di Arab Saudi ini mempresentasikan materi bertajuk “Perempuan Minang dalam Perspektif Syara Mangato Adat Mamakai”. Apa yang disampaikan oleh Elly menjadi respon dari respon kegelisahan para narasumber sebelumnya. Karena diskusi mengangkat era milenial, Ia memulai dengan memaparkan pemahaman mengenai generasi Baby Boomers, X, dan Y atau Millenial. Elly kemudian mengedepankan ciri-ciri generasi Millenial yang seringkali didominasi oleh kemudahan teknologi. Namun cepatnya informasi tekneologi tidak selalu membawa dampak positif. Menurutnya kondisi tersebut membuat nilai-nilai agung dan mulia dalam adat serta budaya Minangkabau yang dipahami oleh generasi muda menjadi rancu. Beberapa di antaranya adalah mamak suku yang sudah tidak menjadi pelindung kaum, harta pusaka yang perlahan menjadi milik pribadi, musnahnya jiwa gotong royong, dan ketua adat yang hanya dijadikan simbol saja. Karena perempuan memiliki peran sentra dalam membangun generasi muda, maka Elly menyarankan adanya konferensi untuk menegaskan kembali peran bundo kanduang dalam membangun peradaban Minangkabau. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |