Jumat, 17 Januari 2020, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (STFT), PERSETIA (Perhimpunan sekolah-sekolah Teologi di Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Perhimpunan Gereja Indonesia (PGI), menyelenggarakan Seminar dan Bedah Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis “Peran Pemuda dan Perempuan dalam Merawat Kebinekaan dan Mewujudkan Perdamaian” di aula STFT Jakarta. Acara ini menghadirkan Prof. Siti Musdah Mulia (Penulis Buku Muslimah Reformis, Ketua umum ICRP), Pdt. Septemmy Eucharistia Lakawa (Ketua STFT Jakarta), Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Yayasan Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan Abdiel Fortunatus Tanias (MPH PGI) sebagai moderator. Pada pembukaan acara diskusi ini, Romo Haryanto (ICRP) memberikan sambutannya. Ia menjelaskan bahwa dengan membicarakan buku ini di STFT artinya kita sebagai masyarakat berhasil dan mampu melewati batas-batas yang kita ciptakan sendiri. “Buku yang ditulis Musdah Mulia diberikan judul ensiklopedia yang berarti mencakup begitu banyak aspek dan topik. Ensiklopedia tidak pernah diharapkan memberikan jawaban”, tutur Romo Haryanto. Lebih jauh, ia menuturkan bahwa melalui buku ini Musdah Mulia menawarkan sudut pandang yang tidak banyak disentuh orang yakni teologi feminis. Romo Haryanto mengungkapkan bahwa agama bukan hanya sebatas ritual tetapi studi bersama. Setelah sambutan dari Romo Haryanto, selanjutnya Pdt. Septemmy Lakawa mewakili civitas STFT Jakarta. Dalam sambutannya Pdt. Septemmy menegaskan bahwa pluralisme harus menjadi basis hidup berbangsa dan ia sangat mendukung kegiatan-kegiatan diskusi lintas agama seperti hari ini. Ia berharap STFT dapat menjadi ruang aman untuk membicarakan agama di Indonesia. Acara selanjutnya, yakni diskusi yang dimulai dengan paparan dari Prof. Musdah Mulia. Dalam paparannya secara khusus ia menjelaskan bukunya mulai dari penamaan, konsep yang digunakan, hingga topik pembahasan di dalam buku. “Buku ini adalah upaya memperkenalkan ajaran islam yang damai, yang sejuk, yang menekankan kepada pengharagaan kebinekaan. Memang tidak mudah, karena pandangan ini tidak mainstream”, jelas Musdah. Melalui buku ini, Musdah Mulia hendak menghadirkan pandangan keislaman yang membantu manusia dalam beragama agar menghindari proses dehumanisasi yang bertentangan dengan prinsip kemuliaan. Ia melanjutkan bahwa agama yang mengedepankan ajaran konservatif, intoleran dan radikal kerap menyadera harkat dan martabat manusia sehingga membawa kepada kehancuran peradaban. Sehingga menurutnya, penting bagi umat manusia untuk mendobrak konservatisme beragama. Lebih jauh, Musdah Mulia menjelaskan arti kata muslimah yang berakar dari kata al-salam, yang bermakna damai, tenang, aman, dan sejahtera. “Menjadi muslimah adalah kata kerja aktif bukan pasif. Menjadi muslimah artinya aktif merajut damai, mulai dari diri sendiri, dan bukan hanya untuk sesama muslim saja, tapi juga sesama manusia, bahkan semesta alam”, jelas Musdah Mulia. Ia melanjutkan bahwa definisi perempuan solehah yang digambarkan sebagai pasrah, tidak banyak bicara, itu adalah definisi yang keliru. Ia menegaskan bahwa menjadi muslimah yakni menjadi orang yang aktif, peduli, dan penuh empati terhadap kebaikan bersama. “Saya merumuskan muslimah berjihad adalah mereka yang meneggakan nilai-nilai keadilan dan kasetaraan yang menjadi esensi ajaran islam sekaligus pilar utama demokrasi dan pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spritual dan kemanusiaan”, jelas Musdah Mulia. Ia menjelaskan bahwa ada dua alasan dibalik lahirnya buku ini. Pertama, dilatarbelakangi karena kegelisahan pribadinya dalam melihat kondisi sosial di Indonesia yakni terjadinya distrupsi atau perubahan yang cepat dan drastis dalam kehidupan sosial. Hal tersebut menurutnya membawa pengaruh yang besar terutama dalam bidang agama. “Manusia semakin merasa teralienasi dan terpinggirkan sehingga tidak sedikit mengalami disorientasi dan kehilangan arah”, jelasnya. Alasan kedua Musdah Mulia dalam menerbitkan buku ini yakni karena meningkatnya konservatisme beragama yang dipengaruhi oleh masifnya ujaran kebencian dan berita bohong yang tersebar melalui media sosial. “Ledakan informasi yang mengandung konten hoax dan fitnah menciptakan politik identitas yang membuat polarisasi dalam masyarakat. Hal tersebut menimbulkan konflik kegamaan yang berkepanjangan. Hasil survey anak-anak muda kita lebih intoleran daripada generasi sebelumnya”, jelas Musdah. Rujukan utama dalam buku ini adalah konsep tauhid. Musdah menjelaskan bahwa konsep tauhid mengajarkan manusia untuk tunduk hanya kepada Tuhan. Dengan konsep ini maka manusia akan dapat sama-sama membangun peradaban dengan damai karena kesadarannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. “Bagi saya dengan pemaknaan tauhid semua orang akan dapat berjuang atau berjihad melawan kekerasan dan diskriminasi di muka bumi”, jelas Musdah. Buku ini dimulai dengan visi penciptaan manusia, yakni penjelasan tentang manusia agen moral. “Laki-laki dan perempuan adalah khalifah yang artinya pemimpin atau pengelola. Sehingga kita harus menjadi manusia yang mampu mengelola kehidupan di bumi untuk kebaikan semua makhluk”, tutur Musdah. Ia melanjutkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan kepada manusia, dan mengajak manusia untuk berjuang menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan. Buku ini menggunakan perspektif islam sebagai agama rahmatan lil alamin. “Ajaran islam mengedepankan cinta kasih dan akomodatif. Rahmatan lil alamin adalah ajaran islam yang humanis, ajaran islam yang mendorong keluarga yang damai dan sejahtera, ajaran islam yang inklusif dan menjunjung nilai pluralis, ajaran islam yang peduli kemanusiaan”, tegas Musdah. Buku ini terdiri dari 16 bagian, yang masing-masing bagiannya memiliki perspektif teologi feminis. Tema-tema dalam buku ini yakni, pendidikan, membentuk keluarga melalui perkawinan, membangun keluarga berencana, poligami menghambat keluarga harmonis, mengapa memilih sistem demokrasi, menegakkan HAM, hak asasi anak, hak asasi perempuan, sulitnya mewujudkan prinsip kesetaraan gender, membangun kekuasaan politik yang ramah perempuan, melawan radikalisme dan terorisme, melindungi hak kebebasan beragam, berjuang menghapus kekerasan, berjihad merajut perdamaian, menawarkan humanis-feminis, merumuskan dakwa transformatif. Setelah penjelasan dari Musdah Mulia terkait isi bukunya. Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) memberikan tanggapannya atas buku Ensiklopedia Muslimah Reformis. Atnike mengatakan bahwa topik yang ditulis Musdah Mulia dalam bukunya sangat beragam, sehingga layak diberikan nama ensiklopedia. “Ibu musdah menuangkan pertanyaan dan pengalaman ibu Musdah sebagai muslimah. Buku ini adalah buku feminis yang mengambil standpoint perempuan. Buku memaknai dan mempertanyakan segala sesuatu sebagai perempuan dan masyarakat”, jelas Atnike. Atnike melanjutkan bahwa dalam buku ini, pembahasannya tidak melulu menyoal topik spesifik perempuan, artinya Musdah Mulia sebagai perempuan tidak hanya berkutat pada persoalan dirinya saja, tetapi juga dirinya sebagai bagian dari situasi yang lebih luas yakni sebagai warga negara. Menurut Atnike, buku ini tidak hanya relevan terhadap umat muslim tetapi juga agama lain. Sebab dalam buku ini juga dimuat refleksi tentang hubungan umat islam dengan agama lain dalam konteks Indonesia. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa salah satu kritik feminisme terhadap agama ialah dominasi laki-laki dalam tafsir teks keagamaan. Sehingga menurut Atnike, buku Musdah Mulia memberikan cara pandang baru terhadap agama yang lebih humanis dan feminis. Atnike juga mengapresiasi keberanian Musdah Mulia untuk membicarakan dan bahkan mengkritik tafsir agama yang bias melalui buku ini. Atnike menjelaskan bahwa di dalam feminisme ada dua cara pandang feminisme dalam memandang agama. Cara pandang yang pertama yakni yang memandang agama sebagai objek di luar dirinya. Studi semacam ini khususnya berkembang di pemikiran barat. Kedua, yang tidak menempatkan agama sebagai objek di luar dirinya, tapi justru meleburkan feminisme ke dalam diskursus agama itu sendiri. Menurut Atnike, Musdah Mulia ada pada cara pandangan yang kedua, yakni tidak menarik batas antara agama dengan dirinya. Dalam proses tersebut, Musdah Mulia membangun narasi yang feminis dan humanis. Atnike menjelaskan bahwa pada bagian yang membahas tentang poligami, Musdah Mulia menggunakan literatur agama, pengalaman sejarah, dan pengalaman politik di negara lain, serta konsep-konsep keadilan gender. “Dalam buku ini kita bisa lihat bahwa agama bukan sesuatu yang statis, dia dipengaruhi manusia dalam sejarah”, jelas Atnike. Pembahasan dalam bab poligami ini, menurut Atnike, memperlihatkan adanya perubahan dalam agama yang terjadi karena adanya agensi dari manusia. “Ibu Musdah mengembangkan suatu teologi feminis, yakni menggunakan agama sebagai pandangan hidup, dan juga membangun pandangan yang berkeadilan secara bersamaan”, jelas Atnike. Atnike melihat buku ini menawarkan beberapa hal yakni pandangan tentang relasi agama dan perempuan, relasi agama dan masyarakat, dan kehidupan agama masyarakat Indonesia. Buku ini juga menawarkan ruang emansipasi dengan membuka ruang berpikir tentang agama yang humanis dan nasionalis. Pdt. Septemmy dalam paparannya menjelaskan bahwa buku ini berdimensi lintas iman. Menurutnya buku ini berusaha melawan proses hegomi identitas kolektif yang pedekatannya menisbikan feminsme dalam islam. Melalui buku ini saya diyakinkan oleh Musdah Mulia bahwa menjadi muslimah juga adalah menjadi Indonesia. “Musdah Mulia dalam buku ini mengafirmasi identitas kolektif yang multidimensi”, jelas Pdt. Septemmy. Lebih jauh ia menegaskan bahwa pluralitas dalam komunitas agama adalah penting. “Secara khusus, dalam pembahasan terkait Pancasila saya melihat bu Musdah sabar menjelaskannya khususnya dalam diskusi tentang islam dan demokrasi”, jelas Pdt. Septemmy. Bagi Pdt. Septemmy buku ini adalah tulisan perempuan beriman dan nasionalis. Secara khusus, Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa penting untuk memasukkan cerita-cerita muslimah reformis di akar rumput sehingga tergambar jelas dan terbukti bahwa sosok muslimah reformis itu sungguh ada. Pdt. Septemmy yakin bahwa lembaga Pendidikan sangat strategis sebagai sumber agen perubahan. Ia menjelaskan bahwa perubahan yang transformatif adalah bagian dari kegiatan keagamaan dan pendidikan. “Gereja yang diperbaharui mesti memperbaharui dirinya seturut dengan firman Allah”, jelas Pdt. Septemmy. Lebih jauh Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa prisnip dalam kristen ialah perubahan harus berakar pada firman, artinya perubahan tentang cara pandang haruslah berakar pada yang tekstual. Di agama Kristen dikenal konsep metanoya, yang artinya berputar 180 derajat. “Pendidikan itu artinya kita berubah total kearah yang lebih baik. Metanoya adalah pertobatan, kembali menghadapi kepada Tuhan. Caranya kita menghadap pada tuhan yaitu tertunduk”, jelas Pdt. Septemmy. Menurutnya perubahan bukanlah antitesis dari agama. Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa Hermenetuika teologi feminis di Indonesia harus ada dan tidak bisa melepaskan diri dari konteks Indonesia. Ia menutup dengan pernyataan bahwa buku Ensiklopedia Muslimah Reformis adalah personifikasi dari diskursus resistensi. Diskusi ini dihadiri oleh akademisi, aktivis kemanusiaan, agamawan dan mahasiswa di STFT Jakarta. Diskusi berjalan dengan interaktif dan informatif. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |