Kebijakan publik dan peran gender merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Pewujudannya dilakukan dalam bentuk pemberian pengaruh pada kesetaraan gender serta peran perempuan dalam formulasi kebijakan. Pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik dapat dilaksanakan melalui perluasan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, khususnya perihal kepemimpinan di ruang publik. Dalam beberapa tahun belakangan, kepemimpinan perempuan pada instansi publik meningkat. Hal ini merupakan salah satu dampak dari perjuangan partisipasi perempuan dalam ranah publik, yang meningkatkan representasi perempuan dalam kebijakan publik. Sebagai bentuk perhatian akan persoalan kebijakan publik dan perempuan, Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) mengadakan diskusi Ruang Publik seri ke-19 dengan tajuk “Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Sosial Budaya Bugis Makassar” pada Jumat (5/12/2023) lalu. Pelaksanaan diskusi ini dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan tiga narasumber, yakni Andi Ina Kartika Sari (Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan), Dr. Eri Iswari, M.Hum. (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin), dan Pratiwi Hamdhana AM (Founder and Managing Director of TENOON), serta Alfiana (Peneliti Muda LSKP) sebagai moderator.
Sebelum pemaparan narasumber, terdapat sambutan yang diberikan oleh Alfiana selaku moderator dan menyampaikan alasan dari tujuan keberlangsungan diskusi ini. Diskusi ini merupakan seri diskusi lanjutan dan saat ini telah mencapai seri ke-19. Pada diskusi kali ini berusaha memfokuskan persoalan tentang bagaimana kepemimpinan perempuan saat ini, khususnya jika dipandang dalam perspektif sosial budaya Bugis Makassar. Alfina memaparkan bahwa pola kepemimpinan memiliki keterkaitan dengan gender. Selanjutnya, Alfina memberikan pengertian gender secara umum, yaitu karakteristik dari pria, wanita, laki-laki, dan perempuan yang terkonstruksi secara sosial, termasuk persoalan norma dan tingkah laku. Berangkat dari pengertian yang dipaparkannya, Alfina melanjutkan pemaparannya bahwa kepemimpinan perempuan dan gender dapat dinyatakan sebagai bentuk perluasan atas kebijakan publik dengan pemberian peran terhadap perempuan. Pemaparan materi oleh narasumber diawali oleh Eri Iswari selaku dosen Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas). Ibu Eri mengawali topik diskusi dengan memaparkan materi bertajuk “Konsep Kepemimpinan Raja-Raja Perempuan Bugis-Makassar: Menyibak Tirai Kesetaraan Gender”. Dalam awal pemaparan, Eri menjelaskan jika materi ini berangkat dari penelitian yang dilaksanakan dengan latar belakang bahwa raja-raja dalam masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman dahulu telah menerapkan konsep demokratis dan egaliter serta penerapan kesetaraan gender dalam semua bidang kehidupan, termasuk politik pemerintahan. Pemilihan raja dan pewarisan tahta sebagai pemimpin kerajaan bukan hanya berdasarkan faktor garis keturunan secara patrilineal. Tetapi, lebih pada kompetensi dan kecakapan individual. Dengan ini, Eri pun menjelaskan jika kondisi masyarakat juga telah memberi peluang kesetaraan gender dari aspek politik sebagai pemimpin kerajaan sejak zaman lampau, sehingga beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai banyak raja perempuan. Sebagai tambahan, ia juga memaparkan penjelasan mengenai apa itu kepemimpinan dan peran gender. Mengutip Jones and George (2003), kepemimpinan adalah proses saat seorang individu mempunyai pengaruh terhadap orang lain dan mengilhami, memberi semangat, memotivasi, dan mengarahkan kegiatan-kegiatan mereka guna membantu tercapai tujuan kelompok atau organisasi. Fokus pembahasan dari penelitian yang dipaparkan oleh Eri terletak pada dua ratu dari kerajaan di Makassar, yakni Ratu We Tenri Olle (Raja Tanete) dan Ratu We Imaniratu, I Manneng Arung Data, SuItalnah Salimah Rajiyatuddin, Mattinroe Ri Kessi (Raja Bone). Kedua ratu tersebut memimpin kerajaan melalui cara masing-masing. Dengan demikian, didapati hasil terkait bagaimana Ratu Ternate We Tenriolle menjalankan pemerintahannya, yakni pola kepemimpinan Raja We Tenri Olle merupakan pola kepemimpinan yang efektif dengan gaya pelindung, penyelamat dan kompromis, berorientasi pada tugas, berorientasi pada hubungan, serta berorientasi pada efektifitas. Harapannya, dengan adanya nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diadopsi di masa kini, khususnya nilai-nilai kepemimpinan untuk pemberdayaan perempuan berbasis budaya lokal, dapat membentuk karakter kepemimpinan generasi muda ke arah yang lebih positif. Lantas Eri juga menambahkan bahwa peluang dan tantangan bagi perempuan untuk menempati posisi top leader dalam ranah publik di era saat ini telah ditunjang oleh pendidikan dan kompetensi. Selain itu, dalam dunia pendidikan tetap dibutuhkan kurikulum dan bahan ajar yang mengajarkan etika kepemimpinan sebagai media sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kepemimpinan yang ideal berbasis kearifan lokal. Andi Ina Kartika Sari selaku ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, menyambung pemaparan materi dengan pembahasan terkait kepemimpinan perempuan, khususnya di Sulawesi Selatan. Pertama, Andi Ina mengucapkan terima kasih atas ketersediaan penyelenggara dalam melangsungkan diskusi secara publik terkait perempuan Bugis Makassar. Selanjutnya, Andi Ina Kartika memaparkan bahwa perempuan Bugis merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan di Indonesia yang telah mengalami sejarah panjang mengenai proses kepemimpinan perempuan dan usaha menjalankan kehidupan. Dengan ini, tanpa disadari perempuan-perempuan Bugis, Makassar, dan Sulawesi merupakan perempuan yang dapat ditempatkan di mana saja. Pendapatnya ini memperlihatkan bahwa perempuan dari daerah tersebut memiliki tingkat penyesuaian diri yang baik. Selain itu, pada dasarnya perempuan dapat menempatkan posisi sesuai dengan keadaan. Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan ini memaparkan juga, jika dalam naskah kuno lontara telah disebutkan sendiri bahwa perempuan Bugis Makassar disebut berani (materru') dan bijaksana (malampé' nawa nawa). Naskah lontara juga menjelaskan salah satu tugas peran perempuan adalah menjadi ibu yang baik, menjadi penuntun suami yang jujur, hemat, dan mampu mengatasi segala kesulitan maupun perjuangan dalam mengatasi segala hal (Mancaji pattaro tettong rïlempu'é punnai cirinna enrengngé lampu 'Nawa-Nawa mméwai sibali perri' waroanéna Sappa 'laleng atuong). Posisi perempuan Bugis dalam naskah lontara pun tidak hanya menjelaskan perempuan dengan jelitanya serta peran pengasuh anak atau suami, tetapi juga terkait pranata sosial kehidupan. Andi Ina Kartika dalam sesi diskusi juga menyampaikan rasa terima kasih atas jasa Kartini. Melalui usaha pergerakan mendiang Kartini, perempuan Indonesia dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Berkaitan dengan posisinya sebagai Ketua DPRD, Andi Ina Kartika meyakini bahwa melalui kepemimpinan beliau perempuan memiliki dominasi yang sama dengan kepemimpinan laki-laki. Narasumber terakhir, yaitu Pratiwi Hamdhana A.M. selaku Founder dan Managing Director of TENOON, start-up yang bergerak di bidang kain tenun. Pada diskusi ini, Pratiwi memaparkan bagaimana TENOON menjadi salah satu bentuk usaha dalam memperkenalkan kain tenun dan wadah kreasi inklusif bagi masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat marginal dan teman-teman difabel. Sebagai wujud social enterprise, TENOON berusaha menyebar kecintaan akan kain tenun yang dihasilkan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Indonesia Timur. Latar belakang usaha ini sendiri berasal dari survei yang dilaksanakan kepada para penenun lokal. Ditemukan 3 dari 5 penenun lokal mengalami kesulitan dalam menjual kainnya. Melalui hasil survei tersebut, Pratiwi mendapatkan pemahaman baru jika para penenun lokal kesulitan dalam memasarkan hasil tenunnya, hal ini didukung dengan fakta bahwa para penenun mayoritas diisi oleh lansia sedangkan para penduduk muda mulai sedikit yang mau melanjutkan kearifan ini. Pratiwi paham terkait masa depan para penenun yang tidak menentu karena minimnya akses dalam memasarkan hasil kerajinan tenun. Selain itu, fakta terkait 15% dari populasi dunia adalah penyandang disabilitas cukup mengusik pemikiran Pratiwi, ditambah pula Sulawesi menjadi daerah dengan angka penyandang disabilitas tertinggi di Indonesia. Dengan pertimbangan tersebut, TENOON diharapkan menjadi wadah yang inklusif, baik bagi para lansia dan penyandang disabilitas, serta siapa saja yang ingin berkolaborasi secara kreatif dan mandiri. Selanjutnya, dalam setiap paparan diskusi, Pratiwi menyebutkan jika dalam memberdayakan perempuan itu tidak hanya memberdayakan satu perempuan saja, tetapi keseluruhan pihak. Pada sesi akhir, Alfina mempersilahkan para narasumber untuk mengucapkan kata penutup, yakni diawali dengan Andi Ina Kartika yang menyampai bahwa terdapat kuota 30% bagi perempuan yang ingin terjun ke politik. Terkait hal ini pemerintah telah membuka ruang bagi partisipasi politik perempuan. Namun, saat ini kebijakan yang mendukung partisipasi aktif perempuan di politik masih kurang, sehingga Andi Ina Kartika mendorong perempuan untuk memilih perempuan juga. Paparan penutup selanjutnya, diberikan oleh Pratiwi Hamdhana yang kembali menyampaikan mengenai pemberdayaan perempuan, berkaca dalam social enterprise yang ia dirikan. Pemberdayaan perempuan itu tidak hanya berkaitan dengan memberdayakan satu pihak saja, tetapi keseluruhan pihak yang saling berkaitan dan berhubungan. Sebagai contoh, TENOON berusaha memberdayakan para kaum disabilitas serta masyarakat marginal. Menutup sesi ini,, Eri menyatakan dan meyakinkan perempuan harus mengasah skill-nya, paling tidak public speaking dan orasi. Selain itu, marilah kita semua tetap belajar dan mengasah kemampuan kompetensi diri agar dapat bersaing dan diperhitungkan di ruang publik; tidak hanya dalam dunia domestik. Kebijakan publik tidak dapat terlepas dari peran kepemimpinan perempuan. Dalam hal ini kesetaraan gender dan kedudukan manusia menjadi kunci utama. Keberhasilan pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik menjadi bukti bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam ranah domestik. Pembelajaran terkait persoalan sejarah perempuan pun penting dilakukan guna melihat dan memahami bagaimana perempuan telah berusaha memegang peranan penting di ruang publik. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa perempuan dan kepemimpinan serta kebijakan secara publik merupakan hal yang dapat disejajarkan. (Esa Geniusa Religiswa Magistravia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |