Melawan Penyeragaman Tampilan Perempuan Lewat Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara30/10/2021
Penutup kepala telah menjadi identitas perempuan Nusantara. Selain merupakan bagian dari busana, penutup kepala juga melambangkan identitas kultural dan kebebasan berekspresi perempuan. Sayangnya, banyaknya produk hukum daerah yang membatasi cara berpakaian dan menyebabkan penggunaan penutup kepala tradisional perempuan pun mulai berkurang. Merespons hal ini, sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda, Komnas Perempuan mengadakan webinar Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara, melalui siaran Zoom pada Kamis (28/10). Pada Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara kali ini, tema yang diusung adalah“Merawat Kebangsaan, Merayakan Keberagaman”. Komnas Perempuan mengundang Dewi Kanti (Komisioner Komnas Perempuan), Athan Siahaan (Fashion Designer), serta Niluh Djelantik (Founder dan Creative Director NILUH DJELANTIK) sebagai pembicara danMonica Fransisca Khonado sebagai MC.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Salampessy, dalam sambutannya menyoroti hasil pantauan dan kajian Komnas Perempuan, yang menemukan adanya penguatan kebijakan diskriminatif bermotif politik agama dan etnis sejak Reformasi 1998. Hal tersebut membuat kelompok minoritas terpaksa harus menyesuaikan diri, terutama pada aturan-aturan yang mengunggulkan identitas mayoritas. Salah satu bentuk opresinya adalah penghilangan penutup kepala tradisional dari seragam wajib pemerintah daerah. “Penutup kepala merupakan simbol dan atribut budaya yang mempunya landasan filosofis dari daerah adat yang ada, sayangnya pengetahuan tentang ini di Indonesia sangatlah terbatas,” tukas Olivia. Dewi Kanti menjadi pembicara pertama pada sesi diskusi. Menurutnya, penyeragaman tampilan, utamanya pada perempuan, menjadi praktik yang diskriminatif. Merayakan keberagaman menjadi sebuah cara untuk menemukan mozaik kebhinekaan yang utuh dan melawan penyeragaman. Dengan adanya festival ini, ia berharap perempuan Indonesia dapat menemukan kembali keberagaman identitas lokalnya. “Kita berharap, akan muncul kesadaran kembali akan karakter bangsa dan simbol wajah kebudayaan bangsa. Baik dari penutup kepala perempuan, kuliner, baju, (dan—red) aksesoris kebudayaan lainnya,” ujar Dewi. Selanjutnya, Niluh Djelantik menuturkan pengalamannya dengan penutup kepala. Berangkat dari identitasnya sebagai perempuan Bali, ia menganggap penutup kepala sebagai suatu ciri budaya yang luhur. Di Bali, terdapat berbagai jenis penutup kepala yang fungsinya berbeda-beda, tergantung situasi, upacara adat, dan lokasi pemakaian. Dengan demikian, penutup kepala telah menjadi identitas budaya perempuan Bali. Ia juga menyuarakan semua pihak, termasuk laki-laki, untuk ikut menjaga identitas tersebut, “Para lelaki Nusantara juga berhak dan boleh menyuarakan, bahwa ini adalah ciri khas, tradisi, karakteristk perempuan dari daerah saya,” ujarnya. Diskusi disambung oleh desainer kenamaan, Athan Siahaan. Seperti halnya Niluh Djelantik, Athan menceritakan saong sebagai tudung khas daerah asalnya, Sumatera Utara. Saong menjadi sesuatu yang sangat sakral bagi masyarakat Sumatera Utara karena memiliki nilai dan makna yang sangat kaya serta memiliki filosofi tinggi. Sayangnya, Athan melihat banyak penutup kepala, termasuk saong, sudah berkurang pemakaiannya karena tidak adanya peraturan khusus untuk memakainya. Atas hal ini, ia berharap kaum milenial berkenan mengenakan penutup kepala tradisional. “(Semoga—red) seluruh perempuan-perempuan di Indonesia, terutama kaum milenial, tidak malu menggunakan penutup kepala, yang merupakan ciri khas perempuan Indonesia,” harap Athan. Webinar ini turut menampilkan penampilan Tari Buyung. Emmalia Jati Kusuma bertindak sebagai penata tari dalam penampilan tersebut. Para penari terdiri dari tiga penari perempuan yang mengenakan penutup kepala tradisional. Berbagai peraturan yang mengekang kebebasan ekspresi perempuan, terutama dalam hal berbusana, berimbas pada penyeragaman perempuan. Bahkan terkadang alasan dari penyeragaman tersebut adalah menyesuaikan norma perempuan dengan budaya ketimuran. Padahal, pakaian tradisional sejatinya merupakan busana yang menampilkan identitas asli perempuan Indonesia. Lewat pelaksanaan festival ini, diharapkan perempuan Indonesia dapat melawan penyeragaman tampilan dan merayakan keberagaman ekspresi. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |