Narapidana dan tahanan perempuan di sejumlah institusi penahanan berada dalam situasi hidup yang tidak cukup layak selama menjalani masa penahanan. Selain perampasan kemerdekaan, mereka juga harus mengalami keterbatasan hak untuk mengakses layanan-layanan dasar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, meskipun ketentuan-ketentuan mengenai pemenuhan kebutuhan ini sudah diatur dalam aturan internasional maupun aturan nasional. Pernyataan ini diungkapkan Lilis Lisnawati, peneliti dari Center for Detention Studies (CDS), lembaga yang bekerja untuk reformasi institusi penahanan ketika berbicara sebagai narasumber dalam acara Pendidikan Publik yang diselenggarakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Prodi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura dengan tema Perempuan dan Kebijakan Publik pada Kamis (30/3). Paparan yang disampaikan Lilis merupakan hasil survei kualitas layanan pemasyarakatan yang dilakukan CDS pada tahun 2013 hingga 2015 di lapas (lembaga pemasyarakatan) wanita, rutan (rumah penahanan) wanita, cabang rutan wanita, dan lapas pria yang di dalamnya menampung narapidana perempuan di 12 wilayah yakni Jakarta, Banten, Surabaya, Palembang, Bandung, Demak, Aceh, Makassar, Bali, Lampung, Kupang, dan Pontianak. Survei ini dilakukan sebagai bagian dari praktik pengawasan eksternal dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal pemasyarakatan dan universitas negeri di masing-masing wilayah. Terkait kebutuhan khusus perempuan seperti ketersediaan air bersih misalnya, Lilis memaparkan bahwa kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi dengan baik. Seperti yang terjadi di lapas wanita kelas IIA Kupang, lapas tersebut baru selesai dibangun pada 2015 dan instalasi air belum terpasang dengan baik, sehingga setiap hari narapidana dan tahanan perempuan di lapas Kupang harus mengangkat air dari depan lapas ke kamar mereka masing-masing. Sementara di lapas kelas IIA Pontianak karena belum ada lapas wanita, maka terdapat blok wanita di lapas yang diperuntukkan bagi narapidana laki-laki dewasa. Di blok wanita tersebut tidak disediakan fasilitas kesehatan, fasilitas tersebut hanya ada di blok laki-laki sehingga narapidana perempuan yang membutuhkan layanan kesehatan harus mendatangi blok laki-laki. Di lapas wanita kelas IIA Sungguminasa, fasilitas kamar mandi dibangun seperti kamar mandi bagi narapidana laki-laki, tanpa pintu, tidak beratap dengan tembok setinggi dada orang dewasa. Selain itu untuk kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan sandang (kutang, mukena, pembalut) dan pemenuhan kebutuhan khusus bagi narapidana perempuan yang sedang hamil, menyusui dan membawa anak belum tersedia dengan baik. Lebih lanjut Lilis menjelaskan 3 dari 12 institusi penahanan yang disurvei merupakan institusi penahanan yang beroperasi resmi sebagai lapas pria. Cabang Rutan Lhoknga merupakan cabang rutan yang diperuntukkan bagi laki-laki yang kemudian dialihfungsikan untuk narapidana dan tahanan perempuan karena dengan berlakunya perda-perda syariah banyak perempuan yang dipidanakan. Meski demikian ketika survei dilakukan, masih ada laki-laki yang ditempatkan di sana. Untuk lapas yang beroperasi secara resmi sebagai lapas wanita, terdapat lapas wanita Tangerang dan lapas Semarang yang dibangun sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, yang peruntukan awalnya ditujukan bagi narapidana laki-laki. Setelah ada pembangunan lapas-lapas baru, bangunan lapas yang lama kemudian dilungsurkan untuk tahanan perempuan. Sedang pada bangunan lapas yang baru seperti lapas wanita kelas III Kupang yang selesai dibangun pada 2015 dibuat tetap dengan desain dan pola bangunan yang sama persis dengan rutan yang diperuntukkan bagi laki-laki dewasa. Keberadaan bangunan lapas yang dibuat dengan tidak memerhatikan kebutuhan perempuan dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan khusus narapidana dan tahanan perempuan menurut Lilis terkait erat dengan konstruksi dan tatanan sosial yang ada di masyarakat. Lilis menjelaskan persoalan ini dengan mengaitkannya dengan status perempuan dalam tatanan sosial masyarakat. Perempuan dipandang sebagai kelompok inferior dan dalam pembagian kerja secara seksual perempuan ditempatkan sebagai pengasuh dan perawat keluarga yang berada di ranah domestik sehingga diasumsikan aktivitasnya jauh dari tindakan yang dapat memacu adrenalin dan berbahaya karenanya perempuan dianggap jauh dari peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Dengan kata lain kejahatan dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan terutama oleh laki-laki. Karena itu perempuan yang melanggar hukum juga disebut sebagai penyimpang ganda, yakni pertama karena perempuan secara sosial tidak diharapkan melakukan pelanggaran dan yang kedua karena pelanggarannya itu sendiri. Anggapan ini cukup kuat tertanam di masyarakat dan mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatur masyarakat pun belum sensitif gender, termasuk kebijakan-kebijakan dalam institusi penahanan. Untuk itu menurut Lilis para pembuat dan pelaksana kebijakan pemasyarakatan harus memiliki kepekaan dan perspektif gender sehingga kebijakan-kebijakan yang disusun serta penanganan terhadap narapidana dan tahanan perempuan menjadi lebih ramah perempuan dan memerhatikan kebutuhan khusus mereka. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang ada menjadi sejalan dengan prinsip pengarusutamaan gender. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |