Dalam perjalanannya, usaha mewujudkan kesetaraan kerap kali terhalang peraturan-peraturan yang sedang berlaku. Di Indonesia sendiri, terdapat banyak peraturan oleh pemerintah yang sarat akan bias gender. Persoalan inilah yang kemudian berusaha untuk dihadapi oleh Jakarta Feminist melalui keberadaan Peta Perda Diskriminatif di Indonesia. Acara “Peluncuran Peta Perda Diskriminatif di Indonesia dan Pengembangan Feminist Hub” ini diselenggarakan pada Rabu lalu (13/3/2024) di Hotel Ibis Jakarta Raden Saleh, Jakarta Pusat. Kegiatan yang dimoderatori oleh Astried Permata (Konsultan Kampanye Strategis Jakarta Feminist) ini menghadirkan Yuri Muktia (Divisi Program Jakarta Feminist), Ayu Oktariani (Ikatan Perempuan Positif Indonesia), Tamara Lois (Sanggar Swara), Eka C. Tanlain (Komnas HAM), dan Veryanto Sitohang (Komnas Perempuan).
Peluncuran diawali dengan presentasi Yuri yang menerangkan proses pengerjaan peta ini. Sebagaimana yang kita ketahui, sebagian besar kebijakan yang berlaku di Indonesia bersifat diskriminatif, khususnya terkait dengan persoalan gender. Kebijakan di Indonesia membatasi kemerdekaan perempuan terhadap tubuhnya, menghalangi perempuan dan kelompok marginal untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum, serta mengekang perempuan dan kelompok marginal untuk mengakses hak-haknya selaku warga negara. Jakarta Feminist berupaya menghimpun data-data peraturan daerah (Perda) diskriminatif di seluruh Indonesia dan memvisualisasikannya agar pengetahuan terkait kebijakan diskriminatif dapat diakses dengan lebih mudah oleh masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun, ditemukan 177 peraturan daerah diskriminatif di seluruh Indonesia. Setiap provinsi dikategorikan berdasarkan jumlah perda diskriminatif yang berlaku di wilayahnya. Terdapat tiga kategori, yaitu zona merah, zona ungu, dan zona abu-abu. Zona merah merupakan wilayah dengan lebih dari 10 perda diskriminatif, seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Kemudian, zona ungu menunjukkan wilayah dengan 1-10 perda diskriminatif, seperti DKI Jakarta, Lampung, dan Sulawesi Tenggara. Sementara itu, zona abu-abu merepresentasikan wilayah-wilayah yang belum teridentifikasi memiliki perda diskriminatif, seperti Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua Pegunungan. Beberapa muatan yang terkandung dalam perda-perda diskriminatif tersebut, seperti pelarangan prostitusi, pelarangan kohabitasi, pengaturan cara berpakaian perempuan, dan pelarangan seks dengan konsen. Persoalan ini direspons oleh Ayu, bahwa kebijakan yang melarang prostitusi umumnya diterapkan dengan semerta-merta menutup tempat prostitusi tanpa memikirkan keberlangsungan hidup pekerja seks yang akhirnya terpaksa berpencar sehingga tidak mudah untuk dijangkau komunitas yang hendak melakukan penyuluhan dan pendampingan. Pada kasus penderita HIV, kohabitasi merupakan suatu langkah yang memudahkan para penderita untuk mendapatkan pendampingan dan pertolongan kesehatan. Pelarangan kohabitasi justru merugikan mereka sebagai pihak rentan. Selain itu, Yuri mencatat adanya peraturan yang secara khusus menyebutkan kelompok tertentu seperti LGBTQ+ dalam judul atau pasalnya. Dampak dari peraturan-peraturan ini juga dirasakan oleh Tamara dan kelompok pekerja seni transpuan. Sama halnya dengan kelompok pekerja seks dan penderita HIV, upaya kelompok transpuan untuk berkumpul dalam rangka mencari suaka dan membangun solidaritas justru dianggap sebagai ancaman sosial oleh pemerintah dan masyarakat sekitar. Astried menggarisbawahi bagaimana pemerintah telah berperan melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan dengan adanya peraturan-peraturan diskriminatif ini. Eka dan Very memberikan tanggapan yang senada. Menurut keduanya, riset yang dilakukan Jakarta Feminist merupakan pengingat bahwa pekerjaan rumah kita masih banyak. Usaha untuk menghapuskan diskriminasi adalah usaha yang perlu dilakukan secara perlahan. Dimulai dengan rutin mengadakan koordinasi dengan perancang kebijakan dan pelaksananya, pengawalan rekomendasi ke kementerian terkait, sampai dengan pemantauan Pilkada 2024 guna menghadirkan pemimpin yang berkesadaran gender. Hal ini perlu dilakukan sebab pemerintah memiliki peran dalam menentukan penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai baru yang adil dan setara. Kemudian, sebagai catatan, Yuri menyampaikan beberapa tantangan yang ia dan timnya ketika menyusun peta ini. Pertama, absensi peraturan diskriminatif pada empat provinsi yang baru berdiri. Kedua, keterbatasan dalam mengakses produk hukum sebab sistem pendokumentasian yang tidak cukup terkini dan terintegrasi. Ketiga, kontradiksi antara penggunaan redaksi yang positif dengan isi pasal yang bersifat diskriminatif. Tantangan-tantangan tersebut mampu dihadapi dengan menjalin komunikasi dan kolaborasi bersama lembaga-lembaga lain. Kedepannya, Peta Perda Diskriminatif di Indonesia pun akan terus membutuhkan masukan dari berbagai pihak supaya dapat berperan sebagai pustaka yang senantiasa berkembang mengikuti gerak perjuangan menuju kesetaraan. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |