Kriminologi Universitas Indonesia diskusikan Pemenuhan Hak atas Reparasi Bagi Korban Kejahatan27/11/2018
Rabu (21/11) Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia mengadakan acara seminar nasional dan lokakarya viktimologi “Mendorong Negara Memenuhi Hak atas Reparasi bagi Korban Kejahatan” bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Depok. Acara ini dihadiri oleh Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan), Muhammad Joni (Tenaga Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia), Abdul Haris Semendawai (Ketua Perlindungan Saksi dan Korban), dan Amirudin Al Rahab (Komisioner Komnas HAM). Pada acara tersebut Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa status korban sering kali dikeluarkan pada hukum pidana, mereka difungsikan sebagai saksi. Padahal menurut Haris korban harus menerima perlakuan yang baik. Apalagi korban dirugikan secara fisik, materi, psikologi dan sosial. Hilangnya perhatian atas korban, membuat disiplin viktimologi memberi perhatian khusus dalam pembahasan hak korban. Menurut Haris selama ini korban tidak jelas definisinya, baik definisi kekerasan yang dialami maupun ukuran kerugian yang dialami. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi yang secara spesifik membahas status korban. “Di PBB korban bukan hanya dimaknai sebagai perorangan tetapi juga kelompok. Korban bukan hanya mendapatkan reparasi tetapi juga hak korban mendapatkan keadilan, informasi dan pelakuan yang manusiawi. Hak korban pelanggaran HAM berat untuk Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002. Hak korban pelanggaran HAM berat meliputi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, menurut Haris pada praktiknya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban membutuhkan prasyarat yang menyulitkan korban mendapatkan haknya” tutur Haris. Sementara itu, Azriana Rambe Manalu menyampaikan persoalan yang dihadapi jika korban adalah perempuan. Menurutnya selama ini masyarakat telah lupa tentang konstruksi sosial, padahal konstruksi sosial yang membentuk posisi perempuan tersubordinasi. Ia menjelaskan bahwa pada kasus kekerasan, perempuan sering kali menjadi korban yang tertindas dua kali lebih parah daripada laki-laki karena adanya stigma tentang perempuan. Fungsi reproduksi yang dilekatkan kepada perempuan membentuk pemahaman bahwa perempuan adalah objek seksual. Azriana menambahkan bahwa perempuan dianggap simbol harga diri suatu kelompok tertentu, sehingga pada saat konflik penaklukan suatu kelompok dapat dilakukan dengan menyerang baik secara fisik maupun seksual perempuan pada kelompok tersebut. “Kekerasan yang diadalami oleh perempuan biasanya meliputi kekerasan, fisik, emosional, dan seksual, kekerasan tersebut terjadi hampir setiap hari dan di manapun baik di ruang publik maupun privat” tutur Azriana. Azriana juga menekankan bahwa peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan kebijakan diskriminatif yang mengatur tubuh perempuan. Lebih jauh, menurut Azriana Indonesia perlu memiliki hukum dan skema pemulihan korban yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. “Skema pemulihan harus bersifat komprehensif dan holistik, reparasi korban tidak perlu persetujuan pengadilan, sebab perlu diingat bahwa bagian yang paling kuat dari reparasi adalah tanggungjawab negara untuk memulihkan, sehingga, untuk melakukan reparasi korban sejatinya tidak membutuhkan prasyarat terlebih dahulu”, tutur Azriana. Berbeda dengan Azriana, Muhammad Joni justru banyak bicara menyoal hak anak sebagai korban. Menurut Joni, semua manusia pernah menjalani fase sebagai anak-anak. Dengan begitu, sebenarnya orang dewasa lebih memahami kebutuhan anak-anak. Joni juga mengingatkan bahwa hak atas reparasi korban seharusnya tidak diurus oleh warga negara, melainkan menjadi urusan dan tanggungjawab negara untuk memenuhi hal tersebut. “Ketika berbicara mengenai anak maka berbeda dengan orang dewasa, sebab ada perbedaan kebutuhan dan kemampuan, untuk itu negara perlu mengatur penguatan sistem hukum dan kelembagaan untuk perlindungan yang spesifik untuk anak”, tutur Joni. Sementara itu, Amirudin Al Rahab menekankan pada aspek budgeting. Menurut Amirudin Kementerian Keuangan tidak pernah menganggarkan dana untuk reparasi korban. “Reparasi korban masih menjadi persoalan, karena Undang-Undang tidak secara literal menyebutkan bahwa korban adalah tanggungjawab negara, hanya Undang-Undang terorisme yang menyebutkan bahwa korban adalah sepenuhnya tanggungjawab negara”, tutur Amirudin. Menurut Amirudin adanya ketidakjelasan status korban membuat hak kompensasi, reparasi, dan rehabilitasi digantungkan pada keputusan pengadilan. Kemudian, Muhammad Mustofa selaku penanggap lebih menekankan bahwa perlu adanya perumusan perundang-undangan yang mengatur hak korban secara jelas. Mustofa juga menjelaskan bahwa perlu ada penyebarluasan, sosialisasi, dan mekanisme dalam menuntut hak korban. Hal ini berguna untuk mengupayakan pemahaman korban atas hak yang dimiliki. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |