Dalam persiapan menyambut Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Kalyanamitra bersama dengan Koalisi Perempuan Indonesia dan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menginisiasi agenda orasi yang bertajuk, “Open Mic Suara Perempuan Untuk Pemilu 2024: Mempertegas Komitmen Negara untuk Pemilu yang Setara, Berkeadilan dan Inklusif”. Acara yang diselenggarakan pada Senin (28/8/2023) lalu, menghadirkan narasumber yang berasal dari berbagai latar belakang. Dalam pantauan Jurnal Perempuan, acara tersebut dihadiri oleh Listyowati dari Kalyanamitra, Ruby Kholifah dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Suraiya Kamaruzzaman dari Balai Syura, Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Olivia Salampessy dari Komnas Perempuan, Wahyu Susilo dari Migrant CARE, dan masih banyak perwakilan dari lembaga masyarakat sipil lainnya.
Dibuka oleh Listyowati sebagai Ketua Kalyanamitra, ia memaparkan tujuan dari agenda ini yakni membangun ruang konsolidasi bersama gerakan perempuan, kelompok pro demokrasi, dan kaum muda untuk mendorong pesta demokrasi yang setara dan inklusif. Selain itu, perempuan yang akrab disapa Lilis ini juga mengajak semua masyarakat sipil agar memastikan suara perempuan menjadi suara yang harus diperhitungkan. Lilis pun turut menyatakan keprihatinan mengenai banyaknya kebijakan pemerintah soal pemenuhan kebutuhan dan kepentingan hak-hak perempuan di Indonesia yang belum tercapai, terutama RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang tak kunjung disahkan setelah 20 tahun diperjuangkan. Maka dari itu, affirmative action tentang minimal 30% keterwakilan perempuan sebagai peserta Pemilu harus segera direalisasikan secara esensial, bukan hanya angka. Sesi orasi berikutnya yaitu Ruby Kholifah selaku Direktur AMAN Indonesia. Ruby membuka sesi ini dengan pembahasan tindak diskriminasi yang terjadi di lembaga pendidikan, contohnya seperti kasus pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah. Komnas Perempuan sendiri telah merangkum, terdapat 120 aturan daerah tentang wajib jilbab di institusi pendidikan dan pemerintahan, 73 diantaranya masih berlaku sampai sekarang. Sanksi pun dihadirkan dalam berbagai macam bentuk. Mulai dari peringatan lisan, dikeluarkan dari sekolah, pemangkasan nilai rapot, sampai yang berhubungan dengan kurungan penjara. Hal ini tentu berimbas pada kelompok masyarakat dengan identitas minor, baik identitas keagamaan atau gender. Ruby dan AMAN Indonesia mengidentifikasi, terdapat 3 alasan utama mengapa tindakan diskriminasi masih sering terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Pertama, tafsir tunggal tokoh agama yang digunakan pada masyarakat majemuk di Indonesia. Kedua, cara pandang mayoritas masyarakat masih mengacu pada keagamaan yang simbolik, bukan substantif. Terakhir, penyimpangan dalam pembuatan regulasi atau ketidakmampuan sinkronisasi antara regulasi nasional dan daerah. Pada poin terakhir, Ruby menekankan peran para wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat melalui Pemilu. Mereka seharusnya mewakili rakyat dalam pengesahan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Bukan hanya untuk mendongkrak popularitas dengan menjadikan isu keagamaan sebagai komoditas politik. Ruby menegaskan bahwa Pemilu bukanlah hanya sebuah pesta rakyat yang wajib dilaksanakan, pemaknaannya harus melampaui itu. Yaitu sebagai ruang publik untuk menentukan calon pemimpin negara dan wakil rakyat yang berkualitas untuk bangsa dan negara. Selain Ruby dan Lilis, Titi Anggraini selaku Anggota Dewan Pembina Perludem turut menambahkan mengenai beberapa kemunduran yang terjadi pada kebijakan afirmasi politik bagi perempuan. Salah satunya yaitu pelemahan keterwakilan perempuan melalui buruknya praktik dari afirmasi politik perempuan di kontestasi penyelenggaraan Pemilu. Titi memberi contoh, ketika terdapat 10 calon anggota perempuan dari KPU atau Bawaslu, hanya terpilih 1 calon saja. Titi menambahkan perlu ada aktivisme hukum dengan melakukan semua upaya hukum atas berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan otoritas. Misalnya dengan melakukan uji ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Ombudsman. Kemudian perlu ada dorongan dari gerakan sosial untuk menjaga suara dalam Pemilu, terutama suara perempuan yang lebih dulu dipinggirkan oleh lembaga demokrasi. Olivia Salampessy selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan turut hadir dalam acara ini, membicarakan keharusan perubahan pola pikir dan cara pandang dalam pengambilan kebijakan pada Partai Politik (Parpol). Ia menekankan pada gencarnya pendidikan politik dengan isu perempuan guna menumbuhkan kesadaran berkeadilan gender dalam dunia politik. Walaupun secara konstitusi tidak ada hambatan bagi perempuan untuk mencalonkan diri dalam Pemilu, menurutnya, secara kultural perempuan masih saja dijegal. Baik di tingkat Parpol maupun komunitas masyarakat. Bahkan seringkali perempuan mengalami serangan terhadap tubuh dan seksualitas dari lawan politiknya. Hal ini dilakukan dengan maksud menjatuhkan perempuan dan meneguhkan anggapan bahwa dunia politik adalah milik laki-laki. Dalam agenda Open Mic, tidak hanya isu perempuan dalam politik saja, melainkan isu-isu masyarakat minoritas lainnya. Contohnya, seperti isu pekerja migran dan disabilitas yang disampaikan oleh Wahyu Susilo selaku Direktur Eksekutif Migrant CARE. Wahyu mengingatkan bahwa pekerja migran, disabilitas, masyarakat adat, narapidana yang tak dicabut hak pilihnya, dan kelompok marjinal lainnya yang sulit mendapat dokumen kependudukan juga merupakan pemilih dalam kontestasi Pemilu. Mengapa Pemilu tidak boleh meninggalkan entitas-entitas yang sudah disebutkan sebelumnya? Sebab Indonesia telah menerapkan Sustainable Development yang memiliki prinsip No One Left Behind. Pemilu merupakan bagian dari proses pembangunan, karena aktor-aktor pembangunan di eksekutif maupun legislatif lahir dari proses Pemilu. Di akhir, Wahyu menekankan, Pemilu harus diselenggarakan secara inklusif dan tanpa diskriminasi terhadap pemilih dan calon terpilih. (Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |