Secara global, warga dunia merayakan Hari Perempuan Internasional (HPI) setiap tahun pada tanggal 8 Maret. Selebrasi yang diprakarsai oleh protes para perempuan pekerja di Amerika Serikat tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1908. Di tahun 2023, HPI mengangkat tema #EmbraceEquity atau #RangkulKesetaraan. Dalam merayakan perjuangan perempuan dalam memperoleh kesetaraan dan haknya, berbagai organisasi dan institusi merayakan HPI 2023 dengan berbagai macam acara. Kedutaan Republik Afrika Selatan untuk Indonesia turut meramaikan selebrasi tersebut dengan mengadakan seminar bertajuk “DigitALL: Innovation and Technology for Gender Equality” pada Selasa (07/3/2023) lalu. Diadakan di Jasmine Room, Ayana Midplaza Jakarta Hotel, acara ini diramaikan oleh lima pembicara yang memaparkan opini mereka mengenai teknologi dan kesetaraan gender. Kelima pembicara tersebut adalah Mmampei Chaba (Chief Director of Multilateral and Africa Cooperation, Department of Science and Innovation), Armansyah (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta - UPNVJ), Dini Fronitasari (Perekayasa Ahli Muda Pusat Manajemen Informasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi - BPPT, Badan Riset dan Inovasi Nasional - BRIN), Dhyta Caturanggi (PurpleCode Collective), dan Agita Pasaribu (Bullyid Indonesia). Seminar ini turut menghadirkan Duta Besar Republik Afrika Selatan untuk Indonesia, Mpetjane Lekgoro, dan dimoderatori oleh Gracia Paramitha (London School of Public Relations, Jakarta). Acara dimulai dengan pembukaan oleh Katleho Moorosi (First Secretary - Political) dari Kedutaan Republik Afrika Selatan. Katleho menyapaikan rasa bangganya bahwa Kedutaan Republik Afrika Selatan dapat merayakan HPI 2023 dengan mengangkat tema perempuan dan teknologi. Ia mengingatkan bahwa manfaat baik dari internet untuk perempuan tidak boleh membuat kita lupa akan kerugian internet yang juga dapat merugikan perempuan. Pada pembukaannya, Katleho menampilkan sebuah video yang merangkum empat poin penting dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberdayakan perempuan di era digital. Keempatnya adalah menutup semua celah dalam akses dan keterampilan digital, mendukung perempuan dan anak perempuan di science, technology, engineering, dan mathematics (STEM), menciptakan teknologi yang memenuhi kebutuhan perempuan dan anak perempuan, dan mengatasi kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi. Berikutnya, Duta Besar Mpetjane Lekgoro memberikan sambutan setelah moderator, Gracia Paramitha, menyapa audiens secara offline maupun online. Duta Besar Lekgoro menyampaikan bahwa perwakilan negara yang dipimpinnya berkomitmen dalam merayakan HPI dan prestasi perempuan di seluruh dunia. Menurutnya, dengan kemajuan digital dan teknologi, perempuan dan anak perempuan tidak boleh tertinggal. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah, bisnis, dan seluruh aspek dalam kehidupan bermasyarakat harus memberikan akses dan kesempatan bagi perempuan dan anak perempuan agar suaranya didengar di era digital ini. Duta Besar Lekgoro juga menyayangkan bahwa dengan maraknya kemajuan teknologi, masih saja terdapat isu krisis iklim yang mempengaruhi kesejahteraan hidup perempuan. Sehingga dibutuhkan inovasi teknologi untuk memperbaiki kondisi tersebut. Salah satu upaya Afrika Selatan dalam berkomitmen untuk meraih kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah melalui pemberian beasiswa, baik secara domestik maupun internasional. Duta Besar Lekgoro juga berharap semoga para perempuan ilmuwan juga dapat semakin marak mempublikasikan hasil-hasil kerja mereka. Utamanya karena masih ada diskriminasi terhadap perempuan di STEM. Walaupun angka perempuan yang berkecimpung di bidang tersebut, tetapi persentasenya masih di bawah laki-laki. Selain itu, Duta Besar Lekgoro juga berpesan bahwa internet harus dipastikan aman sebagai ruang untuk perempuan dalam memajukan diri di bidang-bidang yang masih didominasi laki-laki. Paparan pertama dari narasumber disampaikan oleh Mmampei Chaba. Atas nama Multilateral and Africa Cooperation, Department of Science and Innovation, Mmampei memulai dengan mengucapkan selamat dan terima kasih atas terselenggaranya seminar dalam rangka memperingati HP 2023 oleh Kedutaan Besar Afrika Selatan. Ia menekankan komitmen organisasi yang dipimpinnya mencakup lungkip global, regional, dan subregional dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang kelima mengenai kesetaraan gender. Dalam mewujudkan kesempatan yang setara untuk perempuan dan anak perempuan, harus dipastikan bahwa mereka mendapatkan dukungan penuh di bidang STEM. Selain itu, kesadaran akan adanya kesenjangan di era digital harus direspons untuk meraih digital gender equality di masa yang akan datang. Upaya lainnya adalah mendukung usaha yang dimiliki oleh perempuan berkulit hitam dan penyediaan call center untuk korban dan penyintas kekerasan berbasis gender online (KBGO) serta dukungan kesehatan mental. Apa yang telah dilakukan oleh Mmampei dan timnya di Department of Science and Innovation di Afrika Selatan telah memenangkan lima penghargaan internasional utnuk upayanya mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Armansyah, dosen di UPNVJ, memulai paparannya dengan sejarah dari ilmu pengetahuan. Beberapa hasil dari kemajuan teknologi sejak masa lampau hingga saat ini adalah bangunan-bangunan bersejarah seperti piramida dan Candi Borobudur. Teknologi semakin berkembang sehingga mampu mengirim astronot ke luar angkasa dan mewujudkan kecerdasan buatan. Namun teknologi tidak hadir dan berkembang tanpa hambatan. Beberapa tantangan yang menurutnya diakibatkan oleh teknologi adalah krisis iklim, kurangnya air bersih, hilangnya energi bersih, dan pergeseran tenaga manusia ke teknologi. Dalam merespons isu perempuan dan STEM, Armansyah berharap adanya solusi untuk mengatasi masalah tersebut karena peran perempuan dan anak perempuan sangat penting dalam kemajuan teknologi. Pembicara berikutnya, Dini Fronitasari, berbagi pengalamannya dalam menggunakan teknologi sebagai alat untuk memberdayakan perempuan. Menurut Dini, ketertarikannya berasal dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan perempuan akan kekuatan, kesetaraan, dan kesempatan. Dalam mewujudkan ketiga hal tersebut, ia mengutamakan keberlanjutan utamanya dalam bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi. Bersama timnya, Dini menciptakan aplikasi CallMe, Carbon Share, dan Lola Pos. Ketiga aplikasi tersebut membantu perempuan di dalam memenuhi kebutuhan sosial, lingkungan, dan ekonomi utamanya dalam situasi pandemi COVID-19 yang membatasi mobilitas mereka. Dini juga berpesan bahwa teknologi tidak diciptakan hanya untuk satu kriteria gender semata. Namun semua orang, terutama perempuan, berhak untuk memanfaatkan teknologi dan memajukan hidup mereka. Paparan berikutnya disampaikan oleh pembicara, Dhyta Caturanggi, melalui rekaman video dari kota New York. Dhyta yang mewakili PurpleCode Collective sedang menghadiri acara Comission on the Status of Women (CSW) yang ke-67 sehingga tidak bisa menghadiri seminar secara langsung di Jakarta. Ia memulai dengan menekankan bahwa teknologi telah menjadi fasilitas yang memiliki banyak potensi untuk membangun kekuatan kolektif, mengekspresikan diri dan memperjuangkan kesetaraan. Namun patut disayangkan bahwa teknologi juga dapat menjadi tempat berkembangnya kebencian yang dikendalikan oleh kekuatan pihak yang dominan. Mereka yang berkuasa sebenarnya memiliki ketakutan akan kekuatan warganya yang memiliki akses teknologi dan informasi. Sayangnya masih ada ujaran kebencian, berita palsu, dan misinformasi masih tersebar di dunia digital.Serangan terhadap perempuan, komunitas LGBTQ+, dan penyandang disabilitas juga masih kerap terjadi. Dalam merespons hal ini, Dhyta menyampaikan perlunya ruang aman digital untuk melawan diskriminasi. Mulai dari mana? Dari diri kita sendiri, ujar Dhyta. Perjuangan kolektif sangat dibutuhkan dalam mewujudkan perubahan secara holistik menantang ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Walau terdengar sulit, Dhyta menyemangati dengan optimis bahwa perempuan dan kelompok marjinal sudah menjadi bagian dari perubahan sosial di mana-mana. Sehingga perjuangan kali ini tidak asing lagi. Dhyta juga menekankan perlunya melibatkan komunitas untuk disertakan pengalaman langsung setiap orang. Karena “nothing about them if it is without them and nothing about us if it is without us”, tutupnya. Pembicara terakhir, Agita Pasaribu, menciptakan Bullyid Indonesia berdasarkan pengalamannya dirundung di masal lampau. Menurutnya internet telah mengubah cara hidup setiap orang. Utamanya dalam memudahkan koneksi dengan orang lain. Sayangnya perkembangan teknologi dan informasi digital juga dapat membawa kerugian, terutama bagi perempuan. Ketika mengalami KBGO, stigma yang dilekatkan pada para korban, utamanya perempuan, membuat mereka kesulitan dalam meminta pertolongan.
Layaknya edukasi yang dilakukan oleh Bullyid Indonesia, Agita menekankan pentingnya pemahaman yang harus dimiliki oleh perusahaan media sosial dalam merespons KBGO. Hal yang serupa juga harus dipahami oleh lembaga swadaya masyarakat dan pendamping yang membantu pemulihan korban dan penyintas. Melalui Bullyid Indonesia, laporan korban dan penyintas ditangani secara anonim. Kerjasama dengan Meta dan TikTok juga sudah dilakukan untuk menurunkan foto korban yang disalahgunakan di media sosial. Selain itu, pelatihan penggunaan platform Bullyid Indonesia secara cuma-cuma untuk perguruan tinggi dan sekolah juga sudah dilakukan. Terakhir, Agita mengingatkan hadirin untuk tidak menjadi bystander yang diam saja ketika melihat kekerasan terjadi. Kita semua harus berani bicara dan melindungi korban dari segala jenis kekerasan. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |