Jumat (1/3) bertempat di LBH Jakarta, Komite International Women’s Day (IWD) Indonesia mengadakan konferensi pers. Komite IWD yang terdiri dari berbagai organisasi kemasyarakatan di Indonesia tersebut berinisiatif mengadakan aksi #GerakBersama untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok rentan. Acara akan diadakan pada tanggal 8 Maret 2019 bertepatan dengan International Women’s Day/Hari Perempuan Internasional (HPI), tema yang diusung ialah “Panggung Politik Perempuan Independen”. Di tengah maraknya kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan di berbagai lini, komite IWD akan mengajukan tuntutan di berbagai bidang yakni ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, media dan teknologi, hukum dan kebijakan, ruang hidup dan agraria, kekerasan seksual, dan persoalan identitas dan ekspresi. Komite IWD berupaya mengemas tuntutan sejalan dengan momentum politik elektoral Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilingan Anggota Legislatif (Pileg) di level nasional dan daerah. Sehingga, isu perempuan dapat masuk menjadi salah satu agenda politik. Dalam konferensi pers tersebut ada Riska (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang menjadi salah satu pembicara menyatakan bahwa negara harus menaruh perhatian yang serius pada persoalan kesehatan reproduksi. Menurutnya selama ini, pemerintah tidak benar-benar serius dalam memberi akses layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan anak. Ia mencontohkan, dalam kasus kehamilan tidak diinginkan perempuan tidak memiliki otoritas tubuhnya sendiri, perempuan harus meminta izin pasangannya terlebih dahulu sebelum melakukan aborsi. Riska juga menjelaskan bahwa kebijakan kontrasepsi memiliki problem tersendiri karena hanya bisa diakses oleh perempuan yang memiliki status “menikah”. “Kontrasepsi tidak diperbolehkan jika seorang perempuan belum menikah, apabila kita lihat maka seorang perempuan usia 10 tahun diperbolehkan mengakses kontrasepsi dengan catatan jika sudah menikah dan perempuan usia 70 tahun sekalipun tidak diperbolehkan mengakses kontrasepsi jika berstatus belum menikah”, pungkas Riska. Permasalahan ini menurutnya tidak menyelesaikan hak kesehatan reproduksi perempuan sekaligus melanggengkan pernikahan anak secara bersamaan. Sementara itu Naomi (Aliansi Jurnalis Independen) yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa media perlu meningkatkan kualitas pemberitaan terhadap perempuan, khususnya dalam penyebutan identitas perempuan korban kekerasan seksual. Pada sejumlah pemberitaan media elektronik, tubuh dan seksualitas perempuan sering dijadikan komoditas, sehingga kerap kali perempuan menjadi korban kembali (reviktimisasi). Misalnya pemberitaan tentang korban kekerasan seksual disajikan dalam bentuk berita yang bias dan seksis. “Jurnalis perlu melindungi indentitas korban, karena itu adalah salah satu kode etik jurnalistik” tutur Naomi. Prili (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta) menyatakan bahwa saat ini marak kasus peraturan daerah diskriminatif terhadap permepuan dan kaum minoritas lainnya. Sedangkan kebijakan yang pro perempuan seperti Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) justru tidak disahkan. “Persoalan tentang kebijakan diskriminatif sangatlah kompleks, bisa jadi permasalahan tersebut terjadi karena struktur hukum di Indonesia melanggengkan hal tersebut” tutur Prili. Selain itu, pejabat publik yang tidak memiliki perspektif gender dan keberpihakan menjadi salah satu hambatan pengalaman perempuan tidak dapat diakomodasi dalam kebijakan publik. “Isu perempuan sangatlah krusial, tetapi dalam debat calon presiden (capres) persoalan perempuan sama sekali tidak diangkat, bisa diartikan bahwa kepentingan perempuan tidak masuk dalam agenda politik mereka” tutur Prili. Komite IWD berupaya mengajukan tuntutan sesuai dengan permasalahan perempuan dan kaum minoritas di Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 2019 Komite IWD akan mengemukakan tuntutannya kepada pemerintah. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |