Hukum bersifat patriarkis karena hukum disusun dan dibuat oleh orang-orang yang masih memegang budaya patriarkat. Demikian pendapat Khairani Arifin, Dewan Pembina Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala dalam acara Pendidikan Publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Universitas Syiah Kuala, Aceh. Dalam acara yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan bersama Pusat Studi Gender dan Fakultas Hukum bagian Humas Universitas Syiah Kuala beserta Aceh Women's for Peace Foundation (AWPF) pada Senin (23/5) ini Khairani berbicara tentang Sumbangan Feminist Legal Theory bagi Lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Lebih lanjut Khairani mengatakan banyak peraturan-peraturan hukum yang bisa menjadi bukti bahwa hukum itu patriarkis. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk diantaranya. Untuk konteks Aceh, kita bisa melihat pada Qanun Jinayah, misalnya Qanun No. 6 tahun 2014 yang mengatur mengenai kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan juga pelecehan seksual tetapi kita dapat menemukan bahwa budaya patriarkat ada di belakangnya. Menurut Khairani hal ini mengingat penyusunnya masih berorientasi pada perspektif pelaku dan melihatnya sebagai upaya untuk menyelamatkan pelaku. Contohnya pasal yang menyebutkan bahwa, “Apabila pelaku bersumpah bahwa dia tidak melakukan pemerkosaan, dsb, maka hakim bisa mengatakan bahwa melepaskan dia dari tuntutan”. Pasal ini dikatakan bertujuan untuk melindungi laki-laki baik-baik atas tuduhan melakukan kekerasan seksual. Qanun ini menjadi contoh peraturan yang berkontribusi menciptakan kekerasan, diskriminasi, dsb. Khairani menambahkan bahwa banyak kasus kekerasan seksual yang diselesaikan melalui mekanisme adat dengan mengacu pada Qanun No. 10 tahun 2008 mengenai penyelesaian kasus-kasus secara adat. Ketika kasus diselesaikan secara adat, perspektif aparatur penegak hukum masih sangat minim berpihak pada korban sehingga putusan-putusan pengadilan hanya berupa menikahkan korban dengan pelakunya atau membayar ganti rugi kepada korban sehingga kekerasan seksual tak ubahnya jual beli atau transaksi dan sama sekali tidak melihat dampaknya baik secara fisik, psikologis, dsb pada perempuan. Maka kemudian semua orang merasa puas termasuk keluarga korban. Khairani mencontohkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Simeulue, yakni seorang guru agama yang memerkosa muridnya kemudian hanya membayar 10 juta kepada keluarga korbannya maka kasus tersebut kemudian selesai. Ia juga menyayangnya sikap kepolisian yang ikut menandatangani berita acara penyerahan uang tersebut. Khairani juga memaparkan bahwa pelaku lebih diuntungkan baik dalam proses hukum adat dan hukum negara karena aparatur penegak hukum baik di tingkat gampong maupun di tingkat yang lebih formal belum bisa meninggalkan pola pikir patriarkis. Pada konteks ini feminist legal theory (FLT) atau teori hukum feminis memiliki kontribusi bagi terciptanya hukum yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan. Proses ini dapat dilihat misalnya dalam proses penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Internalisasi FLT dapat dilihat pada beberapa hal seperti pertama, proses penyusunan yang melibatkan partisipasi perempuan. Kedua substansi yang adil dan tidak diskriminatif dengan kata lain memerhatikan keadilan substantif dan mampu menjawab permasalahan serta bukan justru menciptakan masalah baru. Ketiga kesiapan Aparatur Penegak Hukum (APH) dalam pengimplementasiannya. Hal ini penting mengingat terdapat sejumlah peraturan bagus secara konseptuap tetapi implementasi tidak baik karena aparaturnya tidak siap. Keempta kesiapan sarana dan prasana pendukung seperti anggaran, fasilitas, dsb. Karena itu Khairani menegaskan bahwa feminist legal theory sudah saatnya dijadikan acuan dalam penyusunan perundang-undangan, dan yang paling urgen saat ini adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sudah saatnya pemerintah membuka diri untuk masukan dan konsep yang dikembangkan dalam naskah akademik dan substansi hukumnya. Ia menambahkan yang juga harus disadari bersama adalah bahwa aturan hukum bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai Tujuan. Jadi Perjuangan untuk Mencapai perlindungan maksimal bagi perempuan, dan keadilan bagi korban kekerasan seksual tetap masih merupakan jalan panjang dan kerja keras yang harus ditempuh. Memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |