Pada hari Rabu (13/10/2021) The Washington Post mengeluarkan tulisan berjudul The Nobel prizes have a gender problem, but quotas are not the solution, says head of science academy. Tulisan tersebut melaporkan isu kesenjangan gender pada penghargaan Nobel atau yang dikenal dengan Nobel Peace Prize. Topik ini muncul setelah Maria Ressa, seorang jurnalis asal Filipina, memenangkan penghargaan nobel gabungan bersama jurnalis asal Rusia, Dmitry Muratov. Kali ini penghargaan bergengsi tersebut akhirnya memberikan kesempatan pada perempuan ke-59 untuk akhirnya memenangkan Nobel. Hal ini berbanding terbalik dengan hampir seribu pemenang Nobel lainnya yang didominasi oleh laki-laki. Ketua Royal Swedish Academy of Sciences, Goran Hansson, menyatakan bahwa keputusan untuk tidak membatasi gender dan latar belakang etnis telah ditetapkan. Mereka yang berhasil menemukan pembaruan di berbagai bidang berhak untuk memenangkan penghargaan Nobel.
Sayangnya keputusan tersebut tidak langsung disepakati. Pihak Royal Swedish Academy of Sciences khawatir dicurigai memberikan penghargaan hanya karena pemenangnya adalah perempuan. Mereka ragu akan kemungkinan dianggap tidak kompeten dah hanya berusaha meningkatkan jumlah pemenang perempuan saja. Akan tetapi, keputusan untuk tidak membatasi gender dan perjuangan Royal Swedish Academy of Sciences untuk menutup kesenjangan ini tetap diusahakan. Tidak hanya dari pihak internal, kritik eksternal bermunculan dan menyatakan bahwa usaha menutup kesenjangan gender di antara pemenang penghargaan Nobel tidak akan menghilangkan ketidakadilan yang selama ini terjadi. Diskriminasi yang dialami perempuan di masa lampau masih ada yang terjadi saat ini. Hal tersebut turut terjadi secara berulang di bidang ilmu pengetahuan. Selain isu gender, etnis dan ras menjadi permasalahan berikutnya. Bukan hanya didominasi oleh laki-laki, tetapi Nobel Peace Prize juga dimenangkan oleh mayoritas orang kulit putih. Berdasarkan laporan dari The Washington Post, hanya sekitar 12 orang kulit hitam saja yang pernah memenangkan penghargaan bergengsi tersebut. Adapun prestasi Nobel dimenangkan oleh orang kulit hitam, kategori yang mereka raih bukan dari bidang sains. Kurangnya representasi perempuan dan orang kulit berwarna sebagai pemenang Nobel Peace Prize di bidang sains memang menjadi tugas Royal Swedish Academy of Sciences untuk bekerja lebih giat lagi. Namun kesenjangan tersebut turut mengingatkan akan adanya diskriminasi pada bidang sains secara umum. Goran Hansson menemukan fakta bahwa perempuan (dan orang kulit berwarna) yang menjadi pakar sains sangat sedikit. Sehingga kerja keras Royal Swedish Academy of Sciences dalam mengubah pola pikir minoritas agar terlibat di bidang sains harus lebih giat lagi. Pada akhir laporan, The Washington Post menampilkan unggahan Twitter dari akun UN Women. Akun yang memiliki handle @UN_Women tersebut menyatakan bahwa sejak dilaksanakan pada tahun 1895, Nobel Peace Prize hanya diberikan kepada kurang dari 60 orang perempuan. UN Women menyimpulkan bahwa representasi ini menunjukkan lambatnya proses kesetaraan gender di dunia. Sehingga kerja keras Royal Swedish Academy of Sciences, dan berbagai institusi lainnya, harus ditingkatkan agar kesenjangan gender dapat dihilangkan di berbagai bidang. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |