Pandemi Covid-19 dapat dikatakan berdampak langsung pada sebagian besar orang. Namun dampak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh non-disabilitas, sebagaimana temuan dalam “Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 kepada Penyandang Disabilitas di Seluruh Indonesia”--yang merupakan inisiatif dari Jaringan DPO Respons Covid-19 Inklusif. Asesmen yang dilakukan pada Mei 2020 melibatkan 1.638 responden menyimpulkan perbedaan dampak terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kesempatan dalam seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, yang menghambat banyak penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam masyarakat. Hal ini disampaikan Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Maulani Rotinsulu dalam Diskusi Kelompok Terbatas bersama media (16/10).
Hasil asesmen cepat itu juga menunjukkan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap dampak pandemi bila dibandingkan dengan laki-laki. Bagi perempuan dengan disabilitas, dampak pandemi menjadi berlipat ganda karena adanya faktor ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah domestik. Situasi ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan disabilitas menjadikannya rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG). “Perempuan dengan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, bukan hanya karena jenis kelaminnya, tetapi juga karena disabilitas mereka. Ketimpangan struktural yang sudah terjadi pada masa sebelum pandemi kini diperparah dengan berbagai dampak dari pandemi,” ujar Maulani. Kelompok ragam disabilitas yang paling rentan menurutnya adalah perempuan dengan spektrum autisme serta mereka yang memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, psikososial, atau intelektual. Perempuan disabilitas mengalami berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG) sepanjang siklus kehidupannya, sejak dari usia anak, remaja, hingga dewasa. “Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan disabilitas bukan hanya isu baru-baru ini tetapi sudah dialami sedari dulu dan merupakan fenomena gunung es karena tidak semua korban mengadukan kasusnya,” ungkap Maulani. Menurut Maulani, banyak korban tidak berani mengadukan kekerasan yang dialaminya karena hampir sebagian besar pelaku adalah orang dekat dan mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika mengadu ke orang lain. Minimnya liputan media terhadap kasus-kasus yang dialami perempuan disabilitas semakin meredupkan harapan terhadap dukungan publik yang lebih luas untuk mendorong hadirnya kebijakan yang melindungi dan menjawab kebutuhan perempuan disabilitas. Selama ini penanganan terhadap kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sering terhambat dan tidak sedikit pula yang tak tuntas karena berbagai alasan mulai dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum atau kurang memahami isu disabilitas, tidak cukup bukti, tidak tersedia akomodasi yang layak, layanan yang sulit diakses, dan peraturan/kebijakan yang belum berpihak bagi penyandang disabilitas. Untuk memastikan optimalisasi penanganan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas korban KBG, HWDI mengajukan sejumlah rekomendasi kepada perwakilan rakyat di Parlemen, Pemerintah, serta institusi-institusi lain yang terkait. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah melakukan harmonisasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah dengan memperhatikan prinsip kesetaraan-keadilan gender, inklusifitas, dan interseksionalitas isu yang berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, HWDI juga merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk komitmen untuk melindungi setiap orang dari tindak kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan disabilitas yang merupakan salah satu kelompok rentan. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |